Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 22 Agustus 2022 | 17:15 WIB
Inventor GeNose C19, Kuwat Triyana di UGM dan Rektor UGM Ova Emilia menyampaikan tentang GeNose di kampus setempat, Senin (22/08/2022). [Kontributor / Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Saat COVID-19 mulai muncul di Indonesia pada awal 2020 lalu, UGM sempat mengembangkan GeNose C19 untuk mendeteksi virus tersebut. Banyak instansi, baik pemerintah maupun swasta yang membeli alat tersebut untuk digunakan mendeteksi virus.

Namun seiring menurunnya kasus COVID-19 dan gencarnya vaksinasi, alat tersebut tak lagi banyak digunakan. Apalagi syarat perjalanan tak lagi menggunakan tes swab antigen maupun PCR bagi yang sudah mengikuti vaksin dosis ketiga.

Bahkan saat ini GeNose banyak ditawarkan di marketplace dengan harga jauh dari harga jualnya. Padahal satu alat ini dijual UGM dengan harga diatas Rp 40 juta untuk satu unit alat.

Tim GeNose C19 UGM sendiri saat ini sudah menghentikan produksi alat deteksi tersebut. UGM sejak peluncuran alat ini diketahui sudah menjual lebih dari 4.000 GeNose C19.

Baca Juga: Joko Anwar Disebut Ingin Buat Film Pengabdi Sambo, Mahasiswa KKN UGM Diantar Sekampung ke Bandara

Namun alih-alih dijual, tim GeNose C19 UGM memberikan solusinya. Agar tidak mubazir, GeNose bisa dialihfungsikan untuk mendeteksi penyakit lainnya.

"Kami mencoba memfungsialisasi fungsi genose ini untuk dijadikan alat diagnostik yang lain, daripada dijual di place market, tinggal update software, maka bisa digunakan untuk deteksi yang lain," ujar inventor GeNose C19, Kuwat Triyana di UGM, Senin (22/08/2022).

Menurut Kuwat, UGM tengah mengembangkan software GeNose C19 agar bisa mendeteksi virus lain bersama Kemendikbudristek dan BRIN. Sebut saja untuk mendeteksi virus kanker servis, nasofaring, tubercolosis, bakteri luka diabetes dan lain sebagainya.

Banyak fungsi GeNose kedepan yang bisa dikembangkan dengan alat deteksi yang sama. Hanya dengan pengembangan "otak" atau software   yang diperbarui sesuai dengan penggunaannya untuk mendeteksi jenis virus.

"Harapannya nanti alat-alat yang sudah tersebar di masyarakat sampai ribuan ini  bisa kita tawarkan untuk donasi, diserahkan ke puskesmas atau layanan kesehatan untuk mencover ke seluruh negeri," ungkapnya.

Baca Juga: KKN Usai, Mahasiswa UGM Ini Diantar Sekampung ke Bandara

Namun untuk dijadikan alat deteksi virus penyakit lain, lanjut Kuwat masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Saat ini UGM baru memiliki data-data diagnotis awal yang masih perlu divalidasi.

"Validasi baru kita kerjakan, kita akan mendapatkan publikasi yang terpercaya," ungkapnya.

Kuwat menambahkan, untuk deteksi penyakit lain, UGM tidak akan mengembangkan mesin GeNose C19 secara massal. Namun bila kedepan kebutuhan semakin besar, dimungkinkan pembuatan mesin secara massal bisa dilakukan.

Kuwat mengakui wajar pembeli GeNose akhirnya menjual mesin GeNose yang tidak terpakai. Sebab mereka tidak mengetahui manfaat selain untuk mendeteksi COVID-19.

"Jadi tim nanti mengembangkan softwarenya itu yang spesifik, itu akan membuat [genose] yang tidak berguna itu [untuk deteksi penyakit lain]. Kami memberikan gambaran kepada masyarakat luas, jangan dijual dulu, jangan-jangan harganya nanti naik sepuluh kali lipat, bisa juga lho," paparnya.

Kuwat memberikan kesempatan pada masyarakat yang memiliki GeNose untuk menjual kembali ke UGM dengan separuh harga. Sebab sekarang ini, mahasiswa  di sejumlah fakultas UGM menggunakan GeNose untuk mendeteksi penyakit pada binatang dan tanaman.

Sebut saja di Fakultas Pertanian, mahasiswa disana menggunakan GeNose untuk mendeteksi kutu beras dan gandum. Alat tersebut cukup cepat untuk mendeteksi kutu yang ada di bahan pangan tersebut.

"Di kedokteran juga, ada mahasiswa yang menggunakan genose untuk mendeteksi infeksi pada hewan mamalia, ujicobanya untuk kucing," ungkapnya.

Sementara Rektor UGM, Ova Emilia mengungkapkan, GeNose yang ada di masyarakat jangan dijual dulu. Karena UGM tengah mengembangkan alat tersebut untuk lebih fungsional.

"Kan sayang [kalau dijual]," ujarnya.

Untuk deteksi kanker serviks, lanjut Ova, penggunaan GeNose bisa sangat bermanfaat. Apalagi selama ini banyak perempuan kesulitan untuk mendeteksi kanker serviks karena harus menggunakan sampel getah di dalam alat kelamin.

Banyak perempuan yang tidak merasa nyaman dengan model pemeriksaan tersebut. Hal ini yang akhirnya membuat deteksi kanker serviks saat ini belum bisa optimal.

"Ini kita mencari cara menggunakan air seni untuk lebih mudah dan cepat dan murah[untuk dideteksi dengan genose]. Ini dengan kita harapkan merupakan terobosan sehingga skrining kanker leher rahim itu dapat dilakukan di layanan primer, tidak perlu di pemeriksaan lebih tinggi, hanya pada kasus yang perlu rujukan, konfirmasi. Akan sangat bermanfaat," ungkapnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More