SuaraJogja.id - Penambangan gunung yang berada di Kalurahan Serut Kapanewon Gedangsari, Gunungkidul akhirnya ditutup, Senin (2/10/2023). Penambangan gunung untuk tanah urug jalan tol tersebut ditutup oleh Dinas ESDM DIY usai puluhan warga melakukan aksi demonstrasi selama seharian.
Sebelum penutupan tersebut dilakukan, aksi puluhan warga Serut nyaris ricuh. Sempat terjadi dorong-dorongan antara warga yang menuntut penutupan dengan sekelompok orang dari perusahaan tambang.
Sore hari, selepas salat Ashar rombongan ESDM datang ke lokasi usai berkoordinasi di kantor Kalurahan. Mereka sengaja didatangkan oleh pihak Muspika karena yang memiliki kewenangan terkait dengan penambangan.
Dari pantauan lapangan, sejak pukul 09.00 WIB, puluhan warga mulai berdatangan ke Kantor Kalurahan Serut, mereka bahkan membawa kelompok kesenian jathilan. Sebagian kemudian berkonvoi menuju ke lokasi tambang dan sebagian tinggal di Kalurahan
Namun ketika hendak sampai ke lokasi tambang, massa dihalau polisi untuk kembali ke Kantor Kalurahan. Hingga akhirnya mereka bersedia balik ke kantor kalurahan tersebut.
Warga kemudian melakukan orasi sebentar dan akhirnya hanya duduk-duduk karena dijanjikan perusahaan penambang hadir ke Kalurahan beserta dengan pihak Dinas ESDM. Orasi awalnya berlangsung panas karena lurah hanya duduk santai di hadapan warga yang demonstrasi.
Juru Bicara Warga, R Suyanto mengatakan tambang tersebut sudah berjalan 2 tahun lebih. Warga menuntut kompensasi kepada perusahaan tambang tersebut karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan.
"Kami menuntut kompensasi. Karena dampak buruknya banyak," ujar dia dikutip, Senin.
Sebenarnya sudah ada kompensasi ke warga sebesar Rp200 ribu per kepala keluarga setiap bulannya untuk warga yang langsung terdampak.
Namun kesepakatan itu hanya berlangsung selama 4 bulan dan 23 kepala keluarga terdampak langsung tak lagi menerima kompensasi.
Rawan longsor
Suyanto menandaskan warga menuntut tambang untuk ditutup baik yang berizin ataupun tidak berizin. Alasannya karena tambang tersebut berada di zona rawan bencana tanah longsor. Jika musim hujan dikhawatirkan terjadi longsoran.
Di samping itu, warga menilai jika sistem penambangan terkesan asal-asalan. Warga beranggapan jika tambang itu harusnya memakai Ketua Tehnik Tambang yang melakukan pengawasan sehingga penambangan yang dilakukan secara beraturan dan tidak mengancam kerusakan alam di sekitarnya
"Yang ketiga itu terkait dengan kesehatan di mana selama ini tidak ada penyiraman dan upaya lain untuk meredam debu," kata dia.
Akibatnya, warga sekitar banyak yang mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Dan selama ini memang tidak ada kompensasi kepada warga yang terdampak tersebut.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 7 Rekomendasi HP Murah Memori Besar dan Kamera Bagus untuk Orang Tua, Harga 1 Jutaan
Pilihan
-
Permintaan Pertamax Turbo Meningkat, Pertamina Lakukan Impor
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
Terkini
-
Ulah Polos Siswa Bikin Dapur SPPG Heboh: Pesanan Khusus Lengkap dengan Uang Rp3.000 di Ompreng!
-
Numpang Tidur Berujung Penjara: Pria Ini Gasak Hp Teman Kos di Sleman
-
Waduh! Terindikasi untuk Judol, Bansos 7.001 Warga Jogja Dihentikan Sementara
-
Dijebak Kerja ke Kamboja: Pemuda Kulon Progo Lolos dari Sindikat Penipuan hingga Kabur Lewat Danau
-
Banding Kasus TKD Maguwoharjo: Jogoboyo Edi Suharjono Lawan Vonis Berat