SuaraJogja.id - Hiruk pikuk pemilu yang dimulai dari pilpres dan berlanjut dengan pilkada saat ini disebut sekadar jadi pesta demokrasi yang memfasilitasi oligarki untuk mendapatkan kekuasaan. Akibatnya terjadi kesenjangan antara institusi demokrasi dan masyarakat.
"Pemilu kita saat ini menjadi ukuran penentu praktik demokrasi. Sekarang ada kecenderungan ketika berbicara tentang pemilu, itu hanya menjadi pesta yang memfasilitasi para oligarki," papar pengamat politik UGM, Arie Sujito dalam diskusi publik "Merebut Kembali Demokrasi, Meretas Rute Politik Deliberasi" di UGM, Yogyakarta, Selasa (30/04/2024).
Sebagai pesta demokrasi para oligarki, menurut Arie, membuat pemilu jadi fenomena politik berbiaya tinggi. Hal ini menyulitkan partisipasi politik bagi mereka yang kurang memiliki sumber daya finansial.
"Hal ini juga menutup peluang bagi anak muda yang pintar tapi tidak punya uang. Poin saya adalah bahwa kontestasi antara partai politik sekarang memaksa masyarakat untuk memaklumi praktik oligarki dan partai itu terjadi," tandasnya.
Baca Juga: Soal Nasib Hak Angket, Ganjar Pranowo: Biar Partai dan Parlemen yang Membahas
Arie menyebutkan, soal berdemokrasi, bangsa Indonesia mestinya memperkuat kualitas representasi partai politik. Diantaranya melalui demokrasi deliberatif yang menekankan ajang konsultasi publik tentang urusan umum.
Warga diajak berpartisipasi dalam diskursus mengambil keputusan. Dengan demokrasi bisa lebih membumi karena ada upaya merepolitisasi demokrasi yang membawa demokrasi menjadi menu perbincangan keseharian masyarakat.
"Repolitisasi demokrasi ini akan membuat demokrasi menjadi down to earth dan melahirkan gagasan yang mengcounter anggapan bahwa demokrasi itu hanya sekadar pemilu," ungkapnya.
Sementara Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono mengungkapkan, politik seringkali hanya dilihat dari perspektif pemilu dan partai politik. Hal itu merupakan pandangan yang sempit karena pada akhirnya isu-isu penting seperti pendidikan anak, perawatan, dan penghapusan kekerasan berbasis gender sering kali tidak mendapat perhatian yang layak dalam arena politik.
Padahal mestinya demokrasi, lanjut Sri dapat membawa dampak langsung pada kehidupan sehari-hari perempuan. Karena itu perlu upaya kolaboratif untuk membangun politik dan demokrasi yang inklusif bagi mereka.
Baca Juga: Usai Putusan MK, Muhammadiyah: Jangan Larut dalam Situasi Politik yang Terpecah
"Perempuan dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks, mulai dari masalah kultural hingga stigma terhadap aktivis perempuan," imbuhnya.
Berita Terkait
-
Teror terhadap Media: Alarm Keras bagi Kebebasan Pers di Indonesia
-
Represi Aparat dan Hilangnya Ruang Demokrasi: Akankah Sejarah Berulang?
-
Demokrasi Tanpa Kebebasan Pers: Mungkinkah?
-
RUU TNI Disahkan, Masyarakat Sipil Bisa Apa?
-
Ramai Soal Ijazah Jokowi, Dokter Tifa Merasa Janggal : Ijazah Keluar Duluan Baru Skripsi?
Terpopuler
- CEK FAKTA: Diskon Listrik 50 Persen Berlaku Lagi, Periode Maret-April 2025
- Pembagian Port Grup Piala Dunia 2026 Dirilis, Ini Posisi Timnas Indonesia
- Masak Rendang 12 Kg, Penampilan BCL di Dapur Jadi Omongan
- Cruiser Matik QJMotor SRV 250 AMT Paling Digandrungi di Indonesia
- 3 Pemain Liga Inggris yang Bisa Dinaturalisasi Timnas Indonesia untuk Lawan China dan Jepang
Pilihan
-
Mobil China Masuk Indonesia, Bos Toyota-Astra Motor: Persaingannya Semakin Brutal
-
Eks Pelatih Timnas Indonesia Ingatkan Patrick Kluivert: Jangan Tiru Belanda
-
Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba
-
Beda Media Korsel: Dulu Sayang Kini Serang Habis-habisan Timnas Indonesia
-
Kontroversi: Ghiblifikasi AI Lukai Hayao Miyazaki, 'AI Tak Punya Jiwa'
Terkini
-
Waspada Lonjakan Sampah Lebaran, Yogyakarta Siapkan Jurus Ampuh Ini
-
Libur Lebaran Tetap di Jogja? Ini Strategi Dinas Pariwisata Agar Wisatawan Betah
-
Idul Fitri, Haedar Nashir Ingatkan Jiwa Khalifah Luntur, Umat dan Pemimpin Akan Bermasalah
-
Tiket Ludes, Yogyakarta Diserbu Pemudik: KA Java Priority Jadi Primadona
-
Hasto Wardoyo Jamin Takbir Keliling Tak Ganggu Lalu Lintas Jogja, Tapi Ada Syaratnya