Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 25 Maret 2021 | 16:43 WIB
Petani garam di Gunungkidul sedang memanen produksi garamnya, Kamis (25/3/2021). [Kontributor / Julianto]

SuaraJogja.id - Rencana pemerintah yang akan mengimpor garam dalam jumlah besar kembali mengurangi asa dari para petani garam warga di sepanjang Pantai Selatan Gunungkidul. Semangat mereka untuk kembali berproduksi garam mengendur.

Mereka masih berharap agar ada proritas untuk para petani garam lokal agar mampu menembus pasar. Sebab selama ini mereka mengaku sangat kesulitan untuk memasarkan garam produksi dari Gunungkidul lantaran kepentok persyaratan yang tidak gampang dan biaya yang tidak murah.

Seperti yang dialami oleh para petani garam di Pantai Dadap Ayu di Padukuhan Gebang, Kalurahan Kanigoro Kapanewonan Saptosari Gunungkidul. Puluhan petani berencana untuk kembali memproduksi garam yang sempat terhenti akibat pandemi Covid-19. Namun dengan rencana impor garam tersebut, membuat mereka berpikir ulang kembali.

Ketua Kelompok Tani Garam Pantai Dadap Ayu, Sukidi mengungkapkan, tahun 2018 tepatnya di bulan April, mereka mencoba peruntungannya dengan membuat garam usai mendapat pelatihan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Gunungkidul.

Baca Juga: Pelaku Pariwisata Gunungkidul yang Daftar Vaksinasi Belum Capai 10 Persen

"Kami juga dapat bantuan peralatan dan fasilitas lainnya,"terangnya, Kamis (25/3/2021).

Dengan segala keterbatasan, akhirnya mereka mampu mengangkat air laut di Pantai Dadap Ayu menggunakan pompa ke panel garam yang telah disiapkan sebelumnya. Di lahan seluas 0,5 hektare setidaknya ada 24 orang warga Kanigoro yang mencoba memproduksi garam.

Karena penuh keterbatasan, warga Kanigoro ini hanya mampu memproduksi garam sebanyak 500 kg sampai 700 kg dalam sebulan, tergantung dengan cuaca yang terjadi saat itu. Selama 1,5 tahun mereka juga berjuang memasarkan garam produksi Kanigoro.

Hanya saja, respon masyarakat terhadap garam produksi mereka masih sangat kurang. Petani garam di Kanigoro mengaku kesulitan menembus pasar garam meskipun hanya di Gunungkidul. Mereka hanya mampu memasarkan garam di seputaran Kanigoro saja.

"Ya paling hanya warga sekitar pantai Dadap Ayu saja. Sama itu produsen kerupuk rambak,"ungkap lelaki yang juga menjabat Koordinator Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Ngrenehan ini.

Baca Juga: Pura-Pura Buka Usaha AC, Pria Gunungkidul Gelapkan Mobil Ratusan Juta

Padahal, jika dilihat secara kasat mata, Sukidi mengklaim garam produksi Pantai Dadap Ayu sebenarnya cukup bagus. Namun sampai saat ini mereka belum mengantongi izin PIRT dari instansi terkait. Garam produksi mereka juga belum mendapatkan sertifikat uji laboratorium terkait dengan kandungan garamnya ataupun uji laboratorium NaCl.

Dua syarat tersebut harus tercantum dalam kemasan mereka demi memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Syarat memenuhi SNI memang harus dilalui terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa dipasarkan secara bebas sama seperti garam garam dari Pantura ataupun daerah lain.

"Padahal untuk mengurus kedua syarat tersebut biayanya tidak sedikit. Dan kami kayaknya tidak mampu kalau tidak dibantu,"ungkapnya.

Kendati belum berlabel SNI, namun dalam 1,5 tahun produksi mereka nekat mengedarkan atau menjualnya di sekitaran Kanigoro. Hanya saja, garam yang mereka jual masih dalam kemasan curah alias dibungkus plastik biasa tanpa label dengan ukuran 1 kg ataupun 2 kg.

Rencana pemerintah yang akan melakukan impor garam sebenarnya membuat mereka galau. Para petani garam di Kanigoro tetap berharap ada prioritas bagi para petani garam lokal yang ingin memasarkan produknya. Mereka berharap diberi kemudahan untuk masuk ke pasar.

Di samping itu, pemerintah juga harus memberikan empati terhadap para petani garam dengan mengalokasikan anggaran untuk membantu para petani garam mendapatkan garam sesuai standar SNI. Berbagai persyaratan untuk mengedarkan garam harus dipermudah atau disubsidi agar mereka bisa memenuhinya.

"Pemerintah juga harus membantu kami agar garam produksi kanigoro bisa masuk ke pasar yang lebih luas lagi,"harapnya.

Sukidi mengakui sebenarnya para petani garam di Pantai Dadap Ayu ingin kembali memproduksi garam usai vakum hampir 1 tahun lamanya tidak berproduksi. Para petani menghentikan produksinya usai pemerintah melarang adanya kerumunan massa karena khawatir pandemi Covid19 menyebar.

Mereka berencana produksi kembali usai Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DIsperindag) Gunungkidul memberikan bantuan pompa air untuk mengganti pompa yang rusak karena lama tidak digunakan. Apalagi UGM telah membantu mereka melakukan uji laboratorium kandungan NaCl pada garam mereka.

"Kami juga berharap ada pelatihan pengepakan dan pemasaran. Selama ini pelatihannya baru sebatas produksi saja, belum sampai ke pengemasan,"keluhnya.

Garam dijadikan wahana wisata edukatif

Sementara itu sulitnya memasarkan produk garam lokal juga dirasakan warga Kalurahan Purwodadi.

Diketahui warga setempat saat ini tengah berupaya menghidupkan kembali pembuatan garam yang mandeg selama 30 tahun. Melalui fasilitasi dari DKP setempat, akhirnya mereka membuat setidaknya 36 panel garam dan 1 panel limbah air garam. Panel panel garam ini mereka rintis sejak awal Januari 2021 yang lalu.

Sedikit demi sedikit mereka mulai memproduksi garam seperti dalam pelatihan yang mereka terima dari DKP. Kendati sudah memproduksi, namun sadar dengan kondisi pasar saat ini yang berat, mereka pun mengubah orientasi bukan lagi untuk produksi massal dan dijual bebas, tetapi hanya untuk wisata edukasi (Eduwisata).

"Kalau mau dijual bebas, syaratnya cukup berat. Ya yang kami bidik bukan lagi garam dijual konsumsi, tetapi untuk wisatawan. Misalnya wisata penelitian ataupun studi banding, itu saja," terang Ulu-ulu Kalurahan Purwodadi, Suroyo.

Kendati demikian, para petani garam di Kalurahan Purwodadi tetap memiliki mimpi untuk bisa memasarkan garam mereka secara massal. Namun mimpi tersebut terasa kian jauh karena rencana pemerintah akan mengimpor garam dalam jumlah yang banyak membuat mereka khawatir, produksi garam mereka akan sia sia. 

Di lahan sekitar 6.000 meter persegi yang mereka kelola, warga sebenarnya sudah berusaha keras untuk mendapatkan garam berkualitas tinggi. Saat ini kandungan garam yang mereka produksi sudah mencapai 94,7 %, tentu angka tersebut ada di bawah standar SNI yaitu 97,7 %

"Ya kami masih berambisi mampu mencapai standar SNI sehingga garam dari Purwodadi bisa dijual bebas,"tandasnya.

Kontributor : Julianto

Load More