- Aksi demo kembali digaungkan di Nol Kilometer Yogyakarta oleh Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan
- Massa aksi menuntut agar UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY dicabut
- Bukan tanpa alasan ada beberapa kebijakannya yang justru membuat rakyat sulit mengelola hak kepemilikannya atas tanah
SuaraJogja.id - Puluhan massa yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan turun ke jalan pada Jumat (12/9/2025) sore.
Mereka menggelar aksi long march dari eks TKP Abu Bakar Ali menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Aksi damai ini merupakan kelanjutan dari eskalasi gerakan yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 lalu.
Aksi tersebut sekaligus menjadi prakondisi menjelang peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September mendatang.
Baca Juga:Ada Pemberkasan PPPK, Antrean Pemohon SKCK di Polresta Yogyakarta Membludak
Sejumlah tuntutan disampaikan massa dalam aksi tersebut. Salah satunya tuntutan penghapusan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Sebab, dana keistimewaan (danais) yang didapat DIY sesuai UU tersebut dinilai tidak efektif dalam pemanfaatannya.
Koordinator Umum Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan, Iko dari Serikat Masyarakat Indonesia (SMI), Iko menilai alokasi anggaran yang digelontorkan dari APBN setiap tahun untuk danais belum digunakan secara produktif.
"Dari APBN, sekian triliun yang digelontorkan untuk Dana Keistimewaan, biaya yang ada dalam komponen anggaran itu tidak benar-benar mengarah kepada masyarakat Yogyakarta. Termasuk di situ ada uang tunjangan untuk persiapan gubernur, untuk sumbu filosofi, dan anggaran lain yang tidak produktif bagi masyarakat," ungkapnya.
Aliansi menawarkan alternatif yang lebih konkret agar Danais dapat benar-benar menyentuh rakyat.
Baca Juga:Polisi Tegaskan Pelaku Pelemparan Bom Molotov Pos Polisi Tak Ikut Aksi Berujung Ricuh di Polda DIY
Dana keistimewaan yang didapat DIY hingga Rp1 Triliun lebih per tahun bisa dialokasikan untuk pendidikan bagi masyarakat dan anak-anak di kota ini.
"Itu lebih menguntungkan, lebih konkret lagi kalau diberdayakan kepada PKL, kemudian ke tukang becak. Itu lebih produktif bagi kami," ujarnya.
Selain Danais, Iko menegaskan persoalan mendasar justru terletak pada UU Keistimewaan itu sendiri.
UU tersebut menurutnya, mencakup penguasaan Sultan Ground dan Pakualaman Ground (SGPAG) yang membuat rakyat kehilangan akses terhadap tanah.
Bagi aliansi, UU Keistimewaan harus dicabut. Sebab masalah penguasaan tanah adalah akar ketidakadilan di Yogyakarta.
"Ketika tanah ini dikuasai oleh Sultan dan keluarganya, masyarakat tidak punya tanah. Akhirnya banyak yang jadi tukang becak, pedagang kaki lima, atau bahkan tidak punya pekerjaan [dan tanah]. Seharusnya SGPAG atau UU Keistimewaan itu dicabut agar masyarakat Jogja bisa dapat tanah. Di kota mungkin mayoritas bukan petani, tapi di kabupaten-kabupaten masyarakatnya mayoritas petani," tandasnya.