SuaraJogja.id - Budidaya kopi merapi di Kabupaten Sleman bisa dibilang tak mudah, beberapa fenomena turut membuat industri dan pertanian kopi menghadapi situasi pasang-surut.
Misalnya dikemukakan oleh seorang penyangrai, yang aktif dalam komunitas kopi sejak 2005, Andry Mahardhika, kepada Suarajogja.id, pekan lalu.
Mulai turut membudidaya kopi merapi bersama sejumlah petani di kawasan lereng Merapi pada 2013, Andry melihat saat itu tanaman kopi merapi habis dan lahan luluh lantak dihantam material vulkanik, karena erupsi 2010.
Di masa itu, ia dan petani setempat menanam kopi di 'tanah baru', tanah yang mengandung material vulkanik.
"Efeknya waktu itu yang kami lihat adalah pertumbuhannya sangat cepat, tidak seperti varietas itu bila ditanam di tanah biasa," kata dia.
Namun ada efek lain ikutan yang muncul, terlebih mengingat kawasan tersebut susah mendapatkan air, kering dan lahannya menjadi lebih berpasir.
"Jadinya, [pohon] berbuah cepat sampai lima tahun, kemudian produktivitasnya turun dengan lumayan," ungkap dia.
Bisa dibilang, efek baik dari unsur tanah terdampak vulkanik tak begitu lama. Sementara ke buah kopi, ada pengaruhnya namun tidak terlalu kentara.
Hanya saja nutrisinya lebih banyak, maka buah makin banyak, kadar air cukup tinggi juga ditemukan dalam buah.
Baca Juga: Terus Turun Drastis, Produksi Garam Rakyat Terganggu Perubahan Iklim
Sedangkan pada rasa kopi varietas arabika seduh hasil tanaman yang ditanam pascaerupsi, Andry belum dapat menjelaskan lebih jauh.
"Karena jujur aku belum pernah coba. Kalau [cicip] robustanya [sebelum dan sesudah erupsi] sudah, dan menurutku sama saja," terangnya.
Kini, budidaya kopi merapi kembali harus menghadapi tantangan pemanasan global.
"Kalau buat ke semuanya (bukan hanya kopi merapi) jelas efeknya," tegasnya.
Sepengetahuan Andry, ada siklus lima tahunan kopi di beberapa daerah di Indonesia. Pergeseran iklim yang mengakibatkan produktivitas dan kuantitas kopi itu menurun.
"Ini sedang terjadi di tahun ini. Panen tahun ini Indonesia tidak sampai 50 persen, semua turun. Kecuali daerah timur," sebutnya.
Selain itu, ada beberapa varietas yang dulu bisa ditanami di ketinggian lebih rendah, sekarang sudah tidak bisa lagi. Karena di ketinggian tersebut kelembaban sudah menurun dan adanya perubahan Ph tanah serta faktor lainnya. Sehingga kopi sudah tak bisa lagi tumbuh di kawasan itu.
Alih Fungsi Hutan dan Lahan Sayur Jadi Kebun Kopi, Bukan Seratus Persen Solusi
"Efek dari iklim luar biasa, di beberapa daerah juga ada hutan yang ditebang dijadikan lahan kopi. Padahal, kopi itu kan salah satu tanaman yang rumahnya di hutan kan," tambahnya.
Kopi membutuhkan tanaman naungan atau lingkungan rindang untuk tumbuh. Ia bukan seperti sawit atau jati yang dipastikan bisa tumbuh dalam lahan seragam.
"Karena itu banyak kopi terpapar penyakit, kerak daun, bijinya mengecil, jadinya dari cherry ke green bean itu perbandingannya semakin jauh," imbuhnya.
Andry memberi contoh, dahulu 6 Kg cherry atau biji merah kopi yang dipetik bisa menghasilkan 1 Kg green bean. Namun kini, perbandingannya bisa mencapai 8:1.
"[Perbedaannya] jauh banget. Kalau secara kualitas tidak, karena kan sekarang sudah ada perkembangan teknologi ya," kata dia.
Tapi secara kuantitasnya, kopi mengalami penurunan. Demikian juga keutuhan varietas. Dari segi kuantitas, penurunan bisa diakali dengan terus menanam tanaman kopi karena kekinian, kebutuhan kopi semakin tinggi di dunia.
Andry menyebut, satu masalah lain dalam budidaya kopi adalah beberapa orang memaksa diri saat menanam kopi.
Tentu hal itu dikarenakan tergiur iming-iming besar hasil budidaya kopi. Salah satu yang dilakukan adalah, mengubah tanah yang sebelumnya digunakan tanam sayur untuk menanam kopi.
"Tanah sudah kena pestisida dan lain-lain lalu ditanami kopi, kopinya jadi tidak bagus," ungkapnya prihatin.
