Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Rabu, 19 Agustus 2020 | 12:58 WIB
Ketua PGRI Sleman Sudiyo - (SuaraJogja.id/HO-dok Sudiyo)

SuaraJogja.id - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sleman mendukung rencana penerapan pembelajaran tatap muka di wilayah yang berstatus zona kuning atau hijau.

Hal itu disampaikan oleh Ketua PGRI Sleman Sudiyo kala dihubungi SuaraJogja.id, Rabu (19/8/2020).

Sudiyo memaparkan, pembelajaran sistem tatap muka sudah bisa dilakukan, mengingat saat ini masyarakat dihadapkan dua pilihan yang sama-sama berat.

"Di satu sisi, apakah kita ingin pembelajaran yang tidak maksimal? Artinya terjadi kebodohan di satu generasi. Di sisi lain, kita menginginkan COVID-19 segera berakhir. Dari dilematis itu, kami bersikap di tengah-tengahnya," ujarnya.

Baca Juga: Bantu Siswa Sekolah Daring, Pemkab Sleman Luncurkan Kanal Sembada Belajar

Menurut dia, nantinya penerapan tatap muka tidak diselenggarakan penuh waktu dan tetap ada jaga jarak karena hanya separuh siswa yang berangkat, sedangkan separuh lainnya di rumah. Sepekan kemudian, giliran sebaliknya.

"Dalam pikiran kami, itu tidak ada istirahat, sehingga tidak terjadi kerumunan. Ya begitu masuk, langsung pulang. Itu masih dalam koridor, tidak mengganggu konsentrasi anak belajar," tuturnya.

Menurut Sudiyo, pembelajaran tidak bisa dilakukan secara daring terus-menerus. Bagaimanapun, lanjutnya, interaksi antara guru dengan siswa akan membentuk sebuah karakter yang baginya harus menjadi tujuan utama.

"Ini tidak bisa dihindari, peran guru tidak akan tergantikan dengan media elektronik," ucapnya.

Hanya saja ia menekankan, ada atau tidaknya izin dari Pemerintah DIY tetap harus menjadi pegangan. Yang jelas, menurut Sudiyo, sudut pandangnya berasal dari data penyebaran COVID-19 berdasarkan zona, baik itu hijau, kuning, merah, atau hitam.

Baca Juga: Tol Jogja-Solo Mulai Pematokan, Wawan Pertanyakan Nasib Usaha Paviliunnya

Disampaikan Sudiyo lebih lanjut, penerapan pembelajaran tatap muka juga memerlukan petunjuk teknis dan ceklis. Di antaranya adalah persetujuan orang tua.

"Kalau ada orang tua yang enggak setuju ya ndak usah, dan ketidaksetujuan orang tua terhadap anak tidak memengaruhi terhadap penilaian sekolah karena mereka melakukan PJJ [pembelajaran jarak jauh]. Jadi harus check list yang macam-macam. Kalau orang tua yang tidak menyetujui, menghendaki di rumah, enggak berani, ya biar saja," tegas Sudiyo.

Selain membangun karakter, Sudiyo mengatakan, pembelajaran tatap muka didasari adanya beberapa mata pelajaran yang tidak mungkin dilakukan secara daring, misalnya pelajaran praktik.

"Untuk kelas bawah seperti SD, bagaimana guru bisa ngajar baca tulis, sedangkan mereka hanya memberi tugas? Tugas itu dibebankan orang tua, padahal orang tua belum tentu bisa mendampingi dari pagi," imbuh Sudiyo.

"Pembentukan karakter harus tetap diupayakan saat pandemi. Kita tidak ingin satu generasi yang terjadi kegagalam pendidikan dalam satu periode atau generasi. Lagipula, yang namanya corona, secara alami akan hilang dengan sendirinya, sama dengan virus lain," tukasnya.

Dinas Pendidikan Sleman belum wacanakan pembelajaran tatap muka

Di sisi lain, Dinas Pendidikan (Disdik) Sleman belum memiliki wacana untuk menerapkan pembelajaran tatap muka di masa pandemi COVID-19. Plt Kepala Dinas Pendidikan Sleman Arif Haryono menjelaskan, perihal kebijakan tentang tatap muka tidak semata-mata kewenangannya pada Disdik.

"Melainkan juga berkaitan dengan Pemda. Jika memang Pemerintah Daerah sudah memperbolehkan, maka perlu piloting. Dengan melakukan protokol kesehatan yang ketat. Tapi hingga saat ini, belum ada wacana pembelajaran tatap muka. Kita tunggu saja baik dari provinsi maupun kabupaten," ujarnya, kala dijumpai usai peluncuran Sembada Belajar, Rabu (19/8/2020).

Ia menambahkan, pihaknya sudah melakukan ceklis terhadap ketersediaan sarana tempat cuci tangan dan sarana PHBS di sekolah-sekolah.

Pengawas sekolah, lanjut Arif, sudah berkunjung ke sekolah seandainya nanti sudah diperbolehkan untuk bisa tatap muka, jajarannya sudah mempersiapkan lebih dahulu.

"Ini persiapan kalau-kalau nanti kita tetap taat kebijakan pemerintah. Tapi pada praktiknya kan sudah ada home visit. Bisa dilakukan namun juga tetap perhatikan prokes," ungkapnya.

Namun, ia meminta, bila ada home visit, jangan ada banyak murid sekaligus. Misalnya di sebuah dusun ada 5 siswa dengan kelas yang sama, maka boleh dikumpulkan.

Meski begitu, cara tersebut juga harus memperhatikan tempat. Apakah tempat memungkinkan menghadirkan lima siswa dengan jaga jarak. Yang memiliki tempat, juga dalam keadaan sehat, guru yg hadir untuk homevisit dalam keadaan sehat. Anak-anak juga memakai masker dan jaga jarak.

"Kemarin ada, gurunya menerangkan namun siswanya berdesak-desakan ingin melihat gambar yang ditunjukkan guru," ucapnya.

Arif menegaskan, dalam proses kegiatan belajar mengajar selama home visit, guru harus memperhatikan jarak. Sediakan tempat cuci tangan di home visit, adanya thermo gun serta hand sanitizer.

"Jika tidak memenuhi itu, jangan melakukan homevisit. Kita tidak ingin adanya klaster baru di bidang pendidikan," ucapnya.

Homevisit tidak hanya memperhatikan prokes, namun juga memperhatikan pernah atau tidaknya kasus positif di lingkungan yang akan digunakan sebagai  lokasi home visit.

"Kalau di perdusunan itu ada yang positif, maka proses KBM home visit jangan ditempatkan di sana. Pindah di dusun lain. Gurunya juga iya, apakah berdomisili di lingkungan yang ada kasus positif atau tidak. Jika ada, jangan melakukan home visit," tandas Arif lagi.

Juru Bicara Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Sleman, Shavitri Nurmala mengungkapkan, tim gugus tugas memiliki kajian tersendiri perihal kesiapan penerapan pembelajaran tatap muka di Sleman.

"Tapi sepertinya belum akan on off sekolah. Malah Disdik sudah menyiapkan untuk daring sampai akhir tahun ya," terang Evie. 

Kontributor : Uli Febriarni

Load More