Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Rabu, 26 Agustus 2020 | 16:30 WIB
Film Tilik [Youtube/Ravacana Films]

SuaraJogja.id - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Budi Irawan, menyampaikan pendapat mengenai tiga buah kritik besar terhadap film Tilik. Ia berpendapat bahwa tiga pendapat itu salah sasaran.

Dari masuknya nama Bu Tejo dan film Tilik dalam trending topic Twitter, Budi menyimpulkan, selain banyaknya pujian, ada tiga kritik besar yang ditujukan kepada film berlatar masyarakat desa ini.

Tiga kritik tersebut di antaranya melanggenggkan stereotip perempuan, berwatak misoginis atau kebencian terhadap perempuan, dan mengamini tindakan penyebaran hoaks atau kabar bohong.

"Menurut saya, ketiga kritik itu salah sasaran karena kekurangcermatan menonton Tilik sehingga keliru menarik simpulan," tulis Budi dalam unggahan di Facebook, Minggu (23/8/2020).

Baca Juga: Dulu Kumuh, Komunitas Bendhung Lepen Ubah Selokan Mrican Jadi Objek Wisata

Budi menyampaikan, dalam film tersebut, perempuan tidak hanya menjadi karakter yang dominan, tetapi juga direpresentasikan secara beragam, sehingga tidak ada penguatan stereotip perempuan.

Dalam sebuah film, kata dia, stereotip umumnya terlihat dari cara penggambaran karakter untuk membangun narasi. Dari beberapa teori yang ia baca, Budi menyampaikan bahwa penggambaran sifat-sifat karakter yang stereotipikal itu tak pernah berubah.

Stereotyping pun turut melibatkan proses memilah apa yang normal dan tidak normal. Pada beberapa bagian, film Tilik terlihat menunjukkan melebih-lebihkan karakter Bu Tejo untuk memancing kelucuan, tetapi tidak serta merta melakukan simplifikasi, menurut Budi.

Beberapa warganet ada yang berpendapat bahwa film tersebut menimbulkan persepsi mengenai gambaran wanita sebagai sosok yang gemar bergosip dan menyebarkan hoaks. Padahal, bagi Budi, dalam film itu sosok laki-laki juga digambarkan gemar bergosip.

Karakter Gotrek dalam film Tilik terlihat sempat menguping pembicaraan ibu-ibu di bak truk. Gotrek juga terlihat antusias dengan isi pembicaraan antara Yu Ning dengan Dian di telepon. Budi menganggap hal itu sebagai ketertarikan kaum laki-laki terhadap gosip.

Baca Juga: Nah, Bu Tejo Gosipin Raffi Ahmad

Terkait anggapan bahwa film ini membenci perempuan, Budi justru berpendapat, sosok Bu Lurah sebagai pemimpin desa cukup dicintai warganya sampai kabar dirawatnya Bu Lurah menggerakkan ibu-ibu itu berkunjung dan memberikan bantuan.

Sosok Dian juga dinilai mewakili perempuan yang mandiri dan berani membuat keputusan yang tak lazim untuk ukuran warga desanya. Digambarkan sebagai anak yang ditinggal ayahnya sejak kecil, Dian bukanlah sosok yang tumbuh dari keluarga mampu, sehingga akhirnya hanya bisa sekolah sampai SMA.

Meski demikian, Dian berani mengambil perubahan dengan pergi bekerja ke kota atau di luar kampung mereka. Sosok Dian muncul sebagai kembang desa dengan tindak tanduk berbeda dari masyarakat umum.

"Tapi, menganggap perempuan muda memilih pasangan yang lebih tua dan mapan itu menyembunyikan niatan buruk justru sebentuk pandangan yang stereotipikal. Stereotipe inilah yang justru digugat oleh Tilik di ujung cerita," imbuh Budi dalam catatannya.

Terkait pandangan perempuan sebagai penyebar hoaks, Budi mengatakan bahwa apa yang menimpa Bu Tejo sebenarnya bukan penyebaran berita bohong, melainkan penggambaran masalah pemahaman literasi digital.

Selain itu, adegan di mana Bu Tejo sebagai tokoh berpengaruh menggerakkan warga desanya untuk menyerang polisi yang hendak menilang dinilai Budi sebagai bentuk sindiran atas absennya ketersediaan transportasi publik yang murah dan bisa diandalkan warga desa.

Pendapat dosen ilmu komunikasi UGM, Budi Irawanto soal kritik terhadap film tilik. - (Facebook/Budi Irawanto)

Baca pendapat Budi Irawanto selengkapnya DI SINI.

Jika banyak warganet yang justru kecewa dengan akhir cerita film produksi Ravacana Films ini, bagi Budi akhir ceritanya malah menunjukkan Dian sebagai perempuan yang menghendaki hubungan permanen dengan mantan suami Bu Lurah.

Dian juga merupakan sosok yang tenggang rasa karena mau melakukan pendekatan dengan Fikri agar menyetujui rencana pernikahannya dengan ayah Fikri. Dalam adegan yang ditayangkan, tidak terlihat juga bahwa Dian merebut mantan suami Bu Lurah.

"Seperti Bu Tejo, tanpa kecermatan menonton, seseorang gampang menarik simpulan yang menyesatkan serta mengarah pada penghakiman yang tak adil. Akibatnya, bobot hiburan Tilik didakwa membutakan ‘problematik’ yang melekat pada film itu," tulis Budi mengakhiri.

Ia menekankan kembali ketidak setujuannya dengan tiga kritik besar mengenai film Tilik. Baginya, kritik itu muncul karena penonton tidak bisa mengambil kesimpulan secara benar setelah melihat tayangan berdurasi 30 menit tersebut.

Load More