"Padahal jika kampus memiliki standing point yang jelas dan tegas atas kasus kekerasan seksual, maka kampus akan lebih jelas memihak pada keadilan," ujarnya.
Penyintas yang dipaksa untuk berdamai dengan pelaku, dan penyelesaian masalah sebatas pemberian permintaan maaf dari pelaku dengan dalih restorative justice, juga tidak akan memberi efek jera dan pembelajaran apapun untuk tidak melakukan hal serupa.
Narasi keadilan restoratif di Indonesia masih jauh dari penerapan yang tepat, kata dia. Selain membutuhkan acuan atau panduan, pemahaman masyarakat soal hukum masih minim. Ditambah lagi akademisi hukum yang perspektif positivisme, melihat hukum itu lurus-lurus saja.
"Dibutuhkan edukasi-edukasi. Mungkin, dengan adanya RUU TPKS kita bisa berharap ini ada sesuatu yang ideal, yang diharapkan bisa menyumbang bagaimana penanganan, pencegahan dan pemulihan di kasus kekerasan seksual," sebutnya.
Baca Juga: RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan Jadi Inisiatif DPR
Komitmen Memerangi Kekerasan Seksual Masih Belum Kuat
Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center Defirentia One Muharomah menyayangkan, selama ini belum ada komitmen tinggi dari pemerintah daerah untuk mencegah kekerasan seksual terjadi di kos-kosan.
Selama ini, aturan mengenai kos-kosan di Kota Jogja maupun Kabupaten Sleman misalnya, belum mengatur secara rinci poin-poin yang bisa melindungi penghuninya dari kekerasan seksual. Baru mengatur ketertiban umum di dalamnya serta larangan-larangan dan kewajiban. Peraturan yang ada seolah masih luput sisi keamanan dan bersifat tradisional.
"Saya belum menemukan. Peraturan ini seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan kekerasan seksual maupun pelecehan seksual," ungkap One, kepada Tim Kolaborasi Liputan Kekerasan Seksual di Indekos, Rabu (12/1/2022).
Menurut dia, kos-kosan jangan hanya aman dari maling, perampok, pencuri tapi harus aman pula dari kekerasan seksual.
One melihat, soal kekerasan seksual bisa memunculkan blunder dan debat kusir ketika disandingkan dengan kesusilaan. Akan banyak pihak yang melihat dari sisi penyintas dan pelaku amoral, kemudian pelaku usaha indekos membuat kos syari, tidak mencampur laki-laki dan perempuan.
Berita Terkait
-
Predator Seksual Berkedok Profesor, Guru Besar UGM Ramai Disebut Walid Versi Nyata
-
Cabuli Mahasiswi, Legislator PKB Geram Aksi Predator Seks Guru Besar UGM: Jangan Dikasih Ampun!
-
Jangan Salahkan Diri! Ini 8 Cara Mengatasi Trauma akibat Kekerasan Seksual
-
Kronologi dan Modus Dokter Residen Anestesi Unpad Diduga Rudapaksa Penunggu Pasien di RSHS
-
Apa Itu Tes Crossmatch? Diduga Modus Kekerasan Seksual Residen Anestesi Unpad ke Penunggu Pasien
Tag
Terpopuler
- Pemilik Chery J6 Keluhkan Kualitas Mobil Baru dari China
- Profil dan Aset Murdaya Poo, Pemilik Pondok Indah Mall dengan Kekayaan Triliunan
- Jadwal Pemutihan Pajak Kendaraan 2025 Jawa Timur, Ada Diskon hingga Bebas Denda!
- Pemain Keturunan Maluku: Berharap Secepat Mungkin Bela Timnas Indonesia
- Jairo Riedewald Belum Jelas, Pemain Keturunan Indonesia Ini Lebih Mudah Diproses Naturalisasi
Pilihan
-
Bodycharge Mematikan Jadi Senjata Rahasia Timnas U-17 di Tangan Nova Arianto
-
Kami Bisa Kalah Lebih Banyak: Bellingham Ungkap Dominasi Arsenal atas Real Madrid
-
Zulkifli Hasan Temui Jokowi di Solo, Akui Ada Pembicaraan Soal Ekonomi Nasional
-
Trump Singgung Toyota Terlalu Nyaman Jualan Mobil di Amerika
-
APBN Kian Tekor, Prabowo Tarik Utang Baru Rp 250 Triliun
Terkini
-
Jogja Hadapi Lonjakan Sampah Pasca Lebaran, Ini Strategi Pemkot Atasi Tumpukan
-
Revitalisasi Stasiun Lempuyangan Diprotes, KAI Ungkap Alasan di Balik Penggusuran Warga
-
Soal Rencana Sekolah Rakyat, Wali Kota Yogyakarta Pertimbangkan Kolaborasi Bersama Tamansiswa
-
Solusi Anti Pesing Malioboro, Wali Kota Jogja Cari Cara Antisipasi Terbaik
-
Praktisi UGM Rilis 2 E-Book Kehumasan: Solusi Jitu Hadapi Krisis Komunikasi di Era Digital