SuaraJogja.id - Pemasangan pita penggaduh atau yang jamak dikenal polisi tidur di Jalan Letjen Suprapto, