SuaraJogja.id - Anggota DPD RI asal DIY, Hilmy Muhammad atau Gus Hilmy, menolak keras wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos).
Adapun wacana itu dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi belum lama ini.
Menurut Gus Hilmy, kebijakan itu bertentangan dengan nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, dan prinsip keadilan sosial yang dijamin konstitusi.
"Menjadikan tindakan medis seperti vasektomi sebagai syarat untuk menerima bansos adalah bentuk pemaksaan yang tidak beradab dan tidak memiliki dasar moral maupun hukum yang kuat," tegas Gus Hilmy, dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025).
Baca Juga:Protes Gus Hilmy soal PPN 12 Persen: Pemerintah Tambah Utang, Rakyat yang Bayar?
"Negara tidak boleh memperlakukan rakyat miskin seolah-olah mereka tidak memiliki hak untuk menentukan nasib tubuh dan keluarganya sendiri," imbuhnya.
Ia menilai, pengendalian penduduk harus dilakukan dengan pendekatan edukatif dan sukarela. Bukan kemudian penuh nada ancaman atau paksaan terhadap kelompok rentan.
"Ini namanya sudah rentan, direntankan lagi," kata pengurus MUI Pusat itu.
Gus Hilmy menegaskan, kebijakan semacam ini juga melanggar Undang-Undang Kesehatan.
Ia mengutip Pasal 4 UU No. 36 Tahun 2009 yang menegaskan setiap orang berhak menentukan sendiri layanan kesehatan yang diinginkan, termasuk menolak tindakan medis.
Sebagai ulama Nahdlatul Ulama dan Katib Syuriyah PBNU, Gus Hilmy menyoroti sisi etika dan fikih. Ia menyebut bahwa vasektomi tanpa alasan medis yang kuat, apalagi dilakukan secara paksa, tidak dapat dibenarkan baik secara agama maupun kemanusiaan.
Ia juga meminta pemerintah pusat tidak tinggal diam mengenai hal ini.
Pemerintah pusat diminta untuk menindaklanjuti setiap wacana kebijakan daerah yang melanggar hak dasar warga negara.
"Jangan sampai bansos yang sejatinya adalah instrumen negara untuk hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan, justru dijadikan alat kontrol politik dan pengendalian paksa yang tidak etis," kata pria yang juga aktif di Komite III DPD RI itu.
Lebih jauh, Gus Hilmy mendorong pemerintah untuk terlebih dahulu membenahi sistem pendataan dan distribusi bansos yang selama ini belum optimal.
Pasalnya masih banyak warga yang seharusnya berhak justru tidak mendapatkan bantuan.
Sebagai alternatif syarat bansos, ia mengusulkan hal-hal yang lebih rasional dan berdampak luas.
Misalnya saja syarat bahwa kepala rumah tangga penerima bansos sebaiknya bukan perokok aktif.
"Banyak alternatif syarat yang lebih logis dan bermanfaat dibanding vasektomi. Misalnya, kepala rumah tangga penerima bansos sebaiknya bukan perokok aktif. Itu akan jauh lebih menguntungkan dari sisi kebijakan kesehatan masyarakat," ujarnya.
"Negara harus berpihak kepada rakyat kecil tanpa syarat yang merendahkan martabat mereka," kata dia.
Seperti diketahui, mencuatnya syarat penerima bantuan sosial dengan melakukan vasektomi menjadi sorotan.
Dedi Mulyadi yang mencetuskan syarat itu untuk warga Jabar menuai pro dan kontra. Menurtu Gubernur Jabar itu langkah ini dilakukan untuk memperkuat program KB.
Meski begitu banyak yang justru mengkritik kebijakan itu jika nantinya diterapkan.
Namun di sisi lain, sebagian orang juga setuju dengan rencana Dedi Mulyadi itu. Mengingat untuk menekan populasi penduduk.
Terobosan yang dilakukan Dedi Mulyadi memang kerap menciptakan dua kubu, baik yang mendukung dan tak mendukung.
Masyarakat pun berusaha untuk menilai kebijakan tersebut ketika dipublikasikan. Memang kebijakan yang dibuat pemerintah berangkat dari persoalan yang ada di tengah warga.
Kendati begitu perlu ada kajian panjang termasuk keberanian untuk menjalankan aturan yang nantinya telah berlaku.
Sehingga minim terjadinya keluhan dan kebijakan tersebut benar-benar bisa menjadi solusi untuk masyarakat.