Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 18 September 2023 | 13:50 WIB
Bus Trans Jogja - (SUARA/Eleonora PEW)

SuaraJogja.id - Siro (29) warga Wedomartani, Sleman mengaku kini lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk beraktivitas ke seputar Jogja ketimbang menggunakan transportasi umum. Ia menetapkan keputusan tersebut lantaran pernah mengalami pengalaman kurang nyaman saat menggunakan Trans Jogja.

"Sistem transportasi umum di Jogja tentu sangat kurang ya, pernah aku nyoba pakai Trans Jogja dari Bandara (Adisutjipto) ke Jalan Sudirman, itu lamanya minta ampun. Udah lama, pelayanannya payah soalnya enggak diarahin gitu. Itu pertama dan terakhir saya naik transportasi umum di Jogja," keluh Siro kepada SuaraJogja.

Wisatawan masih bisa menaiki Trans Jogja saat uji coba semi pedestrian di Malioboro. (Suara/Arendya)

Menurutnya hal itu yang kemudian membuatnya dan kebanyakan orang memilih untuk membeli kendaraan pribadi. Sebab tak dimungkiri menjadi lebih efisien dan fleksibel dari sisi waktu.

Namun di sisi lain volume kendaraan yang meningkat menyebabkan kemacetan di berbagai ruas jalan. Terutama saat jam berangkat dan pulang kerja.

Baca Juga: Polisi Tangkap Dua Pelaku Pembuangan Bayi di Sleman, Ibu Bayi Merupakan Mahasiswi Jogja

"Macet memang itu terutama di jam berangkat dan pulang kerja, dan seatuku di beberapa titik kemacetan, kayak perempatan Jembatan Sayidan, jadi titik tertinggi polusi di Jogja," tuturnya.

"Dan memang bikin sumpek sih banyaknya kendaraan dan minimnya kendaraan umum bikin bingung. Kalau misal motor kita pas lagi bermasalah, mau pake ojek online juga mahal," imbuhnya.

Layanan Transportasi Umum di DIY Belum Ideal

Merespon hal itu, Dinas Perhubungan (Dishub) DIY mengakui bahwa kondisi layanan transportasi publik di wilayahnya belum maksimal. Masyarakat disebut cenderung lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.

"Belum (ideal). Jadi kalau mau ideal itu butuh banyak hal yang harus dilakukan tidak hanya sekadar menyedikan layanan publik transport," kata Plt Kepala Dishub DIY, Sumariyoto, saat dihubungi, Rabu (6/9/2023).

Baca Juga: Ayom Jogja, Tempat Makan Cantik di Tengah Hijaunya Pesawahan yang Asri

Sumariyoto menuturkan bahwa animo masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum itu masih relatif rendah. Sehingga memang dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi dari setiap pihak.

"Kalau lihat rata-rata itu kan hanya 35 persen (yang menggunakan transportasi umum). Jadikan masih jauh itu. Maka kebijakan lain harus mendukung," ucapnya.

Menurutnya saat ini hampir seluruh elemen masyarakat masih memahami konsep transportasi seperti zaman dulu. Padahal dengan perkembangan zaman sekarang, konsep itu tidak lagi relevan.

"Maksudnya gini, untuk transportasi itu kan memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain, bukannya memindahkan kendaraan dari satu tempat ke tempat lain, tapi yang terjadi saat ini kan seperti itu," tuturnya.

"Kalau zaman dulu mungkin iya, karena untuk mendapatkan kendaraan bermotor itu saat dulu itu gak bisa dengan mudah waktu itu. Sekarang orang itu mudah sekali mendapatkan kendaraan bermotor," imbuhnya.

Kondisi ini yang kemudian membuat pergeseran bisnis dalam transportasi publik. Saat ini, kata Sumariyoto, bahkan tak ada pihak swasta yang kemudian memutuskan untuk bisnis ke dalam transportasi publik.

"khususnya yang dalam trayek, karena dia tidak bisa berkompetisi secara sehat dengan privat," ungkapnya.

Sejumlah penumpang ikut uji coba rute Trans Jogja dari Terminal Condong Catur menuju Kaliurang, Jumat (17/09/2021). - (Kontributor SuaraJogja.id/Putu)

Sumariyoto menjelaskan tentang piramida terbalik dalam teori transportasi. Posisi teratas seharusnya ditempati oleh pejalan kaki, lalu disusul kendaraan tidak bermotor, publik transport dan di paling bawah kendaraan pribadi.

Namun sekarang keadannya justru terbalik. Sebagian besar masyarakat kemudian terganggu dengan non kendaraan bermotor seperti sepeda hingga publik transport. 

