SuaraJogja.id - Siapa saja yang muda, kreatif, berani dan berdikari adalah KetjilBergerak. Walaupun kecil, tapi tetap harus bergerak.
Menjadi bermanfaat adalah impian sejuta orang. Begitu pula dengan Greg Sindana, Invani Lela Herliana, dan kawan-kawan Komunitas KetjilBergerak. Melalui berbagai kegiatannya, komunitas di Jogja bernama KetjilBergerak ini menebar kebaikan dan kebermanfaatan bagi sesama.
Sejarah KetjilBergerak
Cikal bakal berdirinya Komunitas KetjilBergerak bermula sejak tahun 2005. Kala itu, Greg Sindana dan Invani Lela Herliana selaku pendiri KetjilBergerak masih berstatus sebagai Mahasiswa Keguruan Universitas Sanata Dharma. Sebagai seorang mahasiswa sekaligus calon pendidik bagi generasi berikutnya, Greg mengaku diselimuti keresahan.
Baca Juga: Belajar dari Sahabat Cempluk, Lupus Bukanlah Halangan untuk Terus Berjuang
“Awalnya kami dulu punya keresahan. Semakin giat belajar di kelas, kok kami malah merasa makin jauh dari masyarakat dan segudang realitanya. Padahal kan mahasiswa harusnya membantu menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat,” ungkap Greg saat berbincang-bincang bersama SuaraJogja.id, Selasa (24/8/2020).
Berangkat dari keserahannya tersebut, Greg bersama kawan-kawannya mulai menggagas berbagai ide kegiatan. Mereka awalnya membuat sebuah zine sederhana yang diberi nama KetjilBergerak. Zine yang berisi aspirasi mereka ini disebar ke berbagai titik strategis, biasanya di lokasi yang biasa dijadikan tempat nongkrong mahasiswa.
Program pembuatan zine memang tidak berlangsung lama. Zine hanya terbit sebanyak lima edisi saja. Namun, zine inilah yang menjadi awal mula nafas pergerakan muncul secara lebih signifikan. Nama “KetjilBergerak” yang semula dipakai untuk menyebut zine ini hingga kini terus dipertahankan.
Kepada SuaraJogja.id, Greg menuturkan bahwa ia sempat kehabisan ide. Oleh sebab itu, ia lantas berjejaring dengan rekan lintas fakultas dan membentuk kelompok diskusi. Dalam kelompok diskusi tersebut, mereka membicarakan tentang solusi dari berbagai permasalahan di masyarakat.
“Kita brainstorming, dari situ mulai banyak masukan mengenai kegelisahan bersama. Kita sebagai seorang mahasiswa memang susah terhubung dengan masyarakat. Bagaimana bisa kita sebagai mahasiswa ikut menciptakan solusi bersama masyarakat, wong paham permasalahan masyarakat saja tidak,” tutur Greg.
Baca Juga: Siasat Edutania Mendongeng di Tengah Pandemi, dari Panggung ke Youtube
Dari situ, Greg dan kelompoknya mulai membuat sebuah pameran lukisan sederhana bertajuk “Ikonisasi Kardus”. Sejak saat itu, KetjilBergerak semakin masif menggunakan seni sebagai media pergerakan mereka.
Kenapa menyentuh Jogja dengan seni?
KetjilBergerak memilih seni karena sifatnya yang cair di segala suasana. Dengan seni, hal-hal berat, rumit, dan serius dapat dibicarakan dengan lebih santai. Tidak hanya itu, KetjilBergerak juga menyesuaikan dengan atmosfer Jogja yang dianggap kental dengan seni dan budaya. Oleh Greg, mahasiswa Jogja dinilai sangat aktif menghidupi kesenian.
“Ketika kita membuat event yang ada unsur keseniannya seperti pameran, pertunjukan, dan sebagainya itu sudah pasti banyak masyarakat yang datang. Dari situ, kita berinisiatif untuk menggunakan seni sebagai media kolaboratif, gotong royong, dan musyawarah,” ungkap Greg.
Program-program KetjilBergerak
Saat ini, Komunitas KetjilBergerak memiliki beberapa program yang rutin dijalankan. Di antaranya Sekolah Kota Sekolah Desa, Dapoer Bergerak, dan Mural Sambung Rasa, dan musik.
Program-program ini digerakkan oleh para relawan yang datang dari mana saja. Menurut Greg, siapa saja bisa dan boleh bergabung menjadi bagian dari komunitas.
“Relawannya berasal dari berbagai kampus, biasanya dari anak-anak seni. Tapi kalau di sini pembagian kerjanya berdasarkan minat dan bakat,” tutur Greg.
Untuk program Mural Sambung Rasa, KetjilBergerak menggelar pameran dari kota ke kota. Topik yang diangkat berbeda, tergantung potensi kota berikut isu-isu lokalnya. Sejauh ini, KetjilBergerak sudah singgah di beberapa kota. Di antaranya Batang, Purworejo, Rembang, Temanggung, dan Salatiga.
