Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 24 Januari 2022 | 07:30 WIB
info grafis kekerasan seksual di DIY. [ema rohimah / suarajogja.id]

"Masalahnya kan bukan itu, setertutup apapun sebuah kosan, kalau faktor risiko ketimpangan relasi ada, bisa juga terjadi kekerasan seksual di situ. Aturan yang memuat ini belum sampai sana," sesal One. 

Ancaman-ancaman yang berpotensi terjadi pada penghuni indekos, sejauh ini baru dilihat dari kacamata tradisional. Padahal, bisa jadi pelaku kekerasan seksual di indekos adalah orang dalam.

Dalam konteks zaman yang terus berubah, pemerintah daerah sudah harus kritis melihat faktor risiko. Bahwa kejahatan kekerasan seksual tidak lagi cukup dicakupkan dalam kesusilaan, norma sosial, agama. 

Pencegahan dan Deteksi Dini

Baca Juga: RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan Jadi Inisiatif DPR

One melihat konsep deteksi dini kerap luput dari masyarakat atau pembuat kebijakan.

"Karena sudah menjamur, ibaratnya penyakit sosial, kita harusnya bisa deteksi dini, apa saja yang dibutuhkan untuk deteksi dini?," ucap One.

Dalam konteks pribadi, RAWCC memulai edukasi pada orang yang pacaran.

"Kalau dalam hubungan itu ada pemaksaan, kontrol terhadap tubuh, itu deteksi dini bahwa pasangan kalian bisa jadi pelaku kekerasan seksual. Ketika tidak menghargai batasan consent, itu bisa deteksi dini bisa terjadi kekerasan," terangnya. 

One mengakui, RAWCC pun masih ada pekerjaan rumah agar masyarakat bisa paham relasi kuasa, yaitu menerjemahkannya ke dalam bahasa yang awam. Utamanya ketika yang punya kuasa adalah bapak kos, penjaga kos, ketua RT. Atau dalam konteks kampus yakni dosen, ketua organisasi mahasiswa. 

Baca Juga: Jasijo Kritik Polda Jatim, Tiga Tahun Tak Mampu Menangkap Putra Kiai Jombang Tersangka Kekerasan Seksual

Setelah itu, berlanjut pada bagaimana cara mendeteksi potensi kekerasan seksual dalam konteks keseharian mereka. Karena perwujudan 'kuasa' bisa dimaknai dalam bentuk popularitas, kemampuan, pengaruh, punya sumber daya dalam bentuk apapun.

Load More