Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 14 April 2022 | 10:25 WIB
Sejumlah pekerja memasak dan menyiapkan camilan Kicak hasil produksi Warung Mbah Wono di Kampung Kauman, nomor 65 RT 35/ RW 10, Kelurahan Ngupasan, Gondomanan, Kota Jogja, Rabu (13/4/2022). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Bulan Ramadhan menjadi momen masyarakat memanfaatkan waktu untuk menghasilkan cuan. Banyak makanan khas yang dijual pada bulan penuh berkah ini, seperti camilan Kicak.

Camilan berupa campuran parutan kelapa muda, jadah, nangka dan tambahan vanili ini kerap muncul hanya saat Ramadhan saja. Warung makan Mbah Wono yang terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kemantren Gondomanan, Kota Jogja salah satunya yang masih memproduksi makanan khas Jogja itu.

Pengelola Warung Mbah Wono, Retno Budiwati menerangkan sejauh ini camilan Kicak masih ditemukan di Jogja. Namun jumlah orang yang memproduksi semakin sedikit.

"Kalau di Jogja ini kan Kicak lebih dikenal ada di Kampung Kauman. Nah sampai sekarang kami yang masih produksi," kata Retno ditemui wartawan di rumah produksinya nomor 65 RT 35/ RW 10, Kelurahan Ngupasan, Gondomanan, Kota Jogja, Rabu (13/4/2022).

Baca Juga: Masjid Kauman Semarang Dipadati Ratusan Jemaah Setiap Ramadhan yang Mengikuti Semaan Alquran

Retno mengaku bahwa selama ini warga masyarakat menjual Kicak saat menjelang berbuka puasa. Terlebih lagi dengan adanya Pasar Sore di sepanjang Jalan Kauman, tak jarang orang yang melintas menyempatkan diri membeli Kicak.

"Sayang selama pandemi Covid-19 itu kan tidak ada Pasar Sore. Jadi penjual juga tidak mendapat hasil dari even itu. Padahal dulu banyak yang produksi, termasuk ibu saya (Mbah Wono)," katanya.

Retno tak mengetahui pasti kapan orang tuanya memulai membuat Kicak yang saat ini dihargai Rp5 ribu per bungkusnya. Namun setelah kepergian ibundanya, Retno meneruskan produksi Kicak itu sekitar 2015 lalu.

Retno mengaku tinggal dari luar kota dan datang ke Jogja untuk menemani ibunya yang sedang sakit. Ketika wafat 2015 lalu, ilmu membuat Kicak tersebut dilanjutkan Retno.

"Ini sudah turun temurun, jadi mungkin generasi ketiga ya. Saya tidak punya anak dan harusnya ilmu Kicak ini turun ke cucu keluarga kami," kata dia.

Baca Juga: Gelar Tarawih Pertama, Masjid Gedhe Kauman Buat Sekat Antara Warga dan Jemaah Luar

Perkembangan zaman menuju dunia teknologi kata Retno menjadi faktor generasi muda memilih bekerja dengan berbagai fasilitas yang mudah. Ia mengaku ketika dirinya tiada, ilmu membuat Kicak tidak akan bertahan lagi.

"Yang bisa membuat itu saya dan satu bawahan ibu saya. Ketika kami tiada ya tidak jualan lagi. Cucu dari keluarga kami juga memilih kerja di kantor. Yang berjualan seperti ini belum ada," kata dia.

Retno masih ingin kudapan manis ini bertahan terus meski zaman berganti. Makanan ringan yang sudah menjadi khas di Kauman terutama Jogja itu harus tetap dilestarikan. 

"Yang jelas kita semua berharap ini bisa diteruskan ke depan. Saat ini saya masih kuat dan terus berjualan dulu saja," katanya.

Dalam sehari, selama pandemi Covid-19 ini Retno hanya memproduksi sebanyak 6 kilogram. Jumlah itu menurun seiring sebaran  Covid-19 yang marak terjadi dua tahun lalu.

"Kalau sebelum pandemi kan bisa sampai 10 kilogram. Sekarang berkurang karena tidak dijual di Pasar Sore," kata wanita 63 tahun itu.

Meski tak ada Pasar Sore atau Pasar Tiban yang menjual takjil untuk berbuka puasa, dirinya tetap menerima pesanan. Biasanya pembeli adalah pelanggan yang sudah biasa membeli ketika ada Pasar Tiban.

Hasil penjualan Kicak saat ini tentu menurun. Namun bagi Retno kudapan yang sudah menjadi kekhasan Kauman ini akan tetap dia lestarikan.

"Ini terus kami jual karena banyak warga luar Kota Jogja yang biasa memesan. Bahkan kami juga mengirim ke Jakarta. Dijual saat Ramadhan memang sudah khas. Maka dari itu selama masih punya tenaga, saya tetap menjual," kata dia.

Load More