SuaraJogja.id - Harga Bitcoin kembali mengalami koreksi tajam dan sempat anjlok menembus level psikologis $99.000.
Penurunan ini terjadi di tengah memanasnya eskalasi geopolitik, menyusul serangan udara yang dilancarkan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir utama milik Iran.
Koreksi signifikan ini menjadi level terendah Bitcoin sejak 9 Mei 2025, sekaligus memicu tekanan jual yang meluas di pasar aset digital global.
Ethereum, sebagai kripto terbesar kedua di dunia, juga ikut terkoreksi cukup dalam dengan penurunan lebih dari 10 persen sebelum akhirnya mengalami sedikit pemulihan.
Di sisi lain, altcoin seperti Solana, XRP, dan Dogecoin turut mencatatkan pelemahan.
Solana melemah lebih dari 7 persen, XRP turun sekitar 8 persen, dan Dogecoin merosot lebih dari 9 persen.
Berdasarkan data CoinGlass, dalam 24 jam terakhir lebih dari $1 miliar posisi aset kripto terlikuidasi, sebagian besar dari posisi long dengan leverage tinggi.
Data ini menunjukkan bahwa pasar kripto berada dalam kondisi rapuh ketika dihantam gejolak geopolitik.
Vice President Indodax, Antony Kusuma, mengungkapkan bahwa penurunan harga Bitcoin kali ini tidak hanya dipicu oleh faktor teknikal, tetapi juga disebabkan oleh meningkatnya kekhawatiran risiko makro secara global.
Baca Juga:Rayakan 75 Tahun Hubungan AS-Indonesia, Empire Wild Kolaborasi dengan Yogyakarta Royal Orchestra
"Pasar kripto saat ini sangat sensitif terhadap perkembangan geopolitik yang memicu ketidakpastian. Reaksi pasar atas serangan AS ke Iran menunjukkan bahwa Bitcoin, meski sering dianggap sebagai pelindung nilai dari inflasi, tetap dipersepsikan sebagai aset berisiko oleh sebagian investor," jelas Antony dikutip dari Suara.com, Senin (23/6/2025).
Antony menambahkan, sejak kabar potensi serangan ini mencuat pekan lalu, banyak pelaku pasar mulai mengurangi eksposur mereka terhadap aset kripto.
Hal ini terlihat dari menurunnya aliran dana ke ETF spot Bitcoin secara signifikan menjelang akhir pekan.
Berdasarkan data yang tercatat, aliran dana masuk ke ETF spot Bitcoin pada periode Senin hingga Rabu pekan lalu masih cukup besar, yaitu mencapai lebih dari $1 miliar.
Namun, pada Kamis terjadi stagnasi tanpa arus masuk, dan pada Jumat hanya tercatat arus masuk sebesar $6,4 juta.
Kondisi ini menggambarkan sikap hati-hati pelaku pasar institusi yang memilih untuk menunggu kepastian arah kebijakan strategis dari pemerintah Amerika Serikat sebelum mengambil langkah investasi selanjutnya.
"Peristiwa seperti ini penting untuk dicermati oleh investor retail. Mereka harus memahami bahwa volatilitas merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari investasi kripto. Namun, koreksi dalam seperti saat ini tidak selalu menjadi ancaman. Bagi investor berpengalaman, situasi seperti ini justru bisa menjadi peluang untuk masuk dengan harga yang lebih menarik," ujar Antony.
Di sisi lain, JPMorgan memproyeksikan bahwa harga minyak berpotensi melonjak hingga $130 per barel apabila Iran menutup jalur Selat Hormuz yang menjadi salah satu jalur utama distribusi minyak dunia.
Lonjakan harga minyak ini dikhawatirkan akan mendorong inflasi Amerika Serikat kembali mendekati 5 persen, yang berpotensi mempengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed ke depan.
Kekhawatiran ini mendorong para investor untuk menarik dana dari aset berisiko tinggi seperti kripto dan mengalihkan investasinya ke instrumen yang dianggap lebih aman.
Akibatnya, pasar kripto mendapatkan tekanan jual yang cukup besar.
Sejak peristiwa halving Bitcoin pada April 2024, pasar kripto sebenarnya masih berada dalam fase tren naik yang secara historis berlangsung selama 12 hingga 18 bulan pasca-halving.
Antony meyakini bahwa peluang Bitcoin untuk kembali menguat masih terbuka lebar.
"Meskipun tekanan saat ini terasa berat, fundamental Bitcoin tetap kokoh, terutama dengan suplai yang terbatas dan meningkatnya penerimaan dari investor institusi. Tekanan harga seperti ini merupakan bagian dari fluktuasi jangka pendek yang wajar dalam siklus pasar kripto," ungkap Antony.
Sebagai bagian dari industri, Indodax terus berkomitmen memberikan edukasi dan meningkatkan transparansi bagi para penggunanya agar mampu membuat keputusan investasi yang tepat di tengah dinamika pasar yang tidak menentu.
"Kami juga selalu berkoordinasi dengan regulator untuk memastikan bahwa seluruh transaksi aset kripto di Indonesia berlangsung secara aman, legal, dan diawasi dengan baik," tutup Antony.
Dalam sejarahnya, Bitcoin telah beberapa kali mengalami koreksi besar dan mampu bangkit kembali dalam fase berikutnya.
Investor jangka panjang yang memahami nilai fundamental teknologi blockchain dan kelangkaan suplai Bitcoin diperkirakan akan tetap bertahan dan memanfaatkan kondisi seperti ini.
Melihat situasi geopolitik yang masih berkembang serta potensi perubahan kebijakan suku bunga Amerika Serikat dalam beberapa bulan ke depan, para investor disarankan untuk tetap waspada dan tidak panik dalam mengambil keputusan.
Meskipun Bitcoin sempat menyentuh level di bawah $99.000, peluang pemulihan harga masih terbuka.
Saat ini adalah momen yang menuntut kewaspadaan, strategi yang matang, dan pemahaman jangka panjang dalam berinvestasi di aset kripto.