"Pejalan kaki juga tidak nyaman, publik transport sering dianggap sebagai biang kemacetan, biang polusi. Mereka ngeklaim bahwa mereka (supir publik transport) ugal-ugalan, sebetulnya mereka enggak ugal-ugalan harusnya mereka itu dapat privilege, bukan disia-siakan oleh kendaraan pribadi," tandasnya.

Masih Setengah-setengah Garap Transportasi Umum

Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Wismadi menilai pemerintah daerah masih setengah-setengah dalam menggarap layanan transportasi umum di DIY. Hal itu dibuktikan dengan tidak ada perlindungan yang dilakukan usai memberikan subsidi. 

Memang kehadiran Trans Jogja sebagai salah satu alternatif transportasi umum itu merupakan langkah yang baik. Jika dulu sistem pelayanan masih menggunakan sistem setoran yang layanan resiko finansialnya dilimpahkan ke supir.

"Dulu itu sebelum ada transjogja, semua resiko penyelenggaraan dilempar ke supir. Efeknya waktu itu supir kemudian berusaha untuk mendapatkan penumpang sebanyak mungkin yang ujung-ujungnya adalah persaingan rute atau membelokkan rute atau kebut-kebutan karena mendapatkan penumpang yang ada di depannya. Resiko safetynya sangat berat waktu itu," papar Arif.

Transjogja yang hadir sejak medio 2007-2008 itu diakui seolah menjadi angin segar. Melalui skema buy the service (BTS) dimana pemerintah DIY mengalokasikan dana untuk membeli layanan tersebut.

Sehingga kemudian operator yang penting bisa menyediakan kendaraan yang bagus untuk disewa per km. Rutenya pun juga telah ditetapkan oleh pemerintah. 

"Artinya kalau dulu kan semua bus itu memilih rute gemuk, misal lewat Malioboro sehingga rute kurus mati. Nah dengan buy to service, pemerintah yang mengambil risiko dengan memberikan subsidi kepada sistem untuk kemudian mereka akan mengikuti kontrak pelayanan yang dijalankan dengan frekuensi lokasi berhenti dan seterusnya," terangnya.

Harapannya dengan bus yang lebih bagus dan pelayanan yang lebih bagus akan meningkatkan penggunaan kembali angkutan umum yang sempat ditinggalkan. Namun sayangnya, kata Arif, intervensi perbaikan ini tak dilakukan dengan maksimal.

Memang pemerintah daerah telah melakukan intervensi dengan memberikan subsidi. Agar kemudian industri angkutan umum ini bisa kembali bangkit dengan layanan yang lebih baik.

Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Wismadi. [uii.ac.id]

"Cuma persoalannya adalah subsidi ini kan harus dilindungi. Artinya itu barang disubsidi mestinya diutamakan dong di jalan jangan dibiarkan macet, berbeda dengan yang di Jakarta itu buy to service yang di Jakarta itu selain di subsidi juga dilindungi subsidinya yaitu dengan lajur khusus bahwa dia tidak boleh macet," paparnya. 

"Di Yogyakarta tidak ada keberanian dengan alasan infrastruktur sempit dan segala macam tapi sebenarnya keberanian untuk melindungi itu tidak ada," sambungnya.

Itu yang kemudian berefek pada layanan Transjogja secara keseluruhan. Dari sisi bus memang lebih bagus dan pelayanannya pun cukup ramah tapi dari sisi kecepatan tidak meningkat dan masih ikut terlibat dalam kemacetan.

"Efeknya ya orang kemudian tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga load faktornya jumlah penumpang yang naik itu juga sangat rendah di bawah 40% kadang 30% dan seterusnya. Itu kemudian efeknya adalah subsidi nggak segera turun," tuturnya.

Disampaikan Arif, secara ideal seharusnya subsidi yang diberikan itu dilindungi. Sehingga orang tertarik dan subsidi yang digelontorkan pun makin lama makin turun.

Namun tidak untuk kasus di Jogja, subsidi makin naik atau tidak pernah turun sampai hari ini. Sehingga ketika ada permintaan lebih untuk memperluas layanan, hal itu tak bisa segera diwujudkan dengan pertimbangan subsidi yang sudah terlalu besar.

"Padahal sebenarnya perluasan layanan coverage itu akan bisa meningkatkan jumlah pengguna. Sehingga bisa mengurangi subsidi yang diberikan. Cuma kan ya tadi kalau subsidi diberikan tapi tidak dilindungi ya sama saja, efeknya adalah tidak memperbaiki daya tarik dari angkutan umum. Orang masih menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan online karena tidak lebih cepat," cetusnya.

"Jalur khusus itu menunjukkan komitmen full, kalau ini kan cuma setengah. Kita beli layanan kasih subsidi tapi kita gak berupaya untuk melindungi subsidi itu. Efeknya tadi setengah jalan, gak maksimal," imbuhnya.

Jalur Khusus Bukan Tak Mungkin

Sisi lain, Arif menuturkan sangat mungkin untuk memberikan jalur khusus kepada Trans Jogja seperti halnya busway di Jakarta. Salah satu caranya adalah mengurangi parkir liar di pinggir jalan.

"Memang Jogja jalannya sempit tapi sebenarnya sempit itu yang on street parkir to, karena parkir di pinggir jalan masih banyak. Kalau itu dibersihkan sebenarnya ada ruang untuk kemudian bahkan diambil dua lajur bolak-balik itu masih bisa," ujar Arif.

"Cuma keberanian itu sekali lagi, itu kan menggoyang konstelasi jalanan, yang itu resiko politiknya juga lumayan besar," imbuhnya.

Ia berandai-andai, misalnya saja menyediakan satu lajur khusus untuk Trans Jogja. Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah ruas jalan di Jogja sendiri kerap kemudian diputuskan untuk dibuat satu arah.

"Ketika satu arah itu kan sebenarnya sama aja dilepaskan satu. Mestinya saat ada kebijakan membuat lajur satu arah itu diambil satu untuk angkutan umum dan dia harus dedicated untuk itu. Tapi kejadiannya seperti sekitar Malioboro kemudian ada counter clockwise di putarannya yang kemudian hanya satu arah itu sebenarnya kesempatan untuk bisa masuk," paparnya.

"Kemudian juga beberapa ruas jalan juga begitu karena ruas cukup lebar, empat lajur satu arah diambil satu masa gak bisa. Jadi memang perlu ada semangat juga pengambil keputusan pengelola kota ayo kita mulai memberikan prioritas," tambahnya. 

Tak harus dua arah misalnya, kata Arif, ada juga banyak kota yang kemudian menerapkan dedicated line itu hanya satu arah. Ia mencontohkan seperti kereta api yang saat masih satu jalur bersimpangan di stasiun.

Itu bisa kemudian diterapkan untuk bus dan nanti persimpangan itu ada di halte. Kembali lagi, itu adalah masalah keberanian untuk menjalankan sistem.

"Itu agar terlihat bahwa ini adalah sesuatu yang spesial disubsidi lebih spesial dilindungi. Sehingga ketika orang melihat ini akan merasa pasti akan lebih cepat daripada kendaraan pribadi. Kalau sekarang kan enggak, belum sampai ke sana," tegasnya.

Apalagi sekarang kendaraan pribadi sangat mudah untuk didapatkan. Tak seperti Singapura yang berani memberikan aturan tentang pembatasan kepemilikan dengan pajak tambahan.

Di Indonesia, kata Arif, kepemilikan kendaraan pribadi masih tak bisa dibendung. Sehingga setidaknya menekan penggunaan menjadi langkah paling rasional untuk dilakukan.

"Paling enggak harusnya kota itu berani membatasi penggunaan. Kalau pemerintah mengatur penggunaan, daerah mana yang boleh dimasuki kendaraan pribadi, atau misalkan dengan sistem disinsentif misalnya parkir yang mahal," ungkapnya.

Namun parkir mahal itu tak hanya sebatas tarif saja. Melainkan pendapatan dari parkir itu pun harus dimasukkan atau dapat dimanfaatkan oleh angkutan umum.

"Kalau sekarang kan parkir mahal progresif entah larinya kemana kita gak tau. Karena mestinya kemahalan parkir itu untuk disinsentif orang untuk menggunakan kendaraan pribadi sehingga mereka beralih," jelasnya.

"Pada saat mereka yang merasa punya uang dan gak mau meninggalkan mobilnya mereka akan masuk dengan pembayaran yang mahal, mereka ikhlas tapi uangnya harus masuk kepada untuk mengurangi subsidi kendaraan umum. Sehingga ada efek tingginya parkir dengan uang yang diterima untuk pengelolaan angkutan umum, tapi sekali lagi itu di Jogja belum. Pembatasan penggunaan itu mestinya yang diatur," tambahnya.

Selain kecepatan, kemudahan mendapatkan angkutan umum di sejumlah titik masih menjadi kendala. Cakupan wilayah dinilai masih belum maksimal mengakomodir kebutuhan masyarakat. 

Integrasi dengan sistem angkutan online pun sebenarnya bisa menjadi solusi. Namun memang masih diperlukan sistem desain yang baik hingga diimplementasikan secara luas.

