Rendang Hajatan Jadi Petaka di Klaten, Ahli Pangan UGM Bongkar Masalah Utama di Dapur Selamatan

Melihat kemungkinan jeda waktu 12 jam itu, kata Sri, cukup waktu bagi bakteri untuk berkembang biak.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 17 April 2025 | 18:55 WIB
Rendang Hajatan Jadi Petaka di Klaten, Ahli Pangan UGM Bongkar Masalah Utama di Dapur Selamatan
Petugas kesehatan memberi penanganan bagi warga yang keracunan makanan di Posko penanganan kejadian luar biasa keracunan massal di Karangturi, Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (15/4/2025). [ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/Spt]

Hal ini berarti masakan yang pertama dilakukan awal pagi dimisalkan sekira pukul 07.00 di hari yang sama atau mungkin dimasak sehari sebelumnya.

Kondisi ini tentu berisiko karena ada jeda waktu lebih dari 10 jam hingga dikonsumsi.

"Kalaupun tersedia alat masak yang besar dan dapat dipergunakan untuk memasak 10-15 kg daging sekali masak maka inipun berisiko panas tidak merata untuk mematangkan beberapa potong daging," ujarnya.

"Sehingga tidak cukup untuk mematikan bakteri atau melemahkan toksin yang mungkin sudah mencemari daging dengan level yang cukup tinggi akibat kondisi daging segar yang kurang terjaga," imbuhnya.

Baca Juga:Guru Besar UGM Dipecat Karena Kekerasan Seksual, Kok Masih Digaji? UGM Buka Suara

Sri Raharjo pun membayangkan setelah selesai masak daging dan krecek yang kemudian dimasukkan ke dalam nasi kotak maka sajian tentunya baru dikonsumsi oleh warga pada malam hari sekitar jam 19.00-20.00 WIB.

Jika memang begitu, ada interval waktu 12 jam hingga makanan dikonsumsi warga.

"Tentu dimakan di malam hari karena hajatan wayangan. Jika proses memasak dalam jumlah besar, dimungkinkan panasnya tidak tuntas mematangkan masakan, dan berisiko masih menyisakan sedikit bakteri atau toksin penyebab sakit," paparnya.

Melihat kemungkinan jeda waktu 12 jam itu, kata Sri, cukup waktu bagi bakteri untuk berkembang biak lagi mencapai jumlah yang membahayakan.

Mereka yang mengonsumsi rendang daging atau krecek boleh jadi tidak mengalami sakit perut, muntah, ataupun diare karena kondisi kesehatannya baik.

Baca Juga:UGM Dituding Tak Berani Jujur Soal Ijazah Jokowi, Amien Rais: Ada Tekanan Kekuasaan

Sedangkan warga yang menjadi korban keracunan bisa jadi ketika mengonsumsi kondisi kesehatannya kurang baik alias daya tahan tubuhnya melemah.

Diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar. Hal itu untuk meminimalisir kemungkinan peristiwa serupa kembali terjadi.

Penyiapan secara gotong royong oleh warga bisa menjadi salah satu cara. Termasuk untuk memperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam.

"Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak