Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 17 Juni 2020 | 06:12 WIB
Koordinator Jogja Garuk Sampah (JGS) Bekti Maulana menceritakan kisahnya terkait persoalan sampah yang ada di Yogyakarta, saat ditemui wartawan di Pleret, Bantul, Selasa (16/6/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

SuaraJogja.id - Berbuat baik tidak harus menunggu waktu luang, tapi untuk berbuat baik harus meluangkan waktu yang ada. Hal itu menjadi salah satu motivasi bagi pemuda 23 tahun asal Yogyakarta untuk peduli terhadap lingkungannya. Bekti Maulana, Kopyor atau Koordinator Jogja Garuk Sampah (JGS) ini, cukup lama mengabdikan diri untuk kebersihan lingkungan di tempat tinggalnya.

Kedatangan wartawan SuaraJogja.id ke lokasi usaha kakaknya di kawasan Pleret, Kabupaten Bantul, Selasa (16/6/2020), diterima hangat oleh Bekti. Baju surjan dan blangkon menunjukkan identitas dirinya sebagai masyarakat Jawa.

"Sebagai orang Jawa identitas ini bagi saya penting. Hal itu untuk menunjukkan dari mana saya berasal dan menjadi ikon ketika kita hidup di tengah masyarakat," ungkap Bekti.

Pria yang mengaku berambut keriting ini cukup aktif dalam kegiatan kebersihan lingkungan, terutama di wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, serta Bantul. Pria yang saat ini menjabat sebagai koordinator JGS ini memiliki kisah unik ketika bergabung di kelompok berbadan hukum itu.

Baca Juga: Komunitas Garuk Sampah, Aksi Bersihkan Jogja dari Sampah Secara Sukarela

"Kepedulian lingkungan ini sepatutnya harus dimiliki oleh masyarakat. Untuk peduli juga harus meluangkan sebagian waktu kita. Berbuat baik itu tak perlu menunggu waktu. Apalagi sebagai orang Yogyakarta harus peduli terhadap persoalan ini. Namun di satu sisi, hal ini pernah membuat saya babak belur," kelakarnya.

Bekti mengenang saat dirinya masih duduk dibangku SMA pada tahun 2017. Ia, yang sudah bergabung dengan JGS, tengah berhenti di simpang Sagan pom bensin dekat UGM. Langkahnya terhenti saat melihat sejumlah pemuda menempel pamflet iklan di tembok yang secara jelas dilarang.

"Jadi ketika saya tegur mereka tidak terima. Padahal saya sudah mengarahkan agar menempel di tempat lain yang diperbolehkan. Jaraknya juga tidak jauh dari tempat mereka menempel iklan. Saya masih sabar dan menunjukkan ada aturannya, tapi tidak digubris, bahkan saya disebut mengganggu karena mereka sedang kejar target," ungkap dia.

(garuksampah.org)

Karena memang melanggar dan menyalahai aturan, Bekti dengan berani mencopot iklan di hadapan pemuda yang menurut dia masih duduk di bangku SMA itu.

"Mereka tidak terima dan saya dikeroyok. Ada yang memukul dengan bambu, ada yang melempar batu. Karena sudah banyak orang, warga sekitar mengejar orang-orang itu. Namun sudah kabur duluan," tutur dia.

Baca Juga: Sudah Dilarang, Warga Masih Buang Sampah di Kuburan Gang Pisangan Timur

Tak hanya itu, kejadian di wilayah Wirobrajan juga menjadi kenangannya ketika menegur pemasang iklan. Ia sempat dikejar, tetapi berhasil kabur.

"Saat itu ada petugas pemasang iklan saya pisuhi [mengumpat]. Karena tersinggung, dia malah mengejar, tapi saya kabur. Artinya, masyarakat itu tidak tahu ketika dia salah. Ketika ditegur belum tentu mereka mau sadar," kenang dia.

Lulus SMA, Bekti dan anggota kelompok JGS lainnya sempat mengubah tempat sampah ilegal di kawasan Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta menjadi taman. Ia mengingat saat itu terjadi pada kurun 2017.

"Jadi terdapat di selatan Stadion Maguwoharjo, masyarakat membuat TPU ilegal. Akhirnya relawan dan teman-teman berupaya mengubah lokasi lebih bagus. Kami bekerja sama dengan pihak dosen yang ada di Universitas [Sanata Dharma] untuk mengubah menjadi taman," katanya.

JGS, yang kini digawangi Bekti, tengah menyasar sampah visual berupa sisa baliho, spanduk, hingga tali tambang yang menempel di tiang listrik dan pohon di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Kegiatan tersebut diberi nama Ngontel, akronim dari nggowes lan netel (bersepeda dan mencopot).

"Jadi sampah tak hanya di bawah [berserakan di jalan]. Sampah visual ini juga perlu dibersihkan. Tidak banyak yang peduli karena memang sudah terbiasa. Mau bagaimanapun itu tetap sampah. Kegiatan ini dilaksanakan tiap Rabu dan Minggu," jelas dia.

Penggiat lingkungan 23 tahun ini menuturkan bahwa sampah visual di Yogyakarta merupakan sampah dengan kuantitas terbanyak kedua setelah sampah rumah tangga. Dengan demikian, masyarakat harus mulai sadar dan peduli dengan persoalan yang ada di tempat tinggalnya.

"Kelompok kami hadir untuk bisa merangkul masyarakat peduli terhadap lingkungannya, terutama sampah yang ada di sekitar mereka. Bagi saya masyarakat Yogyakarta sudah ada kepedulian terhadap kebersihan ini. Namun karena belum ada wadahnya, mereka masih ragu. Maka JGS berusaha hadir untuk mereka bersama-sama mengembalikan lingkungannya menjadi bersih lagi," kata mantan pegawai UPT Malioboro ini.

Koordinator Jogja Garuk Sampah (JGS) Bekti Maulana menceritakan kisahnya terkait persoalan sampah yang ada di Yogyakarta, saat ditemui wartawan di Pleret, Bantul, Selasa (16/6/2020). - (SuaraJogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

Tak hanya soal kebersihan lingkungan, JGS, lanjut Bekti, juga mengajak masyarakat kembali menumbuhkan sifat gotong royong terhadap satu orang dengan orang lainnya melalui kegiatan positif.

"Kami tergabung dari sejumlah unsur dan latar belakang. Relawan JGS kebanyak pemuda yang masih menempuh pendidikan. Dari sini juga menjadi pelopor bagaiamana anak muda Yogyakarta membangun tempat tinggalnya dengan cara-cara yang positif," tutur Bekti.

JGS merupakan kelompok masyarakat berbadan hukum yang aktif pada persoalan kebersihan lingkungan. Dibangun pada 2014 silam, JGS kerap menyoroti persoalan sampah di Yogayakarta. Selain menyasar sampah rumah tangga, mereka kerap mencabut dan membersihkan sampah iklan ilegal yang terpasang di tiang listrik, pohon, atau lokasi yang dilarang.

Load More