Sampah Jadi Emas: Kisah Sukses Warga Jogja Sulap Limbah Organik Jadi Pupuk Kompos Bernilai Jual

Disampaikan Sumarsini, pupuk kompos olahan sendiri itu bahkan sudah dimanfaatkan warga pada seluruh tanaman.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 15 Juni 2025 | 17:41 WIB
Sampah Jadi Emas: Kisah Sukses Warga Jogja Sulap Limbah Organik Jadi Pupuk Kompos Bernilai Jual
Ketua Kelompok Tani Subur Makmur Lestari, Sumarsini saat menunjukkan biopori jumbo yang berada di dekat rumahnya. (dok.Istimewa)

SuaraJogja.id - Warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Subur Makmur Lestari RW 05 Mangkuyudan, Mantrijeron tak kehabisan akal dalam mengolah sampah organik.

Sampah-sampah sisa hasil makanan rumah tangga yang ada di RW tersebut disulap menjadi pupuk kompos.

Ketua Kelompok Tani Subur Makmur Lestari, Sumarsini, menuturkan bahwa pemanfaatan pupuk kompos dari biopori jumbo ini sudah mulai dilakukan sejak tahun 2022 silam.

"Tahun 2022 kelurahan membuat program biopori jumbo di 20 RW, setiap RW ada dua unit," kata Sumarsini, dikutip Minggu (15/6/2025).

Baca Juga:Duta Pariwisata Baru, Rizky Nur Setyo dan Salma Wibowo Terpilih jadi Dimas Diajeng Kota Jogja 2025

Disampaikan Sumarsini, pupuk kompos olahan sendiri itu bahkan sudah dimanfaatkan warga pada seluruh tanaman dari berbagai komoditas di RW 05 Mangkuyudan.

"Kami membuat pupuk kompos dari sampah organik warga yang dibuang di biopori jumbo yang ada di RW 05 ini. Ada dua biopori jumbo di wilayah ini," tuturnya.

Biopori jumbo itu memiliki ukurannya diameter 80 cm dan kedalaman 2 meter hingga 2,5 meter.

Biopori ini berbentuk seperti sumur resapan, yang ditanam di gang atau pinggir jalan.

Dia bilang dengan menggunakan empat bis beton, biopori jumbo bisa menampung 1,5 hingga 2 ton sampah organik.

Baca Juga:Bangun Insinerator Swadaya, Warga Kricak Kidul Sulap Sampah Residu jadi Energi

Bagian atasnya ditutup tralis dan penutup besi yang bisa dibuka dan ditutup.

Sumarsini menuturkan sampah organik pada biopori jumbo ini dapat dipanen setelah tiga bulan. Namun untuk menunggu penuh biasanya panen dilakukan tiap satu tahun sekali.

Ketua Kelompok Tani Subur Makmur Lestari, Sumarsini saat menunjukkan berbagai tanaman yang ia tumbuhkan. (dok.Istimewa)
Ketua Kelompok Tani Subur Makmur Lestari, Sumarsini saat menunjukkan berbagai tanaman yang ia tumbuhkan. (dok.Istimewa)

Dalam pembuatan pupuk kompos, dia biasanya menggunakan dua bahan seperti menggunakan cairan Effective Microorganisms (EM) 4 dan cairan tetes tebu.

"Pupuk kompos yang dihasilkan sekitar 250 kg dalam sekali panen. Itu digunakan untuk pemupukan tanaman kami," ujarnya.

Hingga saat ini kelompok tani yang beranggotakan 25 orang ini mampu memproduksi berbagai macam sayuran seperti sawi bakso, kangkung, kubis, selada, cabai, terong dan sebagainya.

Tak sampai di situ, seluruh lorong atau gang yang berada di RW 05 Mangkuyudan bahkan ini sudah dipenui oleh berbagai sayuran dan siap dimanfaatkan oleh warga.

"Ada juga tanaman toga seperti jahe, kencur dan masih banyak lagi komoditas lainnya," ucapnya.

Selain untuk anggota kelompok dan warga sekitar, hasil panen kelompok tani ini juga digunakan sebagai bahan dasar masakan di beberapa katering.

"Kalau untuk pupuk komposnya sendiri belum kami jual, karena memang 250 kg ini hanya cukup untuk semua tanaman kita," ungkapnya.

Sumarsini mengungkapkan apa yang dilakukannya bersama anggota kelompok tani lainnya adalah sebuah bentuk dukungan terhadap berbagai program Pemkot Yogyakarta.

Yang pertama adalah pengolahan sampah berbasis kewilayahan.

Dengan ini seluruh sampah organik yang berada di RW 05 sudah terserap habis kedalam biopori jumbo.

"Bentuk dukungan lainya adalah program ketahanan pangan serta dukungan terhadap program peningkatan ekonomi kewilayahan," ujar dia.

Seperti diketahui, Sejak 5 Maret 2024, TPA Piyungan ditutup bertahap, dan kini Kota Jogja menerapkan decentralized waste management (pengelolaan sampah mandiri di tingkat kota/kabupaten).

DLH Kota mengembangkan beberapa TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) di Karangmiri, Nitikan, dan Krangon dengan kapasitas sekitar 20–40 ton per TPST.

Setelah tutupnya TPA, beberapa TPS di wilayah kota menjadi meluber dan menimbulkan bau serta lalat—aparat setempat bahkan menutup depot-depot seperti Lempuyangan dan Mandala Krida sementara.

Pemerintah menyiapkan 3–4 zona penampungan sementara, termasuk di Cangkringan, untuk jangka waktu hampir 40 hari pasca-penutupan.

Namun upaya tersebut belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan.

Tak sedikit kelompok warga memanfaatkan biopori rumah tangga.

Sejauh ini banyak yang telah menerapkan hal ini. Namun di Kota Jogja tak semua warga memiliki lahan luas untuk membuat biopori.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak