SuaraJogja.id - Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menyebut bahwa tindakan pembubaran massa dalam aksi tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja terjadi secara tiba-tiba.
Sekelompok orang tak dikenal tiba-tiba datang memukul mundur massa, dan tak ada perlindungan pihak berwenang ketika kericuhan terjadi di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga, Depok, Sleman Jumat (14/8/2020).
Humas ARB Lusi, saat dihubungi SuaraJogja.id, menjelaskan bahwa aksi yang berawal dari bundaran UGM tersebut berjalan lancar sejak pukul 13.30 WIB.
Baca Juga: Massa Aksi Tolak Omnibus Law Gejayan Luka Dilempar Batu: Polisi Diam Saja
“Kami masih berkumpul menunggu massa datang sekitar setengah jam. Pada pukul 14.30 WIB kami berjalan ke simpang tiga Gejayan menggelar orasi dan konferensi pers. Selanjutnya, aksi kami lanjutkan ke simpang tiga UIN Sunan Kalijaga dan melakukan orasi lagi pukul 16.55 WIB,” kata Lusi melalui pesan singkat, Sabtu (15/8/2020).
Orasi tetap berjalan, teriakan menggagalkan Omnibus Law terus dipekikkan oleh massa aksi. Di tengah aksi tersebut, polisi meminta massa membubarkan diri paling lambat pukul 18.00 WIB.
“Pihak polisi mendatangi mobil komando [mokom] pukul 17.45 WIB dan meminta kami membubarkan aksi sebelum pukul 18.00 WIB. Selain itu, sejumlah massa aksi melakukan salat Maghrib di simpang tiga UIN,” jelas dia.
Sebagian massa lalu berkumpul untuk mendiskusikan permintaan polisi untuk bubar sebelum pukul 18.00 WIB. Namun, forum tetap menyepakati untuk menduduki simpang tiga UIN karena pemerintah terlalu abai terhadap sikap penolakan Omnibus Law dari berbagai daerah.
“Sejumlah aksi penolakan tak kunjung mendapat tanggapan pemerintah. Maka kami sepakati untuk tetap bertahan di lokasi. Namun pukuul 18.10-18.20 WIB, geliat aparat untuk melakukan pembubaran aksi terlihat. Beberapa petugas mengenakan helm dan dua truk pengangkut Unit Sabhara datang,” jelasnya.
Baca Juga: Top 5 SuaraJogja: Tolak Omnibus Law di Jogja Ricuh, IG Mumtaz Rais Diserang
Massa masih berorasi dan juga mengekspresikan keresahan, sementara aparat berbaris. Lusi melanjutkan, sekelompok orang tak berseragam yang diduga dari oknum tak dikenal lalu datang dari arah berkumpulnya polisi pukul pada 18.40 WIB.
“Bukannya mengadang para oknum tak dikenal ini, polisi malah seakan membiarkan mereka. Sekitar pukul 19.03 WIB massa aksi diserang oleh orang tak berseragam dari arah timur simpang tiga UIN dengan batu, tongkat, dan sebilah parang. Kami terpecah ke barat dan selatan lokasi, terdapat seorang anggota massa aksi yang terluka dan juga terjadi kerusakan pada mobil komando ARB,” tambah dia.
Dari laporan yang dia terima, terdapat satu korban yang mendapat tindak kekerasan. Lainnya mengalami luka lebam atas insiden yang terjadi pada Jumat petang itu.
Namun, massa aksi yang mendapat serangan dari oknum tak dikenal tak mendapat perlindungan aparat. Seakan, kata Lusi, mereka hanya membiarkan penyerang memukul mundur massa aksi Gejayan Memanggil ini dengan kekerasan.
Para demonstran pun sempat berkumpul kembali, tetapi Jalan Laksda Adi Sucipto, yang sebelumnya ditutup, telah dibuka oleh kepolisian. Pada pukul 19.30 WIB, mereka dipaksa mundur menuju titik awal di bundaran UGM.
“Dipaksa mundur, kami mendapat kekerasan fisik dari aparat selama perjalanan dari Jalan Laksda Adi Sucipto. Setidaknya ada tiga orang yang mendapat kekerasan selama kami kembali pukul 19.40 WIB,” jelas Lusi.
Akhirnya pada pukul 20.50 WIB, para pengunjuk rasa sampai di depan bundaran UGM dan menuntut polisi untuk membubarkan diri. Pada pukul 20.15 WIB, polisi berangsur bubar, dan 15 menit kemudian massa merapat ke gerbang UGM untuk evaluasi aksi.
Lusi menilai bahwa tindakan kekerasan orang tak dikenal dan tak ada perlindungan dari penegak hukum ini termasuk dalam metode pembubaran aksi. ARB menyebut, metode itu bukanlah hal baru, yang mana melibatkan pihak-pihak berseragam maupun tidak berseragam.
Kuatnya indikasi tersebut didasari atas pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelaku penyerangan. Selain itu, pelaku penyerangan datang dari lokasi yang sama dengan titik kumpul polisi.
“Kami mengutuk keras tindakan praktik kekerasan dalam setiap penyampaian kebebasan berpendapat di muka umum. Juga terjadi politik impunitas dan penegakan hukum yang tumpul, ditandai dengan kegagalan penegak hukum memberikan rasa aman kepada korban kekerasan,” tegas Lusi.
Berita Terkait
-
Massa Aksi Tolak Omnibus Law Gejayan Luka Dilempar Batu: Polisi Diam Saja
-
Top 5 SuaraJogja: Tolak Omnibus Law di Jogja Ricuh, IG Mumtaz Rais Diserang
-
Soal Ketegangan Warga dan Massa di Gejayan Jogja, Begini Kata Polisi
-
Detik-Detik Insiden Lempar Batu Saat Aksi Tolak Omnibus Law di Jogja
-
Bawa Bambu, Warga Bubarkan Massa Aksi Tolak Omnibus Law di Jogja
Terpopuler
- Selamat Datang Penyerang Keturunan Rp 15,6 Miliar untuk Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
- 6 Mobil Bekas untuk Keluarga di Bawah Rp50 Juta: Kabin Luas, Cocok untuk Perjalanan Jauh
- Pemain Keturunan Medan Rp 3,4 Miliar Mirip Elkan Baggott Tiba H-4 Timnas Indonesia vs Jepang
- Keanehan Naturalisasi Facundo Garces ke Malaysia, Keturunan Malaysia dari Mana?
- 5 Rekomendasi Mobil SUV Bekas Bermesin Gahar tapi Murah: Harga Rp60 Jutaan Beda Tipis dengan XMAX
Pilihan
-
7 Rekomendasi HP Murah dari Merek Underrated: RAM hingga 12 GB, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
9 Mobil Bekas Tahun Muda di Bawah Rp100 Juta: Nyaman, Siap Angkut Banyak Keluarga
-
5 Mobil Bekas buat Touring: Nyaman Dalam Kabin Lapang, Tangguh Bawa Banyak Orang
-
6 Skincare Aman untuk Anak Sekolahan, Harga Mulai Rp2 Ribuan Bikin Cantik Menawan
-
5 Rekomendasi Mobil Kabin Luas Muat 10 Orang, Cocok buat Liburan Keluarga Besar
Terkini
-
Cilok vs Otak Cerdas Anak: Wali Kota Yogyakarta Ungkap Fakta Mengejutkan
-
Mandiri Sahabat Desa Fokus pada 200 Keluarga Risiko Stunting di Yogyakarta
-
Raja Ampat Darurat Tambang? KLHK Investigasi 4 Perusahaan, Kolam Jebol Hingga Izin Bodong
-
Rapat di Hotel Dibolehkan, PHRI DIY: Jangan Omon-Omon, Anggaran Mana?
-
Sinyal Hijau Mendagri: Pemda Boleh Gelar Acara di Hotel, Selamatkan Industri Pariwisata Sleman?