Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Minggu, 24 April 2022 | 11:00 WIB
Foto nampak depan SD N Banyurejo 1, Banyurejo, Tempel, Kabupaten Sleman dengan patok berwarna merah putih yang sudah terpasang. (kontributor/uli febriarni)

SuaraJogja.id - Dua bangunan sekolah dasar atau SD dipastikan bakal tergusur dan akan direlokasi lantaran terdampak proyek tol Jogja-Bawen. SD Negeri Banyurejo 1 di Kapanewon Tempel, merupakan salah satu yang terdampak.

Sekolah yang resmi berdiri pada 1967 ini, meninggalkan sejumlah kenangan bagi siswa dan masyarakat sekitar. Setidaknya bagi Purnomo, alumni sekolah tersebut.

Kala dijumpai di halaman sekolah, Purnomo mengatakan, almamaternya itu dulu menyandang nama Sekolah Rakyat Kerisan. SR Kerisan seingatnya mulai dibangun pada 1964.

Ada latar belakang tersendiri SR tersebut diberinama Kerisan, bukan menggunakan Banyurejo seperti saat ini. Sebelum bernama Banyurejo, titik yang menjadi lokasi SD Negeri Banyurejo 1 adalah Kerisan.

Baca Juga: Empat Tanah Wakaf Tergusur Tol Jogja-Bawen Akan Diruislag, Kemenag: Kami Harus Antisipasi Dampak Sosial

Hingga kemudian tahun demi tahun berlalu dan membuat dua kalurahan, --Kerisan dan Senomoyo-- akhirnya menyatu dan memakai nama Banyurejo.

"Di tahun itu, rumah bapak jadi tempat tentara dan ada bagian rumah yang digunakan sebagai sekolah. Saya dan teman-teman sekolah di sana," ujar putra mantan lurah Banyurejo tersebut, kala ditemui pada Jumat (22/4/2022).

Ia ingat betul, Purnomo kecil tak pernah ada istilah berangkat sekolah. Jelas saja, karena sekolah tempat ia menimba ilmu adalah rumah ayahnya sendiri.

Sependek ingatan dia, pada 1961 SR berubah menjadi SD. Demikian juga SD Banyurejo, yang selanjutnya tercatat menjadi SD pertama di kalurahan itu.

"Lalu bapak punya gagasan agar SD punya gedung pribadi. Makanya kemudian menggunakan tanah kas desa untuk gedung SD itu, sekitar 1962," ujarnya.

Baca Juga: Pihak Tol Jogja-Bawen Pastikan Sekolah Tak Dibongkar Sebelum Ada Bangunan Pengganti

Sebagai siswa SD Banyurejo, tentu Purnomo dan teman-temannya mengikuti arahan kepala sekolah dan gurunya atas program-program sekolah. Demikian pula saat diminta membantu sekolah ikut urun tenaga membangun sekolah.

"Ada namanya program Sabtu Krida. Saat itulah saya dan teman-teman mengambil pasir, batu dari [sungai] Krasak lalu membawanya ke sekolah," kenang Purnomo sembari terus memegang dokumen sekolah.

"Jadi sekolah ini dibangun oleh keringat siswanya, termasuk saya. Kemudian bata yang dibutuhkan berasal dari bantuan warga sekitar. Realisasi pembangunan 1964. Tapi jadinya 1967, " ucapnya.

Purnomo mengatakan, seiring berjalan waktu kini sudah banyak area gedung yang merupakan bangunan baru.

Dengan sepenggal kenangan itu, jelas bahwa ia dan masyarakat sekitar sekolah punya rasa memiliki atas sekolah. Hal itu juga yang membuat warga ingin lokasi lahan pengganti sekolah masih berada di padukuhan yang sama, Onggojayan.

"Yo nek misale oleh ngenyang, nek isa ya aja kena jalan tol (Ya kalau misalnya boleh menawar, kalau bisa ya jangan kena tol). Ini perjuangan saya dan teman-teman saya," sebutnya.

Load More