Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 21 Mei 2021 | 18:46 WIB
Aksi unjuk rasa masyarakat sipil pro-demokrasi yang tergabung dalam Komite Bersama Reformasi di depan Mapolda DIY, Jumat (21/5/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Masyarakat sipil pro-demokrasi yang tergabung dalam Komite Bersama Reformasi mengungkapkan ekspresi kekecewaan masyarakat sipil terhadap persoalan yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini. Dalam kesempatan ini mereka menyoroti lemahnya pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia.

"Dua puluh tiga tahun berlalu, reformasi menyisakan paradoks. Lembaga yang lahir karena reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi semakin lemah. Lembaga yang selama ini dikenal independen digerogoti habis-habisan," kata Humas Komite Bersama Reformasi, Ola saat berunjuk rasa di depan Mapolda DIY, Jumat (21/5/2021).

Ola menyatakan Komite Bersama Reformasi menyoroti sejumlah catatan buruk yang dimiliki oleh Ketua KPK, Komisaris Jenderal Firli Bahuri. Di antaranya, Firli diduga terlibat dalam kasus suap saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 2019 lalu.

Belum lagi mengenai terbuktinya Firli telah melanggar etik dengan bergaya hidup mewah ketika pulang kampung ke Baturaja, Sumatera Selatan menggunakan helikopter.

Baca Juga: Polda DIY Catat Kenaikan Angka Kecelakaan Selama Masa Larangan Mudik

"Tapi, Dewan Pengawas KPK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis," ujarnya.

Lebih lanjut, kasus teranyar yang sedang ramai menuai polemik adalah tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status 75 pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Penyidik senior Novel Baswedan termasuk dalam 75 pegawai yang tidak lulus dalam tes tersebut.

Menurutnya, Novel selama ini dikenal kerap mengungkap kasus korupsi skala besar di Indonesia. Mulai dari membongkar korupsi Wisma Atlet terkait SEA Games 2011, korupsi pengadaan simulator uji kendaraan SIM, dan korupsi E-KTP senilai Rp. 2,3 triliun.

"Terdapat sejumlah pertanyaan aneh dalam tes tersebut, misalnya pendapat pegawai tentang Partai Komunis Indonesia, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam, dan membaca doa qunut atau tidak saat menunaikan salat subuh," ungkapnya.

Ada juga pertanyaan mengenai alasan belum menikah, apa saja yang dilakukan saat pacaran, dan tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT.

Baca Juga: Polda DIY Klaim Wisatawan Terapkan Prokes dengan Baik Selama Libur Lebaran

"Sejumlah aktivis perempuan menilai pertanyaan-pertanyaan itu bernada seksis dan diskriminatif," imbuhnya.

Dalam hal ini Komite Bersama Reformasi menilai TWK itu justru mengukur sikap beragama dan ideologi yang dihubungkan dengan tudingan radikalisme. Tidak ayal tes tersebut mengingatkan pada masa Orde Baru, semisal tentang penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan proses penelitian khusus.

Sebelumnya upaya pelemahan KPK terjadi melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. Disebutkan Ola, UU yang melandasi lahirnya KPK itu disahkan semasa kepemimpinan Presiden Megawati.

"Peraturan itu membuat penyidik KPK tidak bisa independen. Contohnya penggeledahan kantor PDI Perjuangan karena dugaan suap anggota Komisi Pemilihan Umum yang terhambat karena menunggu izin Dewan Pengawas yang lahir karena revisi Undang-Undang," tuturnya.

Selain menyoroti lemahnya pemberantasan korupsi, Komite Bersama Reformasi juga mengecam serangan terhadap gerakan pro-demokrasi, kriminalisasi pembela hak asasi manusia, dan sejumlah kebijakan Presiden Joko Widodo.

Pasalnya kebijakan-kebijakan itu yang mengembalikan Indonesia kepada sentralisasi kekuasaan presiden seperti zaman Orde Baru. Misalnya melalui Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law yang melemahkan buruh, berpotensi merusak lingkungan karena memberikan karpet merah untuk investor, dan mengkriminalisasi warga dan pegiat lingkungan.

Selain itu penggunaan kekerasan dan penangkapan warga Desa Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah oleh polisi belum lama ini adalah bentuk kriminalisasi. Polisi menangkap warga dan pengacara publik tanpa alasan yang jelas disertai kekerasan dan gas air mata.

Bahkan tindakan represif polisi juga tergambar saat demonstrasi memperingati Hari Buruh pada 1 Mei 2021 lalu. Polisi menangkap ratusan mahasiswa di Jakarta saat aksi May Day dengan alasan bukan buruh.

Belum lagi Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta bernomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka bertentangan dengan semangat reformasi 1998.

Aturan yang diteken pada 4 Januari 2021 tersebut dinilai menghidupkan otoritarianisme ala Orde Baru. Sebab telah melibatkan tentara atau militer dalam koordinasi dan pemantauan penyampaian pendapat di muka umum.

"Ironis, 23 tahun reformasi berjalan, masa depan demokrasi Indonesia dalam bahaya dengan kembalinya wajah otoritarianisme. Reformasi gagal, demokrasi mati, dan KPK dihabisi," pungkasnya.

Load More