Scroll untuk membaca artikel
Rima Sekarani Imamun Nissa | Fitri Asta Pramesti
Kamis, 20 Februari 2020 | 08:30 WIB
Ilustrasi Kampung Pitu, Gunung Kidul, Yogyakarta. (Suarajogja.id/Iqbal Asaputro)

Tak hanya kampungnya saja yang sakral, beberapa tempat di Kampung Pitu juga dipercaya memiliki kekuatan magis.

Kini jadi persawahan di sudut Kampung Pitu, dulunya area itu disebut Telaga Guyangan. Warga percaya, dahulu telaga itu merupakan tempat untuk memandikan kuda sembrani, kendaraan para bidadari.

"Telaga Guyangan niku padusane jaran sembrani, langenane widodari. (Telaga Guyangan dulunya tempat untuk memandikan kuda sembrani milik para bidadari)," kata Redjo.

Redjo juga menyebut bahwa jejak kaki para kuda magis yang berkunjung ke Telaga Guyangan ini tercetak di tanah sekitar telaga. Bentuknya masih bisa terlihat cukup jelas karena kini telah menjadi batu.

Baca Juga: Warga Desa Suka Maju Diganggu Lalat, Sebulan Sulit Tidur hingga Susah Makan

Dikatakan Redjo, para abdi dalem Keraton beberapa kali mengambil batu tempat tapak kuda tercetak. Konon, hanya dengan tiga ketukan saja, bongkahan batu tersebut bisa terangkat dan dibawa ke Keraton Yogyakarta. Namun, tentu saja tidak sembarang orang bisa melakukannya.

Tapak Kuda Sembrani. (SuaraJogja.id/Asta Pramesti)

Kondisi Kampung Pitu Kini

Secara geografis, Kampung Pitu terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, dengan topografi tanah yang tidak rata dan berbukit-bukit.

Untuk bisa mencapai kampung sakral ini, rute satu-satunya yang bisa ditempuh adalah dengan menaiki tanjakan curam, lengkap dengan jurang yang berada di sisi jalan. Jalan ini bisa dilalui oleh motor maupun mobil.

Sejak didapuk menjadi tempat wisata pada tahun 2015, Kampung Pitu banyak mengalami perubahan, terutama dari segi infrastruktur jalan dan teknologi.

Baca Juga: Muncul di Trailer KKN di Desa Penari, Jembatan di Sleman Ini Jadi Sorotan

Sebelum seperti sekarang, Kampung Pitu seolah terisolir dari dunia modern lantaran letaknya yang jauh di atas bukit, kondisi jalan yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki, hingga tidak adanya penerangan listrik.

Salah satu warga, Sumbuk, bernostalgia tentang bagaimana perjuangan yang harus dilakoninya dulu tatkala ingin pergi ke pasar.

"Dulu kalau mau ke belanja pasar Piyungan, harus mulai jalan jam 1 pagi. Sampai Pasar Piyungan jam 5 pagi," kenang Sumbuk.

Namun kini, sejak jalan mulai diperbaiki dan listrik mulai masuk, kehidupan di Kampung Pitu setidaknya jadi lebih mudah. Sumbuk menambahkan, kini hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai Pasar Piyungan.

Meski beberapa hal tetap saja harus memakan waktu lama karena jauhnya Kampung Pitu dari pusat keramaian, hal ini tidak membuat para warganya lantas merasa nelangsa.

Salah satu cucu Redjo Dimulyo, Roni Setiawan yang kini menginjak usia 20 tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa senang hidup di kampung sakral yang jauh dari kota.

Load More