Hidup dalam Bayang Kejang, Derita Panjang Penderita Epilepsi di Tengah Layanan Terbatas

Azka sembuh dari epilepsi berkat operasi setelah perjuangan panjang. Ia menyoroti stigma & layanan terbatas, padahal epilepsi bisa diobati/dikontrol.

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 13 Desember 2025 | 15:53 WIB
Hidup dalam Bayang Kejang, Derita Panjang Penderita Epilepsi di Tengah Layanan Terbatas
Dokter spesialis saraf RSUP Dr Sardjito, Elisabeth Siti Herini, menyampaikan tentang epilepsi di Yogyakarta, Sabtu (13/12/2025). [Suara.com/Putu]
Baca 10 detik
  • Azka Primadi, penyintas epilepsi dari Sleman, berhasil bebas kejang dan obat setelah operasi pada 2007 di Semarang.
  • Layanan kesehatan epilepsi masih terbatas, ditandai dengan kesulitan diagnosis awal dan adanya stigma sosial masyarakat.
  • Penanganan tepat perlu identifikasi tipe kejang; pada kasus kebal obat, operasi saraf dapat menjadi opsi pengobatan.

Hal serupa terulang saat kuliah dan bekerja. Banyak orang ingin menolong, tetapi tidak tahu caranya. Ada rekan kerja yang menahan tubuhnya saat kejang agar tidak terbentur, tanpa sadar tindakan itu justru berbahaya.

Ketidaktahuan ini membuat penderita epilepsi sering dianggap menakutkan, lemah, atau tidak mampu menjalani hidup normal. Padahal, banyak dari mereka hanya membutuhkan pemahaman sederhana.

"Mereka niatnya baik, tapi tidak tahu. Padahal biarkan saja pasien kejang, namun singkirkan dia dari benda berbahaya dan dibiarkan hingga kejang mereda," jelasnya.

Sementara dokter spesialis saraf RSUP Dr Sardjito, Elisabeth Siti Herini, mengungkapkan penanganan kejang secara cepat dan tepat perlu dilakukan sejak fase awal. Hal itu penting untuk mencegah kerusakan otak yang lebih luas.

Baca Juga:Dishub Sleman Sikat Jip Wisata Merapi: 21 Armada Dilarang Angkut Turis Sebelum Diperbaiki

"Juga meningkatkan peluang kontrol kejang pada anak dengan epilepsi," paparnya.

Elisabeth mengungkapkan, dari sisi neurologis, kejang terjadi akibat aktivitas saraf yang tidak terkendali di otak. Jika aktivitas tersebut melibatkan kedua belahan otak, kondisi itu disebut kejang umum atau kejang general sedangkan jika hanya melibatkan satu hemisfer atau area tertentu, disebut kejang fokal.

"Kejang demam justru lebih ringan dibandingkan epilepsi. Biasanya setelah usia lima tahun, kejang demam akan berhenti," paparnya.

Karenanya identifikasi tipe kejang yang tepat perlu dilakukan. Sebab pemilihan obat sangat bergantung pada apakah kejang bersifat general atau fokal.

Peran orang tua yang merekam kejadian kejang sangat membantu dokter dalam menentukan jenis kejang dan obat yang sesuai. Apalagi tidak semua obat antiepilepsi tersedia melalui BPJS, sehingga penanganan epilepsi kebal obat kerap menjadi tantangan.

Baca Juga:PSIM Yogyakarta Agendakan Dua Uji Coba selama Jeda Kompetisi

Pada kasus tertentu, terapi dapat dilanjutkan dengan bedah epilepsi melalui kolaborasi tim bedah saraf.

"Bedah epilepsi dipertimbangkan pada pasien dengan kejang yang sulit terkontrol dan disertai kelainan struktural di otak," paparnya.

Adhitia Budi, Corporate Business Marketing Communication Yayasan Kesehatan Telogorejo, menambahkan edukasi tentang epilepsi perlu dilakukan secara luas. Dengan demikian masyarakat menyadari epilepsi bukan sekadar stigma yang tidak bisa disembuhkan. 

"Kami ingin memastikan edukasi, harapan, dan akses terhadap penanganan yang tepat dapat dirasakan oleh lebih banyak keluarga, khususnya mereka yang menghadapi tantangan epilepsi kebal obat," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak