Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 19 Juni 2024 | 16:36 WIB
Akademisi dari FKMK UGM, Ahmad Hamim Sadewa mengungkapkan tentang kerawanan pangan di Yogyakarta, Rabu (19/6/2024). [Kontributor Suarajogja.id/Putu Ayu]

SuaraJogja.id - Gelombang panas yang terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia beberapa waktu terakhir dimungkinkan akan berpengaruh pada pasokan pangan. Kondisi itu dikhawatirkan akan berdampak pada kesehatan karena keterbatasan akses terhadap makanan yang beragam dan bergizi.

Karenanya akademisi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKMK) UGM, Ahmad Hamim Sadewa mendesak pemerintah untuk mengoptimalkan ketahan pangan di tingkat lokal. Sebab suplai makanan dari impor masih sangat tinggi saat ini.

"Tingginya suplai impor yang tinggi sangat beresiko pada safety food di Indonesia bila ada kejadian di luar negeri seperti gelombang panas ini," papar Hamim dalam rangkaian Summer Course 2024 on Interprofessional Healthcare bertajuk "Nourishing Futures: Exploring the Intersection of Food Security and Health Status" di Yogyakarta, Rabu (19/6/2024).

Wakil Dekan FKMK UGM tersebut menyebutkan, alih-alih mengandalkan impor, pemerintah mestinya memaksimalkan penguatan sektor pertanian dan pangan di daerah secara mandiri. Sebab masyarakat membutuhkan suplai pangan yang kontinyu.

Baca Juga: Anti Ribet! Mahasiswa UGM Luncurkan Aplikasi Belanja Daging Ayam Segar Langsung dari Peternakan

Bila suplai pangan terganggu, maka jumlah angka kurang gizi atau stunting di Indonesia, termasuk di DIY akan semakin tinggi. Padahal saat ini angka stunting di DIY masih mencapai 16,4 persen. Sedangkan di tingkat nasional, angka stunting Indonesia masih berada di angka 21,5 persen pada 2023 lalu.

"Kita harus bisa mandiri dalam hal pangan, masih banyak yang kita belum bisa mandiri. Contohnya dengan menambah jumlah pembukaan lahan [pertanian], itu sebenarnya bisa dilakukan agar tidak semakin banyak impor," paparnya.

Hamim menambahkan, distribusi pangan yang merata juga dibutuhkan. Sebab saat ini masih banyak daerah, terutama di kawasan terluar dan terpencil yang belum mendapatkan suplai pangan memadai.

Kalaupun ada bahan pangan tradisional, varian bahan pangan masih banyak yang kurang. Karenanya dibutuhkan menaikkan kandungan gizi dan kualitas bahan pangan.

Sementara terkait program makan susu dan makan siang gratis yang bakal diterapkan pemerintahan baru Prabowo-Gibran nanti, menurut Hamim hal itu baru mengatasi masalah dalam jangka pendek. Perlu adanya solusi jangka panjang tidak hanya di hilir namun juga di tingkat hulu.

Baca Juga: Jogja Tak Punya Ruang Publik, Pekerja Seni Berharap GIK UGM Bisa segera Rampung

"Jangan hanya muara saja, seperti makannya yang sudah jadi [untuk dibagikan ke masyarakat]. Jangan-jangan susu, telur itu impor, nanti kan repot. Jadi bahan baku harus dipenuhi dari dalam negeri, jadi perlu penguatan dan inovasi agar berhasil di banyak sektor," tandasnya.

Akademisi lainnya, Tony Arjuno menambahkan, ketahanan pangan secara mandiri sangat dibutuhkan saat ini. Jangan sampai Indonesia seperti negara tetangga Singapura yang bergantung sangat besar pada negara-negara lain soal suplai pangan mereka.

"Singapura saat covid-19 pada 2020 lalu kan kelabakan karena suplai pangan terganggu. Singapura mau menanam dimana karena tanahnya tidak punya, semua mengimpor karena rawan pangan. Artinya keamanan pangan jadi krusial untuk menyediakan pangannya sendiri," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More