"Itu sangat bisa sekarang serba digital. Sangat mudah untuk membuat sistem mengintregasikan dari dua sistem pembayaran atau di sistem pelayanan itu sangat mungkin sekarang," ucapnya.

Hindari, Pindah dan Kembangkan

Arif tak memungkiri bahwa polusi menjadi salah satu persoalan yang mengkhawatirkan. Apalagi kendaraan pribadi ini menjadi salah satu penyumbang polusi terbesar.

"Salah satu kontributor terbesarnya adalah sebenarnya transportasi dari asap knalpot mesin dan segala macem itu memang harus ditekan. Dan angkutan pribadi termasuk yang paling besar, sementara kendaraan umum apalagi dengan berbagi tentunya akan bisa mengurangi," kata Arif.

Menekan pencemaran udara itu jadi hal wajib yang harus segera dilakukan. Menggencarkan sistem transportasi publik salah satunya. 

Namun kesadaran masyarakat pun harus mulai dibangun sejak sekarang. Strategi avoid, shift, improve dan finance (ASIF) ini menjadi hal-hal yang bisa dilakukan. 

"Pertama avoid, artinya hindari melakukan perjalanan dan itu perancangan kota penitng untuk dibuat. Artinya semua harus dalam akses jalan kaki, ke sekolah jalan kaki, makan jalan kaki, ke rumah sakit jalan kaki itu harus bisa dibuat," terangnya.

Jika kemudian langkah pertama masih sulit dilakukan maka kemudian berpindah ke shift.

"Kalau terpaksanya kita harus bepergian maka shifting. Pindah ke moda yang lebih baik lebih ramah lingkungan. Kalau sebelumnya mungkin menggunakan kendaraan pribadi lalu pindah ke kendaraan umum," imbuhnya.

Lalu ada improve yang berarti peningkatan dari sisi teknologi yang dipakai. Bus misalnya, sekarang menggunakan sistem injeksi diubah menggunakan sistem listrik. 

"Itu adalah proses improve, termasuk kendaraan-kendaraan yang dipakai dari rumah ke halte, tempat-tempat tertentu yang memang harus menggunakan itu harus diimprove menggunakan listrik misalnya," cetusnya.

Terakhir ada finance yang sebenarnya merupakan domain dari pemerintah. Bagaimana pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk terjadi perubahan future city yang lebih baik termasuk program dekarbonisasi.

Lindungi Subsidi dan Sediakan Sistem Pendukung

Dijelaskan Arif, langkah paling ideal dalan pembenahan persoalan transportasi umum di DIY adalah perlindungan subsidi. Hal itu disebut sebagai kewajiban yang sudah seharusnya dilakukan.

"Yang jelas kalau kita sudah komitmen memberikan buy to service mensubsidi yang paling utama adalah melindungi subsidi. Perlindungan subsidi itu yang sebenarnya menjadi kewajiban karena itu satu paket, sesimpel itu sebenarnya," ujar Arif.

Setelah itu kemudian pembenahan dan penambahan pada sisi lain. Termasuk sistem pendukung atau penunjang layanan transportasi umum yang harus disiapkan.

"Sekarang halte gitu-gitu aja. Sementara sebenarnya ada potensi lokasi yang sebenarnya bisa menjadi tempat halte tunggu yang cukup nyaman," tuturnya. 

Salah satu yang bisa dilakukan adalah menyediakan convenience store. Sehingga orang tidak hanya menunggu bus di halte dengan resiko kepanasan dan kehujanan.

Tetapi ada sebuah tempat nyaman yang bisa digunakan untuk bersantai saat menunggu angkutan umum itu tiba. Kemudian dilengkapi pula dengan sistem informasi yang dapat memantau pergerakan armada angkutan itu.

"Sehingga itu tidak terlihat ibarat warga kurang beruntung yang kemudian harus berpanas-panas hujan-hujaan menunggu bus yang datang. Jadi image layanan tebraik itu yang harusnya digarap dengan integrasi gak cuma angkutan online tapi dengan convenience store atau restoran bekerja sama dengan Trans Jogja," tandasnya.

Mengenai kendaraan listrik sendiri, Arif mengibaratkan saat ini sedang dalam masa pertumbuhan. Namun memang belum pada sampai pada titik yang matang.

Sehingga dari segi infrastruktur dan pasar pun belum siap untuk itu. Jika kemudian berencana menggelontorkan subsidi untuk itu maka memang harus fokus kepada pelayanan sistem. 

"Bukan ke komoditas, bukan ke motor mobil listriknya, tapi sistem-sistem pelayanan yang menggunakan mobil atau motor listrik misal angkutan umum," ujarnya.

Load More