Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 24 Juni 2021 | 13:03 WIB
Ilustrasi ijazah. (Unsplash/Leewis Keegen)

SuaraJogja.id - Seorang ibu laporkan karyawan sekolah 'Y' tempat anaknya bersekolah. Pasalnya, guru di sekolah swasta beralamat Sendangadi, Mlati itu telah memberi nilai palsu dan asal-asalan kepada anaknya. 

Hal itu diungkap dalam rilis di Mapolsek Mlati, Kamis (24/6/2021).

Kanit Reskrim Polsek Mlati Iptu Dwi Noor Cahyanto mengatakan, kasus dugaan pemalsuan data ini terungkap atas laporan Erika (51), orang tua seorang lulusan sekolah 'Y'. 

Dalam laporannya, warga Juwangen Purwomartani Kalasan Sleman itu menyebut, ia menyekolahkan anak kandungnya di sekolah 'Y' sejak 2013. Kala itu, anaknya kelas 4 (empat) SD.

Baca Juga: Jadwal Kick-off Liga 1 Berubah, PSS Sleman Angkat Bicara

Kemudian pada 2016 mengikuti Ujian Nasional dan Ujian Akhir Sekolah tingkat SD, dinyatakan lulus dan langsung melanjutkan ke tingkat selanjutnya (SMP) di sekolah yang sama.

"Sejak dinyatakan lulus SD 2016, pelapor tidak pernah menerima ijazah dari sekolah Y atas hasil Ujian Nasional dan Ujian Akhir sekolah yang ditempuhnya," tutur Dwi.

Selanjutnya, pada awal 2017 pelapor menanyakan ijazah SD anaknya ke pihak sekolah. Namun baru pada 16 April 2018, anaknya itu baru menerima ijazah SD tersebut.

Di dalamnya, tercantum data seluruh mata pelajaran beserta nilainya. Termasuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Berdasarkan keterangan pelapor, mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut tidak pernah diajarkan dan diujikan kepada anaknya yang lulus Tahun Ajaran 2015/2016.

Baca Juga: Hujan Deras Diprediksi Masih Akan Guyur DIY, BPBD Sleman Waspadai Potensi Bencana

Setelah menerima laporan dan mendalaminya, aparat kepolisian menangkap S sebagai tersangka dan selanjutnya dimintai keterangan, pada Mei 2021.

Dari pengakuan tersangka, S merupakan karyawan/staf yang mempunyai peranan penting dalam operasional sekolah 'Y'.

S telah menyuruh saksi A untuk memasukan nilai mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti ke dalam ijazah siswa, dengan akal bulusnya.

S menyuruh guru Kimia berinisial J, untuk menguji praktik menghafal surat pendek dalam Al Quran. Selain itu, meminta siswa menghafal bacaan salat tanpa mempraktikan cara shalat.

"Tidak seperti mata pelajaran lain yang sebelumnya diajarkan, dijadwalkan secara khusus dalam kegiatan belajar mengajar dan diujikan secara tertulis. Kemudian si guru ini memberikan nilai 75," kata Dwi, dalam rilis.

Sementara itu, nilai Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan didapatkan dengan cara hanya disamakan dengan nilai Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, yaitu 75.

Akibat tindakan tersangka, korban Erika mengalami kerugian, baik materi maupun inmaterial.

"Anak pelapor tidak memahami dasar-dasar kaidah Agama Islam, karena tidak mendapatkan pelajaran tentang Islam secara utuh dari sekolah sebagai mata pelajaran," kata Dwi, saat mengulangi keterangan pelapor.

Kerugian lain, anak tidak mengetahui Wawasan Kebangsaan dan Pancasila, karena sang anak tidak diajarkan Pendidikan Kewarganegaraan.

"Kerugian moral, bahwa anak menjadi tidak puas dengan nilai agama dan PKn yang dipalsukan. Terhadap pelapor, sang anak mengatakan, jika pelajaran itu diajarkan, pasti nilainya akan lebih dari hanya sekedar 75, seperti mata pelajaran lain," tambahnya.

Pelapor juga menyebutkan, anaknya kini tidak hafal Pancasila, tidak tahu lagu kebangsaan, lagu-lagu nasional, hari-hari nasional seperti hari pahlawan, hari kesaktian Pancasila.

"Bahkan Hari kemerdekaanpun, tidak tahu. Karena sekolah tidak pernah melakukan upacara bendera," kata dia.

Sang ibu, dalam laporannya, juga menilai bahwa anak menjadi tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Anak dibentuk untuk tidak peduli pada masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan atau Negara Indonesia.

"Terlihat dengan sikapnya yang cuek dan tidak responsif terhadap masalah-masalah, kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan atau negara Indonesia," terangnya.

Bukan hanya itu, akibat hanya mendapatkan nilai palsu dari dua mapel dalam ijazahnya, sang anak kehilangan kepercayaan diri untuk melanjutkan jenjang berikutnya ke sekolah negeri. Karena tidak mempunyai pengetahuan dasar tentang Pendidikan Agama Islam serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

"Dengan menyimpan ijazah tersebut, korban juga merasa terancam jika tanpa sengaja menggunakannya, akan dapat terjerat hukum," kata dia.

"Pelapor menjadi rugi, karena yang menjadi hak anak untuk memiliki ijazah kelulusan pendidikan selama bertahun-tahun sekolah tidak bisa digunakan," terangnya.

Akibat perbuatannya itu, tersangka S dijerat pasal 266 ayat (1) KUH Pidana, dengan ancaman hukuman maksimal 6 (enam) tahun.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More