Musim Tak Lagi Konsisten, Panen Berantakan dan Buah Tipu-tipu
Kondisi alam punya andil besar dalam pertanian, sambung dia. Kondisi musim yang tidak lagi konsisten jadwalnya, panas atau dingin berlebihan yang kerap datang, membuat pola tanam yang biasa digunakan petani tak lagi bisa diandalkan.
Bulan ini, Agustus, harusnya musim kemarau. Dalam budidaya kopi, saat ini adalah jadwal bunga kopi bermekaran. Lalu banyak lalat, banyak tawon yang bisa membantu penyerbukan dan lain-lain kemudian membuat bunga berubah jadi buah.
"Tapi yang terjadi tiba-tiba hujan, rontok bunganya, gugur dong. Yang jadi buah hanya berapa. Akhirnya menurun tuh," tuturnya.
"Ini aku melihatnya dari sudut pandang orang bodoh yang tidak paham apa itu iklim dan lain-lain, aku melihatnya dari sudut pandang itu," lanjut dia.
Jadwal berikutnya, idealnya pada November-Desember itu musim hujan dan bakal buah muncul perlahan. Pada Desember-Januari, tanaman kopi akan tersiram air hujan. Air hujan tersebut tentunya membantu penyerapan nutrisi ke tanaman sampai disalurkan ke buah.
Kalau sudah demikian, buah yang muncul banyak, bagus dan berair.
"Tapi kejadian tahun kemarin, Desember-Januari malah panas. Akhirnya buah jadi mengering, ada juga yang bijinya kecil tapi buahnya sudah merah. Jadi bijinya belum matang, tapi buahnya sudah merah," sebutnya.
Kualitas biji yang didapat nutrisinya belum banyak, kompleksitas rasa juga menurun dan berat biji lebih enteng.
Sepanjang yang Andry ketahui, sebetulnya banyak keluhan muncul dari pembudidaya dan pebisnis kopi atas imbas pemanasan global.
Tetapi tentu saja para petani tak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi dampak buruk iklim saat ini terhadap tanaman kopi milik mereka.
Kontributor : Uli Febriarni
Berita Terkait
-
Menilik Komitmen Pelaku Industri Nasional Terapkan Program Keberlanjutan
-
Studi Adaptation Finance Disiapkan demi Atasi Perubahan Iklim
-
Adik Prabowo: Konsesi Hutan Bantu Mitigasi Perubahan Iklim
-
Intip Pembuatan Insenerator Sampah Rancangan PPK Ormawa UKM LEPPIM UPI 2024
-
Lawan Polusi dan ISPA dengan Hijaukan Lingkungan! Ini Peran Penting Pohon untuk Paru-Paru
Terpopuler
- Kejanggalan LHKPN Andika Perkasa: Harta Tembus Rp198 M, Harga Rumah di Amerika Disebut Tak Masuk Akal
- Marc Klok: Jika Timnas Indonesia Kalah yang Disalahkan Pasti...
- Niat Pamer Skill, Pratama Arhan Diejek: Kalau Ada Pelatih Baru, Lu Nggak Dipakai Han
- Datang ke Acara Ultah Anak Atta Halilintar, Gelagat Baim Wong Disorot: Sama Cewek Pelukan, Sama Cowok Salaman
- Menilik Merek dan Harga Baju Kiano saat Pesta Ulang Tahun Azura, Outfit-nya Jadi Perbincangan Netizen
Pilihan
-
Harga Emas Antam Terbang Tinggi Jelang akhir Pekan, Tembus Rp1.520.000/Gram
-
Dinilai Hina Janda, Ridwan Kamil Kena Semprot Susi Pudjiastuti: Mau Omong Apa?
-
5 HP Samsung Rp 1 Jutaan dengan Kamera 50 MP, Murah Meriah Terbaik November 2024!
-
Profil Sutikno, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang Usul Pajak Kantin Sekolah
-
Tax Amnesty Dianggap Kebijakan Blunder, Berpotensi Picu Moral Hazard?
Terkini
-
Terpidana Mati Mary Jane Bakal Dipindah ke Filipina, Begini Tanggapan Komnas HAM
-
Ratusan TPS Masuk Kategori Rawan, Bawaslu Kulon Progo Intensifkan Pengawasan
-
Banyak Aduan Tidak Ditindaklanjuti, Front Masyarakat Madani Laporkan Bawaslu Sleman ke Ombudsman DIY
-
Viral Video Truk Buang Sampah Ilegal di Hutan Gunungkidul, WALHI Desak Pemda DIY Bertindak
-
Timses Pede Heroe-Pena Menang Pilkada Yogyakarta, Target 40 Persen Suara Terkunci