Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 26 Oktober 2021 | 08:56 WIB
Juru Bicara ARDY, Yogi Zul Fadhli menyampaikan pemaparan saat konferensi pers di Kantor LBH Yogyakarta, Kotagede, Senin (25/10/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Penerbitan Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 yang salah satu poinnya melarang aktivitas menyampaikan pendapat di kawasan yang masuk objek vital nasional terus mendapat sorotan. Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) menganggap indikator objek vital itu tidak jelas.

Alasan Pergub DIY Nomor 1/2021 sendiri muncul mengacu dengan adanya Keputusan Menteri Nomor KM.70/UM.001/2016 tentang  Penetapan Objek Vital Nasional di Sektor Pariwisata. Dimana kawasan seperti Malioboro, Istana Gedung Agung, Keraton Yogyakarta,  Keraton Kadipaten Pakualaman dan Kotagede dilarang melakukan unjuk rasa.

"Acuan kita seharusnya berpedoman dengan UU yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 9/1998 atau UUD 1945, yang perlu diperjelas apakah pembatasan menurut Keputusan Menteri Pariwisata itu sah secara hukum?, tentu tidak," jelas Juru Bicara ARDY,  Yogi Zul Fadhli saat konferensi pers di Kantor LBH Yogyakarta, Kotagede, Kota Jogja, Senin (25/10/2021).

Yogi melanjutkan, dalam UU 39/1999 tentang HAM, pembatasan bisa saja dilakukan namun harus ada aturan perundang-undangan selevel UU. Jika hanya Keputusan Menteri atau Pergub menurutnya tidak ada kekuatan hukum, itu yang menjadi salah kapan.

Baca Juga: Antisipasi Potensi Bencana Saat Pancaroba, Ini yang Disiapkan BPBD DIY

"Itu sangat keliru ketika menggunakan Keputusan Menteri Pariwisata dan Pergub DIY nomor 1/2021 sebagai alat melakukan pembatasan," kata dia.

Tidak ada kejelasan indikator objek vital nasional seperti apa yang dilarang untuk tempat berdemo akan terasa ambigu, bahkan menjadi kesempatan orang untuk memanfaatkan Keputusan Menteri Pariwisata untuk membatasi warga berpendapat di muka umum.

"Memang dalam artian objek vital nasional kira-kira bunyinya tempat yang strategis dan memiliki nilai ekonomi. Jika parameternya adalah nilai ekonomi, semua orang bisa mengkategorikan sebagai objek vital, selama memiliki nilai ekonomi. Itu sangat rentan  dimanfaatkan pihak anti demokrasi untuk melakukan penyampaian pendapat," kata dia.

ARDY menilai bahwa bisa saja Keputusan Menteri sendiri bermasalah. Jika parameter dan definisi itu tidak dijelaskan secara detail.

Terpisah, perwakilan ARDY lainnya, Tri Wahyu cukup kecewa dengan pernyataan Sultan HB X yang tidak melarang demo. Pihaknya masih membolehkan menyampaikan pendapat di Jalan Perwakilan dan juga Jalan Mataram.

Baca Juga: Hindari Simpul Pemeriksaan Vaksinasi, Bus Pariwisata Kucing-kucingan Masuk ke DIY

"Saya kira Gubernur harus melihat lagi Pergub DIY nomor 1/2021 yang diteken sendiri oleh dirinya. Dalam Pergub itu mengatur lokasi yang steril untuk kegiatan demonstrasi tidak boleh dalam radius 500 meter. Namun dalam pernyataannya beberapa waktu lalu Jalan Perwakilan dan Mataram masuk radius 500 meter, berarti di dua jalan itu tidak bisa melakukan aksi penyampaian pendapat kan?, tentu kurang bijak jika merespon seperti itu tapi belum membaca utuh isi Pergubnya," kata dia.

Wahyu juga menyesalkan aksi berpendapat di Malioboro harus memiliki izin khusus. Padahal dalam Pasal 10 ayat 1 UU nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan aksi unjuk rasa cukup menyampaikan pemberitahuan tertulis ke Polri.

"Sehingga ini mencerminkan Gubernur DIY tidak paham terhadap produk UU reformasi 1998 itu," katanya.

Load More