Dosa Ekologis di Balik Banjir Bandang 2025, Peniliti UGM: Peringatan Keras dari Sumatra

Banjir bandang di Sumatra 2025 dipicu cuaca ekstrem, diperparah "dosa ekologis" akibat deforestasi masif di hulu DAS yang hilangkan fungsi serapan air hutan.

Budi Arista Romadhoni
Selasa, 02 Desember 2025 | 07:51 WIB
Dosa Ekologis di Balik Banjir Bandang 2025, Peniliti UGM: Peringatan Keras dari Sumatra
Foto Udara sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Nagari Muaro Pingai, Kecamatan Junjung Sirih, Kab. Solok. Sumatera Barat, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Wawan Kurniawan/Lmo/bar]
Baca 10 detik
  • Banjir bandang akhir November 2025 di Sumatra menewaskan lebih dari 300 jiwa, dipicu curah hujan ekstrem yang diperparah kerusakan hutan hulu DAS.
  • Kerusakan ekosistem hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar menghilangkan fungsi penyerapan air alami, mengakibatkan limpasan permukaan besar dan erosi masif.
  • Mitigasi bencana harus seimbang antara solusi struktural dan prioritas ekologis seperti penghentian deforestasi serta konservasi DAS hulu secara tegas.

Ekosistem Batang Toru, salah satu benteng terakhir hutan Sumut, terus terdegradasi akibat konsesi dan aktivitas perusahaan, mulai dari penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas.

Sumatra Barat, meskipun memiliki proporsi hutan yang lebih baik (54%), mencatat laju deforestasi tertinggi, dengan kehilangan sekitar 320 ribu ha hutan primer dan total 740 ribu ha tutupan pohon dalam periode 2001–2024.

Tragedi banjir bandang 2025 adalah akumulasi "dosa ekologis" di hulu DAS. Penataan dan pengendalian kawasan yang lemah, perambahan hutan, alih fungsi lahan menjadi kebun sawit, serta illegal logging telah menghilangkan sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya.

Hutan-hutan lindung yang semestinya menjadi area tangkapan air banyak dikonversi, sehingga saat hujan lebat, air melimpah tak bisa lagi tertahan dan langsung menghantam permukiman di hilir.

Baca Juga:Motor Dinas Cuma Rp340 Ribu? Pemkot Jogja Buka Lelang Besar-Besaran, Begini Caranya!

Bencana ini menunjukkan tren bahwa bencana hidrometeorologi cenderung makin parah seiring akumulasi deforestasi dan perubahan iklim.

Pulau Sumatra yang beriklim tropis basah akan selalu rentan hujan lebat, tetapi kerusakan lingkungan membuat wilayah ini ibarat bom waktu bencana.

Tanpa pembenahan serius, setiap puncak musim hujan bisa mendatangkan petaka serupa.

Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/nz]
Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/nz]

"Alam memiliki kapasitas daya dukung dan daya tamping yang terbatas untuk menahan gempuran cuaca ekstrem, dan kapasitas itu sangat bergantung pada kelestarian lingkungannya. Ketika manusia merusak lingkungan melebihi ambang batas, alam akan 'membalas' dengan bencana yang dahsyat," tegas Hatma.

Oleh sebab itu, mitigasi dan pengurangan risiko bencana harus menyeimbangkan pendekatan struktural (infrastruktur teknis) dan ekologis.

Baca Juga:8 Pantai di Yogyakarta Masih Sepi dan Alami, Punya Keindahan Eksotis

Langkah struktural seperti pembangunan tanggul dan normalisasi sungai memang penting, tetapi tidak akan cukup tanpa dibarengi pelestarian lingkungan di hulu.

Perlindungan hutan dan konservasi DAS harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu menegakkan aturan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menghentikan laju deforestasi secara tegas.

Sisa hutan di hulu-hulu kritis, seperti Ekosistem Leuser di Aceh dan hutan Batang Toru di Sumut, harus dipertahankan sebagai "harga mati". Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan.

Di sisi lain, sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan harus terus diperkuat. BMKG telah mengupayakan peringatan dini cuaca ekstrem, dan informasi ini harus ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan langkah-langkah seperti simulasi evakuasi dan penataan ulang permukiman rawan.

Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dapat dipertimbangkan sebagai pelengkap, bukan pengganti, perbaikan tata lingkungan.

Kunci ketangguhan menghadapi bencana ada pada keseimbangan hubungan manusia dan alam. Banjir bandang yang berulang menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan daya dukung lingkungan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak