Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Selasa, 28 Mei 2024 | 12:22 WIB
Tersangka kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Gazalba Saleh (tengah) mengenakan rompi oranye usai dibawa ke mobil di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Kamis (30/11/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menyoroti putusan Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terkait eksepsi dalam perkara Gazalba Saleh. Disebutkan hal itu merupakan suatu putusan yang ngawur dan tidak berdasar undang-undang.

Pernyataan itu dilontarkan melihat dari alasan hukum yang digunakan oleh majelis hakim ketika menerima eksepsi dari Gazalba Saleh. Secara singkat majelis hakim saat itu berpendapat bahwa KPK tidak berwenang untuk menuntut Gazalba Saleh karena Jaksa KPK yang menjadi JPU dalam perkara ini tidak menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung.

Padahal, dipaparkan Zaenur, kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan bukan datang dari Jaksa Agung. Aturan itu justru suda tertuang di dalam undang-undang nomor 19 tahun 2019 di dalam Pasal 6 huruf e.

"Di sana dinyatakan bahwa KPK itu bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Jadi memang KPK itu memperoleh kewenangannya itu langsung dari undang-undang," kata Zaenur, Selasa (28/5/2024).

Baca Juga: Pukat UGM Soroti Dampak Bahaya Jika Firli Tak Segera Ditahan dan Diberhentikan Sebagai Ketua KPK

Sehingga dari sana tidak ada satu pun kewajiban atau dasar hukum yang mengharuskan Jaksa KPK menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung. Termasuk ketika melakukan penuntutan di depan persidangan.

"Jadi alasan majelis hakim menerima eksepsi Gazalba Saleh itu tidak berdasar hukum, mengada-ada dan ini baru pertama kali kami dengar," ujarnya.

"Karena dari zaman dulu ketika KPK berdiri sesuai dengan undang-undang 30/2002 sampai sekarang dengan perubahan undang-undang KPK, KPK itu kewenangannya berasal dari undang-undang KPK bukan dari penegak hukum lain," imbuhnya.

Bahkan, selain tidak perlu meminta perlimpahan kewenangan dari Jaksa Agung, Zaenur menyebut Jaksa KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan atau penuntutuan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain, baik itu kepolisian maupun kejaksaan.

"Menjadi tidak logis kalau KPK di dalam menuntut harus izin Jaksa Agung tapi dia sendiri berwenang untuk ambil alih kasus dari kejaksaan agung kan tidak logis, itu menjadi rancu," tuturnya.

Baca Juga: Ketua KPK Ditetapkan Tersangka, Pukat UGM: Betapa Carut Marutnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

"Sehingga sekali lagi pendapat majelis hakim yang dituangkan di dalam putusan yang menerima eksepsi Gazalba Saleh itu sangat ngawur," tegasnya.

Ia menegaskan bahwa ewenangan KPK dalam penuntutan itu adalah kewenangan yang bersifat atributif atau kwenangan yang diberikan oleh undang-undang. Sehingga keputusan majelis hakim itu tentu tidak berdasar hukum apapun.


Pihaknya memberi saran kepada KPK untuk dapat mengajukan perlawanan melalui pengadilan tinggi terhadap putusan majelis hakim yang menerima eksepsi dari Gazalba Saleh itu. Supaya dilakukan pengujian kembali atas putusan tersebut.


"Kalau kemudian putusannya itu dikabulkan oleh pengadilan tinggi maka nanti perkara harus dilanjutkan untuk disidangkan," cetusnya.


Ditambahkan Zaenur, penting sekali bagi KPK untuk memantau perkara yang dinilai penuh kejanggalan ini. Selain itu ia berharap dari Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung itu juga dapat memberi perhatian kepada perkara ini.

"Agar perkara ini bisa diselesaikan dengan profesional adil sesuai dengan hukum, jangan sampai ada faktor-faktor non hukum yang turut memengaruhi perkara ini," pungkasnya.

Perkara Gazalba Saleh 

Dalam dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hakim Gazalba Saleh didakwa melakukan pencucian uang dan gratifikasi sekitar Rp 25 miliar.

Gratifikasi itu disebut diperbuatnya bersama Edy Ilham Ahooleh dan Fify Mulyani.

Gazalba disebut melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, berupa perbuatan yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan.

Dalam dakwaan, dari total uang itu disebut dipergunakan Gazalba untuk sejumlah keperluan. Di antaranya membeli mobil Toyota New Alphard, tanah dan bangunan yang berada di Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan Cibubur, Tanjungsari Kabupaten Bogor. Tak hanya itu, Gazalba juga menggunakannya untuk melunasi cicilan rumah KPR.

Sementara dalam perbuatan penerimaan gratifikasi, Gazalba disebut menerima uang Rp 650 juta bersama Ahmad Riyad dari seorang bernama Jawahirul Fuad.

Saat dijadikan tersangka, KPK meyebut Gazalba diduga menerima uang Rp 15 miliar dari sejumlah pihak, di antaranya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Rennier Abdul Rahman Latief dan Jafar Abdul Gaffar. Diduga pemberian uang berkaitan dengan jabatan Gazalba sebagai Hakim Agung di MA.

Uang yang diduga hasil gratifikasi dialihkan ke bentuk lain, di antaranya membeli rumah di Cibubur, Jakarta Timur secara tunai seharga Rp 7,6 miliar dan satu bidang beserta bangunan di Tanjung Barat, Jakarta Selatan seharga Rp 5 miliar.

Load More