SuaraJogja.id - Menkopolhukam RI Mahfud MD menegaskan tak ada narasi Islamofobia disebarkan oleh pemerintah.
Pernyataan itu ia sampaikan, kala membuka dialog kebangsaan bertajuk Imaji Satu Abad Indonesia, sebagai rangkaian Milad ke-79 Universitas Islam Indonesia (UII), di Auditorium Prof.Kahar Mudzakkir UII, Kabupaten Sleman, Senin (26/7/2022).
"Ada lagi tulisan di medsos. Di Indonesia, orang Islam itu mayoritas, mayoritas orang Islam di Indonesia. Tapi di Indonesia terjadi islamofobi. Saya katakan tidak ada islamofobi di Indonesia," kata Mahfud MD.
Ia menjelaskan, dari sisi pihak-pihak di pemerintahan tidak ada yang takut pada orang Islam. Yang terjadi justru sebaliknya. Menteri membawa sajadah, presiden ke masjid, presiden ke pesantren.
"Mereka tidak malu," tuturnya.
Mahfud tak membantah, bahwa pada masa sebelumnya benar ada islamofobia di Indonesia, tepatnya pada zaman Orde Baru.
Situasi saat itu bahkan menyebabkan banyak orang enggan menyatakan identitasnya. Termasuk yang memiliki latar belakang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sekalipun.
"Orang Islam dulu, kalau mau ngaku orang Islam itu tidak boleh maju. Orang NU ndak bisa maju dulu, [mereka] ndak ngaku kalau orang NU," ucapnya.
"Banyak profesor di UGM (Universitas Gadjah Mada) baru tahu saya kalau mereka orang NU, itu sesudah reformasi. Karena zaman Orde Baru ndak berani ngaku, ada fobi, sekarang ndak," tambahnya.
Baca Juga: Mahfud MD: Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua Musuh Rakyat
Namun saat ini, menurutnya, umat Islam sudah bebas dalam berekspresi, baik dalam bidang politik, pemerintahan, maupun intelektual.
Gus Yahya: Kita Tak Mau Jadi Negara Islam, Apalagi Negara Khilafah
Ketua Pengurus Besar NU Yahya Cholil Staquf menegaskan, berdirinya Indonesia berangkat dari falsafah universal. Paragraf pertama UUD 1945 berbunyi kemerdekaan adalah hak segala bangsa, yang memiliki makna dalam.
Dengan demikian perlu diyakini, bahwa proklamasi sebenarnya mengabadikan mandat kepada negara, agar tidak hanya untuk mendirikan negara. Melainkan juga memperjuangkan peradaban yang lebih mulia untuk umat manusia.
"Tidak ada konstitusi negara yang lebih baik dari UUD '45 karena UUD '45 bukan hanya untuk negara [Indonesia]. Tapi juga mencerminkan aspirasi kemuliaan manusia," terangnya.
Bangsa Indonesia tak ingin Indonesia dibelokkan menjadi entitas yang bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika, lanjut dia.
"Makanya kita tak mau Indonesia menjadi negara Islam, apalagi negara khilafah," tegasnya.
Gus Yahya melanjutkan, ada ancaman yang paling mencolok dari realitas di sekitar kita saat ini. Ancaman ini membayangi dan potensial mengganggu.
Tidak hanya potensial menimbulkan kerugian bagi diri kita, namun juga mengancam integritas visi bangsa.
"Potensi konflik," sebut eks Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fisipol UGM itu.
Bahwa kita beragam adalah realita, imbuhnya. Dalam keberagaman itu, kita harus saling mengenal dan menjalin hubungan harmoni.
Di kesempatan sama, Eks Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Prof. Musa Asy'arie menjawab pertanyaan dari seorang hadirin perihal bagaimana mengindonesiakan Islam tanpa mengislamkan Indonesia.
Menurut Musa, negeri Indonesia ini sudah muslim, sudah menjadi rahmat bagi semesta alam. Sehingga tidak lagi perlu diislamkan. Yang menjadi masalah adalah mengindonesiakan muslim.
"Supaya tidak ada muslim kearab-araban, atau muslim kebarat-baratan. Hargai pluralitas dan potensi alam. Ini negara kaya tapi rakyat miskin. Seperti tikus di lumbung padi," kata dia.
Rektor UII Prof.Fathul Wahid menyatakan, dialog kebangsaan merupakan ungkapan syukur kita semuanya sebagai bangsa Indonesia yang tidak pernah kalis dari nikmat Tuhan.
"Kita semua insyaallah sepakat, banyak kemajuan yang sudah didokumentasikan oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaan," kata dia.
Hanya saja, seringkali kultur saling mengapresiasi yang belum terbentuk menjadikan banyak kebaikan dan capaian itu tertutup oleh sikap kufur nikmat dan bahkan arogansi kelompok.
Ia berharap, dialog kebangsaan ini bisa melantangkan pesan-pesan reflektif kepada khalayak luas. Selain itu, kita semua bisa menggunakan beragam bingkai dalam melakukan refleksi.
Salah satunya Pancasila, yang merupakan kekayaan luar biasa yang telah menjadi pengikat bangsa Indonesia.
Kontributor : Uli Febriarni
Berita Terkait
-
BNPT Singgung Isu Islamofobia dan Upaya Kelompok Radikal Ingin Ganti Pancasila
-
Bagaimana Kasus Islamofobia Nodai Hubungan India dengan Negara-negara Lain
-
Bendera HTI Berkibar di Deklarasi Dukungan Anies Capres, PA 212: Ada Narasi Islamofobia dan Adu Domba
-
Kecaman untuk Penghina Nabi Muhammad, Politikus India Dianggap Menyerukan Islamofobia
Terpopuler
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Pemain Keturunan Rp 20,86 Miliar Hubungi Patrick Kluivert, Bersedia Bela Timnas Oktober Nanti
- Ameena Akhirnya Pindah Sekolah Gegara Aurel Hermanyah Dibentak Satpam
- Cara Edit Foto yang Lagi Viral: Ubah Fotomu Jadi Miniatur AI Keren Pakai Gemini
- Ramai Reshuffle Kabinet Prabowo, Anies Baswedan Bikin Heboh Curhat: Gak Kebagian...
Pilihan
-
Disamperin Mas Wapres Gibran, Korban Banjir Bali Ngeluh Banyak Drainase Ditutup Bekas Proyek
-
Ratapan Nikita Mirzani Nginep di Hotel Prodeo: Implan Pecah Sampai Saraf Leher Geser
-
Emil Audero Jadi Tembok Kokoh Indonesia, Media Italia Sanjung Setinggi Langit
-
KPK Bongkar Peringkat Koruptor: Eselon dan DPR Kejar-kejaran, Swasta Nomor Berapa?
-
Dugaan Korupsi BJB Ridwan Kamil: Lisa Mariana Ngaku Terima Duit, Sekalian Buat Modal Pilgub Jakarta?
Terkini
-
Dramatis! Pembobolan ATM di Yogyakarta Gagal Total, Polisi Buru 2 Pelaku yang Kabur
-
Hari Kontrasepsi Sedunia, Sleman Beri Kejutan! Bukan Sekadar Seremonial, Tapi Bukti Nyata
-
Tarif Murah Gak Cukup! Ini 4 Jurus Ampuh Bikin Transportasi Publik Lebih Terjangkau
-
Geger! CCTV Pemda DIY Tampilkan Tulisan Provokatif: Siapa Dalang di Baliknya?
-
Drama Penangkapan Pelempar Molotov: Dari CCTV, Densus 88, Hingga Rayuan Pacar