Greg menuturkan bahwa proses pengggarapan Mural Sambung Rasa menekankan asas musyawarah dan kerja sama. Sesuai dengan salah satu tujuan KetjilBergerak yakni menjadikan seni sebagai media musyawarah.
“Kami biasanya musyawarah sama pemuda lokal, kira-kira ada permasalahan apa, biasanya seputar anak-anak muda. Kemudian nanti kami menentukan sudut pandang yang mau diambil apa dan visualisasinya kita garap bareng,” ujar Greg.
Kemudian untuk program Dapoer Bergerak, Greg dan teman-teman kini mengusung konsep berbeda. Program ini pertama kali dilaksanakan tahun 2016 silam. Akan tetapi, program ini awalnya bukan untuk donasi, melainkan untuk dijual dan menambah profit.
Akan tetapi, sejak tahun 2019 Dapoer Bergerak mengusung ide donasi untuk berbagi. Tidak hanya itu, pada konsep barunya ini Dapoer Bergerak mengusung masakan nusantara yang berbeda-beda setiap penyelenggaraannya. Untuk sasaran pembagian, Dapoer Bergerak menargetkan siapa saja yang sekiranya membutuhkan. Biasanya orang-orang yang gampang dijumpai di jalan.
“Kami mengusung masakan nusantara. Sehat tanpa MSG karena kami mau memberikan sesuatu yang berkualitas,” tutur Denis Anggia, salah satu relawan KetjilBergerak.
“Kalau pembagiannya biasanya kami turun ke jalan langsung. Kami beri ke tukang becak, tukang parkir, dan lain-lain. Tapi biasanya masih yang di sekitar dapur aja soalnya kan dapur kami juga pindah-pindah jadi ya semoga bisa merata,” sambung Yulanda Heby, relawan KetjilBergerak lainnya.

Selanjutnya, program KetjilBergerak lainnya adalah Sekolah Kota Sekolah Desa. Menurut penuturan dari Vanie, keduanya adalah program kembar yang sama-sama diperuntukkan sebagai ruang belajar. Hanya saja, peserta dan kulikurumnya berbeda.
Sekolah Kota Sekolah Desa sendiri sejatinya merupakan ruang belajar yang kurikulumnya ditentukan bersama dengan maksud untuk mempelajari konteks kota dan desa secara utuh. Dalam sekolah tersebut, dilakukan berbagai agenda yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan.
Terakhir untuk program musik, KetjilBergerak menciptakan lagu-lagu sarat makna yang bisa disaksikan melalui channel YouTubenya. Salah satunya adalah lagu 'Aku Anak Desa' yang dibuat untuk menjadi penyemangat sekaligus perekat bagi jaringan anak desa di seluruh pelosok Indonesia.
Berita Terkait
-
Silaturahride with Mas Pram, Ratusan Pesepeda Bersepeda 39 Km Bersama Gubernur
-
Desa Wisata Pulesari, Tawarkan Suasana Asri dengan Banyak Kegiatan Menarik
-
Kapan Pemutihan Pajak Kendaraan Jogja Tahun 2025 Dibuka? Ini Info Tanggalnya
-
Perjalanan Habbie, UMKM yang Berkembang dengan Dukungan BRI Hingga Pecahkan MURI!
-
Warung Bu Sum: Legenda Kuliner Jogja Bertahan Berkat Resep Rahasia & Dukungan BRI
Terpopuler
- Pemutihan Pajak Kendaraan Jatim 2025 Kapan Dibuka? Jangan sampai Ketinggalan, Cek Jadwalnya!
- Sama-sama Bermesin 250 cc, XMAX Kalah Murah: Intip Pesona Motor Sporty Yamaha Terbaru
- Emil Audero Menyesal: Lebih Baik Ketimbang Tidak Sama Sekali
- Forum Purnawirawan Prajurit TNI Usul Pergantian Gibran hingga Tuntut Reshuffle Menteri Pro-Jokowi
- 5 Rekomendasi Moisturizer Indomaret, Anti Repot Cari Skincare buat Wajah Glowing
Pilihan
-
Jadwal Dan Rute Lengkap Bus Trans Metro Dewata di Bali Mulai Besok 20 April 2025
-
Polemik Tolak Rencana Kremasi Murdaya Poo di Borobudur
-
8 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Memori 256 GB Terbaik April 2025
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB Terbaik April 2025
-
Hasil BRI Liga 1: Comeback Sempurna, Persib Bandung Diambang Juara
Terkini
-
Ribuan Personel Polresta Yogyakarta Diterjunkan Amankan Perayaan Paskah Selama 24 Jam
-
Kebijakan Pemerintah Disebut Belum Pro Rakyat, Ekonom Sebut Kelas Menengah Terancam Miskin
-
Soroti Maraknya Kasus Kekerasan Seksual Dokter Spesialis, RSA UGM Perkuat Etika dan Pengawasan
-
Kisah Udin Si Tukang Cukur di Bawah Beringin Alun-Alun Utara: Rezeki Tak Pernah Salah Alamat
-
Dari Batu Akik hingga Go Internasional: Kisah UMKM Perempuan Ini Dibantu BRI