Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 26 Juli 2022 | 16:03 WIB
Menteri Polhukam Mahfud MD - kejanggalan kasus polisi tembak polisi (Instagram/@mohmahfudmd)

SuaraJogja.id - Menkopolhukam RI Mahfud MD menegaskan tak ada narasi Islamofobia disebarkan oleh pemerintah.

Pernyataan itu ia sampaikan, kala membuka dialog kebangsaan bertajuk Imaji Satu Abad Indonesia, sebagai rangkaian Milad ke-79 Universitas Islam Indonesia (UII), di Auditorium Prof.Kahar Mudzakkir UII, Kabupaten Sleman, Senin (26/7/2022).

"Ada lagi tulisan di medsos. Di Indonesia,  orang Islam itu mayoritas, mayoritas orang Islam di Indonesia. Tapi di Indonesia terjadi islamofobi. Saya katakan tidak ada islamofobi di Indonesia," kata Mahfud MD.

Ia menjelaskan, dari sisi pihak-pihak di pemerintahan tidak ada yang takut pada orang Islam. Yang terjadi justru sebaliknya. Menteri membawa sajadah, presiden ke masjid, presiden ke pesantren.

Baca Juga: Mahfud MD: Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua Musuh Rakyat

"Mereka tidak malu," tuturnya.

Mahfud tak membantah, bahwa pada masa sebelumnya benar ada islamofobia di Indonesia, tepatnya pada zaman Orde Baru.

Situasi saat itu bahkan menyebabkan banyak orang enggan menyatakan identitasnya. Termasuk yang memiliki latar belakang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sekalipun.

"Orang Islam dulu, kalau mau ngaku orang Islam itu tidak boleh maju. Orang NU ndak bisa maju dulu, [mereka] ndak ngaku kalau orang NU," ucapnya.

"Banyak profesor di UGM (Universitas Gadjah Mada) baru tahu saya kalau mereka orang NU, itu sesudah reformasi. Karena zaman Orde Baru ndak berani ngaku, ada fobi, sekarang ndak," tambahnya.

Baca Juga: Bantah Aparat Lakukan Pelanggaran HAM di Papua, Mahfud MD: Itu Hoaks

Namun saat ini, menurutnya, umat Islam sudah bebas dalam berekspresi, baik dalam bidang politik, pemerintahan, maupun intelektual.

Gus Yahya: Kita Tak Mau Jadi Negara Islam, Apalagi Negara Khilafah

Ketua Pengurus Besar NU Yahya Cholil Staquf menegaskan, berdirinya Indonesia berangkat dari falsafah universal. Paragraf pertama UUD 1945 berbunyi kemerdekaan adalah hak segala bangsa, yang memiliki makna dalam.

Dengan demikian perlu diyakini, bahwa proklamasi sebenarnya mengabadikan mandat kepada negara, agar tidak hanya untuk mendirikan negara. Melainkan juga memperjuangkan peradaban yang lebih mulia untuk umat manusia.

"Tidak ada konstitusi negara yang lebih baik dari UUD '45 karena UUD '45 bukan hanya untuk negara [Indonesia]. Tapi juga mencerminkan aspirasi kemuliaan manusia," terangnya.

Bangsa Indonesia tak ingin Indonesia dibelokkan menjadi entitas yang bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika, lanjut dia.

"Makanya kita tak mau Indonesia menjadi negara Islam, apalagi negara khilafah," tegasnya.

Gus Yahya melanjutkan, ada ancaman yang paling mencolok dari realitas di sekitar kita saat ini. Ancaman ini membayangi dan potensial mengganggu.

Tidak hanya potensial menimbulkan kerugian bagi diri kita, namun juga mengancam integritas visi bangsa.

"Potensi konflik," sebut eks Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fisipol UGM itu.

Bahwa kita beragam adalah realita, imbuhnya. Dalam keberagaman itu, kita harus saling mengenal dan menjalin hubungan harmoni.

Di kesempatan sama, Eks Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Prof. Musa Asy'arie menjawab pertanyaan dari seorang hadirin perihal bagaimana mengindonesiakan Islam tanpa mengislamkan Indonesia.

Menurut Musa, negeri Indonesia ini sudah muslim, sudah menjadi rahmat bagi semesta alam. Sehingga tidak lagi perlu diislamkan. Yang menjadi masalah adalah mengindonesiakan muslim.

"Supaya tidak ada muslim kearab-araban, atau muslim kebarat-baratan. Hargai pluralitas dan potensi alam. Ini negara kaya tapi rakyat miskin. Seperti tikus di lumbung padi," kata dia.

Rektor UII Prof.Fathul Wahid menyatakan, dialog kebangsaan merupakan ungkapan syukur kita semuanya sebagai bangsa Indonesia yang tidak pernah kalis dari nikmat Tuhan.

"Kita semua insyaallah sepakat, banyak kemajuan yang sudah didokumentasikan oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaan," kata dia.

Hanya saja, seringkali kultur saling mengapresiasi yang belum terbentuk menjadikan banyak kebaikan dan capaian itu tertutup oleh sikap kufur nikmat dan bahkan arogansi kelompok.

Ia berharap, dialog kebangsaan ini bisa melantangkan pesan-pesan reflektif kepada khalayak luas. Selain itu, kita semua bisa menggunakan beragam bingkai dalam melakukan refleksi.

Salah satunya Pancasila, yang merupakan kekayaan luar biasa yang telah menjadi pengikat bangsa Indonesia. 

Kontributor : Uli Febriarni

Load More