Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Senin, 03 Agustus 2020 | 15:56 WIB
Ilustrasi erupsi merapi. [Ema Rohimah / grafis suarajogja.id]

"Sudah panik semua, bahkan barang seperti surat berharga atau perhiasan sudah tak diingat. Jadi segera evakuasi dengan pakaian yang kami gunakan," kata Sarmiyati ditemui saat kunjungan DPRD Sleman, Senin (13/7/2020).

Pasca erupsi Merapi 2010, rumah miliknya penuh dengan guguran abu vulkanik. Hampir seluruh warga di Kalitengah Lor terdampak akibat awan panas atau Wedhus Gembel. 

Sebagian rumah warga ada yang luluh lantah wajar Dusun Kalitengah Lor hanya berjarak 5,5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Tetapi, sebagian rumah lainnya masih kuat bertahan. Sarmiyati bersyukur rumah yang dia huni tak banyak kerusakan dan saat ini masih bisa ditempati.

Sarmiyati termasuk warga yang beruntung rumahnya masih kokoh berdiri. Tak sedikit warga yang harus kehilangan rumah dan berpindah ke Hunian Tetap (Huntap). Masyarakat yang kehilangan rumah, saat ini tinggal di Huntap-huntap yang telah disediakan pemerintah.

Baca Juga: Menginap di Hotel dengan Istri, Pria Asal Sleman Mendadak Tewas

Bagi masyarakat lereng Merapi yang sebelumnya mayoritas petani, pascaerupsi banyak yang beralih profesi. Ada yang menjadi penambang untuk bertahan hidup, adapun yang tetap mengurus sawah.

"Masih ada yang bercocok tanam, selain itu beberapa ada yang ingon (ternak) sapi milik warga lain, karena lokasi atau rumah tempat tinggalnya tak ada tempat untuk mengurus sapi," jelas dia.

Sarmiyati mengaku, letusan hebat Merapi 2010 silam membuat masyarakat terpuruk. Semua orang memulai kehidupan dari nol. Kendati demikian nampaknya Tuhan memiliki cara lain untuk mereka bertahan hidup.

Sembari mengingat kepanikan ketika Merapi erupsi 2010 silam, ia melanjutkan bahwa peristiwa 10 tahun lalu memang tak banyak persiapan dan pengetahuan masyarakat terhadap mitigasi kebencanaan.

Namun setelah peristiwa kelam yang memakan korban lebih kurang 353 orang termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan ini, masyarakat lebih sering mendapat pelatihan bagaimana menyelamatkan diri di wilayah rawan bencana.

Baca Juga: Kecelakaan di Sleman Tewaskan 1 Orang, Polisi Sebut Korban Tak Kantongi SIM

"Ada pelatihan dan juga cara-cara evakuasi serta penyelamatan diri yang baik dan tak mencelakai orang sekitar. Memang tidak sering, namun dari pelatihan itu setidaknya kami sudah ada gambaran bagaimana menyelamatkan diri jika Merapi kembali erupsi," kata dia.

Sarmiyati juga menunjukkan sebuah tas yang disebut sebagai tas siaga bencana. Tas yang diberikan oleh pemerintah melalui BPBD tersebut berisi surat-surat berharga dan juga surat kepemilikan tanah. Fungsinya untuk meletakkan berkas penting dalam sebuah tas yang bisa diselamatkan dengan cepat jika terjadi erupsi.

"Menanggulangi dan mengantisipasi kejadian serupa ada tas siaga bencana yang kami siapkan saat Merapi meletus lagi. Jadi ketika terjadi kami langsung menenteng tas dan pergi ke tempat yang aman," jelasnya.

Hidup di sekitar lingkungan yang berbahaya terhadap bencana gunung api, Sarmiyati mengaku masih merasakan kekhawatiran. Bahkan peristiwa 10 tahun lalu masih menyebabkan trauma.

"Memang ada rasa ketakutan kami selama berada di sini. Tapi kewaspadaan yang kami siapkan. Di dusun ini hampir 24 jam relawan dan warga bergilir untuk menjaga. Baik di pos pemantauan dan di lingkungan dusun," katanya.

Khawatir terhadap situasi yang tak bisa diprediksi, baik Sarmiyati dan Sambi menyoroti jalur evakuasi yang sampai saat ini belum diperbaiki sepenuhnya. Beberapa diantaranya jalur Bronggang-Klangon.

Load More