Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Kamis, 07 November 2019 | 14:03 WIB
Jeruk Peres Talk #4 "Setan Jeruk Kepentut RUU KPK" di Warung Jeruk Peres, Penyegar Solidaritas Biennale Jogja XV, di Jogja National Museum (JNM), Selasa (5/11/2019) - (Dok Biennale Jogja XV)

SuaraJogja.id - Di samping pameran seni, Biennale Jogja XV juga mengangkat isu sosial melalui projek diskusi di Warung Jeruk Peres, Penyegar Solidaritas, di Jogja National Museum (JNM).

Projek ini digagas oleh Tran Luong, seorang seniman asal Hanoi, Vietnam, yang dikenal sebagai figur penting dalam menciptakan ruang seni kontemporer yang kritis di Vietnam.

Melalui forum diskusi ini, sang seniman berupaya mempertemukan beragam perspektif masyarakat sipil terhadap konflik yang berdampak besar pada mereka. Salah satunya terkait UU KPK yang baru.

Pada Selasa (5/11/2019) sore, Biennale Jogja XV menggelar Jeruk Peres Talk #4 dengan menghadirkan dua narasumber untuk diskusi bertajuk "Setan Jeruk Kepentut RUU KPK": Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril dan Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu.

Baca Juga: Biennale Jogja 2019 Resmi Buka Instalasi Hotel di Kampung Jogoyudan

Sebagai pembuka, vokalis Roket Band, Kiki Pea, membawakan lagu berjudul "Teror NO3". Lagu ini bermuatan kritik akan betapa lambannya penyelidikan kasus penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel Baswedan.

Vokalis Roket Band Kiki Pea dalam Jeruk Peres Talk #4 Biennale Jogja XV - (Dok Biennale Jogja XV)

Dalam gelar wicara ini, Oce Madril menyoroti, satu di antaranya, sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang saat ini dikabarkan telah menunjuk nama-nama yang akan masuk dalam susunan dewan pengawas (dewas) KPK, sebagai salah satu kebijakan baru di UU KPK yang sekarang.

Dirinya mengatakan bahwa disahkannya UU KPK makin menunjukkan tanda-tanda membahayakan bagi nasib pemberantasan korupsi di Tanah Air. Apalagi, katanya, saat ini Jokowi menunjukkan sikap yang tak terbuka soal nama-nama yang akan masuk ke dalam susunan dewas KPK.

"Indikasi bahwa ini semakin membahayakan ke depan itu terlihat ketika Presiden tidak mau membuka proses menyeleksi nama-nama itu, jadi sampai sekarang Presiden itu melakukannya dengan serba tertutup," kata Oce Madril.

"Jadi enggak ada pelibatan masyarakat, dan kita enggak tahu tiba-tiba sudah ada lima nama yang diangkat Presiden untuk menjadi dewan pengawas," imbuhnya.

Baca Juga: Kisah Dian 'Ultraman' Merasakan Jadi Buruh Sebulan di Biennale Jogja 2019

Sama dengan Oce Madril, Tri Wahyu juga beranggapan bahwa UU KPK yang baru merupakan bentuk upaya pemerintah untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Load More