Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 03 November 2020 | 13:18 WIB
Ilustrasi erupsi merapi. [Ema Rohimah / grafis suarajogja.id]

Lantai rumah sudah seperti panasnya solder, Bagong dan ayahnya tak kuat menahan panas. Lemari yang dia lihat sebelumnya dibuka dan semua barang di dalamnya dikeluarkan, Bagong masuk ke lemari di bagian dasar. Sambil meringkuk, dirinya berusaha menahan hawa panas dari Wedhus Gembel.

umarno menunjukkan ketika dirinya masuk ke sebuah lemari ketika Wedhus Gembel dari erupsi Gunung Merapi menerjang pedukuhannya Ngancar, 4/RW 6, Kalurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Begitupun ayahnya, meski tidak masuk ke dalam lemari, ayah Bagong menyelamatkan diri dengan cara bersembunyi di sudut ruangan dengan menutup daun pintu.

Peristiwa yang dialami terjadi tengah malam. Di dalam lemari ia sempat mendengar suara bambu terbakar hingga runtuhan beberapa bangunan. Tak hanya itu, gemuruh hingga guncangan juga ia rasakan selama di dalam lemari.

Beruntung meski terjadi guncangan, rumah miliknya tidak roboh. Hanya beberapa perkakas rusak dan barang berbahan plastik meleleh.

Baca Juga: Bus TransJogja Kecelakaan di Sleman, Mobil Partai yang Jadi Lawan Disoroti

Bagong mengingat bersembunyi di dalam lemari semalaman hinggga Jumat 29 Oktober 2010 dini hari. 

Berjibaku menahan panasnya Wedhus Gembel, Bagong hanya bisa berdoa. Pikirannya saat itu hanya selamat. Pasalnya beberapa waktu sebelum erupsi Merapi, Bagong sudah melamar istrinya. Sehingga ada tanggungjawab yang harus dia kerjakan yaitu mengikat janji suci di pelaminan.

Rasa putus asa diakuinya ada, pikiran bahwa ini adalah akhir hidup juga muncul selama dia menahan panas hingga tubuhnya melepuh. Bagong juga merasakan bahwa tidak akan ada yang bisa menyelamatkan ia dan ayahnya pada situasi itu.

Banyak pikiran di kepala membuat dia semakin frustasi. Perlahan Bagong merasa pusing, hingga akhirnya dia tak sadarkan diri menahan panas Wedhus Gembel.

"Setelah putus asa itu, saya langsung merasa pusing, akhirnya pingsan dan tidak ingat lagi," kata dia.

Baca Juga: Soal Kompetisi, PSS Sleman Desak PSSI dan PT LIB Segera Gelar Pertemuan

Tuhan nampaknya masih memberi kesempatan hidup kepada Bagong. Setelah beberapa jam pingsan, Bagong mulai terbangun ketika ayahnya meminta untuk mengambilkan sarung. Ayah Bagong ingin mencari kakeknya yang tadi keluar dan berteriak-teriak.

Niat itu dia urungkan karena hawa panas di luar rumah masih terasa. Bagong tak mengingat betul apakah saat itu sudah pagi atau masih dini hari. Semuanya terlihat samar karena debu vulkanik yang memenuhi rumahnya.

Tak berapa lama, dengan menahan pedih lantaran tangan dan kakinya melepuh, Bagong merangkak keluar lemari memanfaatkan mangkok besar dan kursi busa sebagai pijakan untuk menghindari panas lantai. Sementara ayahnya masih mondar mandir di dalam rumah untuk mencari pertolongan.

Tak ada yang mengetahui jika di pedukuhan ini masih terdapat orang selamat. Hingga akhirnya ada suara motor dan ribut para relawan yang melintas.

"Ayah saya yang mendengar itu langsung berteriak tolong. Termasuk saya yang sudah merasa dehidrasi dan kulit melepuh. Saya masih ingat kata-kata yang saya dengar dari relawan, iya sebentar kami bantu, tunggu dulu," ungkapnya.

Tepat pukul 09.00 wib, dirinya melihat relawan membuka pintu rumahnya, ada anggota berseragam TNI, PMI dan yang membawa tandu masuk ke dalam.

Load More