Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 23 Juli 2021 | 12:53 WIB
Rektor UI Prof. Ari Kuncoro. (Antara/Feru Lantara)

SuaraJogja.id - Rektor Universitas Indonesia atau Rektor UI Ari Kuncoro telah mundur dari jabatan Wakil Komisaris Utama atau Komisaris Independen PT BRI. Surat pengunduran diri tersebut telah diterima Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Kamis, 22 Juli 2021. Rektor sejumlah universitas juga diketahui punya jabatan rangkap, melihat kondisi ini Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) beberkan sejumlah sorotan penting. 

Direktur PSHK FH UII Allan F.G Wardhana mengungkapkan, ruang pengaturan larangan terhadap rangkap jabatan rektor perguruan tinggi sendiri diletakkan dalam statuta perguruan tinggi yang ditetapkan dengan peraturan Menteri atau peraturan pemerintah (PP). Hal ini didasarkan oleh ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mendelegasikan pengaturan Statuta Perguruan Tinggi, ditetapkan dengan peraturan Menteri dan Statuta Perguruan Tinggi berbadan hukum ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Lalu, peraturan Menteri dan peraturan pemerintah merupakan produk hukum yang dibentuk secara tunggal oleh pemerintah.

"Diletakkannya pengaturan statuta perguruan tinggi lewat peraturan menteri atau peraturan pemerintah,membuka celah lebar bagi pemerintah untuk melakukan otak-atik terhadap pengaturan rangkap jabatan rektor perguruan tinggi," kata dia, Jumat (23/7/2021). 

Menurut Allan, kondisi tersebut bisa dilihat dari praktik pengesahan PP 75/2021, yang menggantikan aturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI (PP 68/2013). Secara umum, bahwa Rektor Perguruan Tinggi yang bersangkutan saat masih berlakunya PP 68/2013, ternyata telah menjadi Komisaris di salah satu perusahaan milik negara.

Baca Juga: Baru Diresmikan, Shelter Isolasi UII Kedatangan 8 Pasien OTG

"Fakta tersebut sejatinya telah melanggar Pasal 35 huruf c PP 68/2013 yang menyatakan bahwa rektor dilarang menjabat pada BUMN/BUMD/ataupun swasta," urainya.

Namun, akhirnya pada PP 75/2021 yang mengganti PP 68/2013 telah mempersempit larangan tersebut, yang hanya melarang jabatan direksi pada BUMN/BUMD/Swasta. Praktik yang dilakukan rektor dengan melakukan rangkap jabatan seakan telah dilegalkan. Padahal, pengesahan PP 75/2021 oleh Presiden tidak bisa dilepaskan dengan isu rangkap jabatan yang sebelumnya dilarang

Bidan Riset dan Edukasi PSHK UII Ahmad Ilham Wibowo menerangkan, terbukanya celah lebar otak-atik pengaturan rangkap jabatan rektor perguruan tinggi dalam praktiknya telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait pengaturan rangkap jabatan rektor di pendidikan tinggi. Kondisi ini dapat dilihat dari tidak seragamnya pengaturan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi. 

Misalnya, larangan rangkap jabatan rektor diberlakukan hanya terhadap jabatan direksi di badan usaha. Hal ini diberlakukan di UGM (PP 67/2013) dan UI (PP 75/2021). Lalu larangan rangkap jabatan rektor diberlakukan baik di jabatan komisaris dan direksi pada perusahaan. Hal ini antara lain diberlakukan di UNS (PP 56/2020), Undip (PP 52/2015), dan Unand (Permendikbud 47/2013).

"Adanya ketidakseragaman tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum terkait jabatan apa saja yang sebenarnya tidak boleh dirangkap oleh rektor pada perguruan tinggi di Indonesia," tutur Ilham.

Baca Juga: PSHK UII: Pemecatan 51 Pegawai KPK Merugikan, Cabut Perkom KPK No 1 Tahun 2021

Ilham menambahkan, perguruan tinggi memiliki otonomi, untuk mengelola sendiri lembaga mereka sebagai pusat penyelenggaraan Pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat. Rektor di dalamnya memiliki posisi strategis, dalam menentukan penyelenggaraan dan pengelolaan suatu perguruan tinggi yang salah satunya diwujudkan lewat kewenangan mengeluarkan kebijakan maupun peraturan di perguruan tinggi.

"Dengan adanya ketentuan PP 75/2021 yang kemudian melegalkan praktik rangkap jabatan rektor sebagai komisaris, padahal dalam PP 68/2013 ketentuan tersebut telah secara tegas dilarang, hal ini secara tidak langsung membuka ruang lebar intervensi terhadap rektor," tegasnya.

"Bahwa ketentuan ini secara tidak langsung membuka ruang lebar intervensi terhadap rektor dengan diberikannya jabatan ganda sehingga berpotensi mempengaruhi rektor dalam melaksanakan penyelenggaraan dan pengelolaan di pendidikan tinggi secara otonom," lanjut Ilham.

lham menegaskan, pemberlakuan PP 75/2021 yang melegalkan rektor perguruan tinggi merangkap jabatan komisaris tidak berlaku surut. Artinya, PP 75/2021 tidak bisa dijadikan alasan pembenar terhadap praktik rangkap jabatan yang telah dilakukan rektor sebelum PP 75/2021 ini dibentuk. Karena sejatinya yang berlaku adalah PP 68/2013 yang di dalamnya melarang rektor untuk melakukan rangkap jabatan. 

Menyikapi atas adanya persoalan itu, PSHK UII memiliki sejumlah rekomendasi. Pertama, pengaturan larangan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi perlu diatur dalam produk hukum setingkat undang-undang. Kedua, Presiden tetap menegakkan aturan yang telah dilanggar oleh rektor yang bersangkutan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 35 huruf c PP 68/2013 serta ke depan, Presiden harus melihat konteks pembentukan peraturan yang diajukan kepada Presiden, sehingga anggapan bahwa Presiden melakukan upaya legitimasi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oknum tertentu dengan cara merubah peraturan perundang-undangan tidak terjadi lagi. 

Ketiga, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang membuka ruang pengaturan rangkap jabatan rektor di perguruan tinggi lewat peraturan Menteri atau peraturan pemerintah.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More