SuaraJogja.id - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona menyoroti langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini terkait keputusan DPR yang belum lama mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Kementerian Negara.
"Baru beberapa hari lalu disahkan tiga undang-undang yaitu undang-undang tentang kementerian yang melepaskan batas jumlah kementerian yang dibatasi tadinya 34 sekarang bisa lebih dari itu," kata Yance, Minggu (29/9/2024).
"Dan informasi yang beredar nanti Prabowo-Gibran akan membentuk 44 pos kementerian atau lembaga setingkat menteri," imbuhnya.
Yance menilai keputusan tersebut mengubah beberapa ketentuan, termasuk dihapuskannya batasnya jumlah kementerian. Dia sungguh menyayangkan peran badan legislatif yang kini justru menjadi alat kepentingan bagi pemerintah eksekutif.
Menurutnya kondisi ini tidak sepenuhnya mengejutkan. Mengingat tabiat ini sudah dibentuk sejak pemerintahan Jokowi berlangsung saat banyak petinggi partai yang diangkat menjadi menteri.
"Kalau kita melihat pembentukan UU di masa transisi ini, undang-undangnya tentang kepentingan eksekutif tapi munculnya dari DPR. Jadi dia bukan lagi lembaga mandiri untuk kepentingan rakyat, tapi sudah bisa dititipin. Tolong bikinin undang-undang bahasanya itu ya," tandasnya.
Dia memprediksi kabinet di pemerintahan Prabowo-Gibran akan cukup gemuk. Hal ini sekaligus akan semakin menjauhkan dari wacana atau cita-cita membentuk kabinet zaken tersebut.
"Dan kita tahu kalau obesitas kabinet seperti itu tentu makannya banyak. Kalau obesitas kan makannya banyak. Tidak sehat. Sepertinya tidak akan menjadi zaken kabinet tetapi jadi kabinet yang gemuk," ucapnya.
Melihat selama ini kontrol DPR yang kurang maksimal dalam mengawasi kinerja pemerintah, Yance bilang kampus harus bisa ikut berperan. Sebagai pusat pendidikan dan pakar menjadi salah satu agen penting dalam mengawal pemerintahan selanjutnya.
Baca Juga: Kisah di Balik Terciptanya Sandal Terapi Canggih untuk Pasien Patah Tulang Karya Mahasiswa UGM
Menurutnya, seluruh Perguruan Tinggi diharapkan bisa menyatakan keberpihakannya pada kepentingan rakyat dengan mengkaji kebijakan yang dibuat pemerintah.
"Menurut saya panggilan ke depan akademisi itu tidak boleh netral, harus berpihak pada kepentingan publik. Begitupun dengan mengkritik, harus membuat model kritik yang ‘bising’ agar didengar," katanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Siapa Pencipta Sound Horeg? Ini Sosok Edi Sound yang Dijuluki Thomas Alva Edisound dari Jawa Timur
- Jelang Ronde Keempat, Kluivert Justru Dikabarkan Gabung Olympique Lyon
- Bupati Sleman Akui Pahit, Sakit, Malu Usai Diskominfo Digeledah Kejati DIY Terkait Korupsi Internet
- Akal Bulus Dibongkar KPK, Ridwan Kamil Catut Nama Pegawai Demi Samarkan Kepemilikan Kendaraan
- Pemain Keturunan Purwokerto Tiba di Indonesia, Diproses Naturalisasi?
Pilihan
-
7 Sepatu Lari Murah 200 Ribuan untuk Pelajar: Olahraga Oke, buat Nongkrong Juga Kece
-
Masih Layak Beli Honda Jazz GK5 Bekas di 2025? Ini Review Lengkapnya
-
Daftar 5 Mobil Bekas yang Harganya Nggak Anjlok, Tetap Cuan Jika Dijual Lagi
-
Layak Jadi Striker Utama Persija Jakarta, Begini Respon Eksel Runtukahu
-
8 Rekomendasi HP Murah Anti Air dan Debu, Pilihan Terbaik Juli 2025
Terkini
-
Bupati Bantul Setuju PSIM Main di SSA, Tapi Suporter Wajib Patuhi Ini
-
Efek Prabowo: Pacuan Kuda Meledak! Harga Kuda Pacu Tembus Miliaran
-
Bahaya di Balik Kesepakatan Prabowo-Trump: Data Pribadi WNI Jadi Taruhan?
-
Dampak Larangan Study Tour: Keraton Jogja Ubah Haluan, Tawarkan Wisata yang Bikin Anak Betah
-
Fakta Sebenarnya Jurusan Jokowi di UGM: Bukan Teknologi Kayu? Teman Kuliah Ungkap Ini