Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 08 September 2024 | 22:50 WIB
Sejumlah anggota komunitas Lokalogi UGM dalam kegiatannya. (dok.Istimewa)

SuaraJogja.id - Mahasiswa tidak melulu soal ruang kuliah dan nilai yang mengesankan. Ada kalanya, mahasiswa mampu memberikan sumbangsih bagi lingkungan sekitarnya.

Seperti yang dilakukan komunitas Lokalogi di UGM. Komunitas yang terdiri dari mahasiswa berbagai jurusan ini ikut terjun memilah dan mengelola sampah di lingkungan kampus.

Ketua Lokalogi UGM, Yudhistira Wiranusa Sumantri menuturkan bahwa tujuan mereka sederhana, ikut berkontribusi mengatasi persoalan sampah di kampus dan di DIY. Berawal dari kepedulian para anggota Pramuka UGM terhadap isu sampah yang semakin mendesak.

"Pembentukan ini awalnya kami dari Pramuka UGM merasa perlu adanya tindakan nyata terhadap masalah sampah yang kian mengancam," kata Yudhistira, dalam keterangan tertulis yang dikutip SuaraJogja.id, Minggu (8/9/2024).

Baca Juga: Dari Rafael Alun ke Kaesang: Mampukah KPK Buktikan Taji Lawan Gratifikasi 'Orang Dalam'?

Mahasiswa prodi Teknik Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil, Fakultas Teknik ini mengatakan setelah melalui perencanaan matang, Lokalogi dibentuk pada tahun 2023. Setelah setahun, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni 2024 lalu, Lokalogi pun resmi diluncurkan dalam sebuah acara di Balairung UGM.

Lokalogi juga telah melaksanakan beberapa kegiatan penting sejak peluncurannya. Salah satu kegiatan utama mereka di tahun ini adalah pengelolaan sampah pada acara besar di UGM.

"Kami terlibat dalam dua event besar UGM di tahun ini, yaitu Pionir dan Gelex. Pada Pionir, kami mengelola sampah bersama dengan para volunteer sekitar 93 orang, dan pada Gelex dengan 144 orang anggota," ungkapnya.

Dalam mengelola sampah acara Gelex, Lokalogi menerapkan konsep reduce waste to landfill. Konsep dilakukan dengan mengurangi secara signifikan sampah yang terbuang ke landfill atau TPA.

Lokalogi sendiri menjaga titik tempat sampah terpilah dan mengedukasi sekitar 10.000 pengunjung setiap harinya. Disampaikan Yudhistira, timbulan sampah yang paling banyak yakni wadah makanan dan minuman yang berupa sampah plastik dan kertas.

Baca Juga: Berawal Ejekan Berujung Pembacokan, Ojol di Sleman Nyaris Tewas Dibacok Pemuda Mabuk

Yudhistira bilang Lokalogi mengklasifikasikan sampah menjadi tiga kategori utama yaitu organik, anorganik, dan residu. Sampah organik, yang mencakup sisa makanan dan bahan-bahan biologis lainnya.

Biasanya sampah organik akan digunakan sebagai pakan untuk makhluk hidup atau diolah menjadi kompos. Sampah anorganik, yang terdiri dari plastik, kertas, dan logam, diserahkan kepada mitra daur ulang seperti Daur C, Torsi, dan Duitin.

Sementara sampah residu, yaitu sampah yang tidak dapat didaur ulang akan dikumpulkan dan dikelola oleh pihak ketiga seperti PIAT. Edukasi kepada panitia acara dan peserta dalam memilah dan mengolah sampah pun dilakukan.

Diakui Yudhistira sejauh ini tantangan terbesar yang dihadapi oleh Lokalogi adalah tentang meningkatkan kesadaran. Baik mahasiswa dan masyarakat terutama terkait dengan pentingnya pemilahan sampah.

"Kami masih menemui banyak mahasiswa yang kurang peduli terhadap pengelolaan sampah, terlebih pada mahasiswa yang membuat acara-acara besar di UGM," ujarnya.

"Beberapa dari mereka masih sering meninggalkan sampah sembarangan setelah acara, panitia nya pun kurang memberikan regulasi pengelolaan sampah. Itu yang menjadi tantangan sekaligus motivasi kami," tandasnya.

Yudhistira dan tim Lokalogi memiliki harapan besar untuk masa depan komunitas ini. Dia ingin Lokalogi menjadi contoh dan pionir dalam pengelolaan sampah di wilayahnya.

Komunitas ini bertekad untuk terus berinovasi dan meningkatkan cara mereka dalam mengelola sampah. Tidak lupa untuk mempengaruhi perubahan positif di sekitar mereka.

"Kami berharap ke depan, setiap kegiatan di UGM dapat mempertimbangkan pengelolaan sampah sebagai bagian integral dari perencanaan acara," ujar dia.

Load More