Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 26 September 2024 | 18:20 WIB
Ahli Gizi dari Yogyakarta, Dyah Suryani menyampaikan komentar program makan siang gratis Prabowo-Gibran di Yogyakarta, Kamis (26/9/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Keracunan makanan yang marak terjadi, termasuk di lingkungan lembaga pendidikan di Yogyakarta harus dikaji lebih dalam oleh pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan menerapkan program makan siang dan susu gratis. Program tersebut masih banyak menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan sebelum benar-benar diterapkan.

"[Kasus keracunan] ini menunjukkan bahwa anak sekolah tidak hanya membutuhkan gizi yang seimbang, tetapi juga makanan yang aman, terbebas dari kontaminasi, terutama kontaminasi mikrobiologi yang bisa menyebabkan keracunan. Ini adalah hal penting yang harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah yang akan datang," papar ahli Gizi dari Yogyakarta, Dyah Suryani disela International Seminar on School Lunch Program in South Asia' di Yogyakarta, Kamis (26/9/2024).

Menurut Kaprodi Gizi UAD ini, pemberian makan siang gratis ini sebenarnya menarik untuk dilaksanakan di Indonesia. Apalagi masalah anak sekolah di Indonesia tidak hanya terkait dengan stunting, tetapi juga obesitas. 

Namun pemerintahan baru nanti mestinya juga memperhatikan aspek di luar anggaran yang disebutkan sebesar Rp 15 ribu per siswa. Nominal tersebut baru bisa mencakup menu makanan. 

Baca Juga: Ganjar dan Enam Dosen UGM Masuk Daftar 2 Persen Ilmuwan Berpengaruh di Dunia

Yang mesti juga menjadi perhatian adalah biaya untuk sumber daya manusia (SDM) yang memasak. Biaya Rp 15 ribu per anak tersebut mungkin akan mengurangi alokasi dana untuk kualitas makanan. Akibatnya bisa kualitas makanan akan terabaikan. 

"Yang dikhawatirkan, dengan dana terbatas, kualitas makanannya akan dikorbankan. Yang penting adalah mempertimbangkan kembali harga yang akan ditetapkan," tandasnya.

Program makan siang gratis tersebut, lanjut Dyah rencananya akan diterapkan di seluruh Indonesia. Karenanya butuh tim yang kuat mengingat jumlah sekolah dasar di setiap provinsi sangat banyak.  

Penerapannya pun tidak mudah dan perlu persiapan yang matang, tidak hanya dari sisi biaya tetapi juga SDM-nya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah keamanan makanan yang diberikan.

Belum lagi program pemberian susu. Ini perlu dipertimbangkan kembali apakah pemberian susu efektif, karena dalam pembuatannya terdapat banyak proses yang berisiko. Proses yang panjang bisa menyebabkan nilai gizi susu hilang sebelum sampai ke anak-anak. Selain itu, alergi terhadap bahan makanan seperti ikan juga harus diperhatikan agar program ini tidak menimbulkan masalah baru.

Baca Juga: Perubahan Iklim Ancam Sektor Pertanian, Bisakah Kita Bertahan dari Kekeringan?

"Itu yang perlu diperhatikan, jangan sampai ada pihak yang mengambil keuntungan pribadi dari program ini," jelasnya.

Sementara Direktur Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Food and Nutrition (SEAMEO) Recfon, Herqutanto mengungkapkan berdasarkan pengalaman Kemendikburistek dalam mengembangkan Program Gizi Anak Sekolah (ProGas) sejak 2017 menunjukkan pemberian makan di sekolah bukan hanya soal membagikan makanan. 

"Namun harus melibatkan analisis pola makan dan edukasi gizi," tandasnya.

Ada beberapa tantangan dalam penyediaan makanan siang gratis. Yakni SDM dan pengelola makanan di sekolah. Penyediaan makanan berkualitas melibatkan banyak aspek, seperti kebersihan bahan baku dan alat makan, serta kualitas bahan pangan yang digunakan.

Namun terkadang, praktik yang kurang baik masih terjadi. Misalnya makanan yang dihangatkan kembali karena sisa sehingga mengurangi nutrisi. 

"Ini adalah dampak dari tantangan dalam penyediaan makanan di sekolah, yang masih menghadapi banyak kendala," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More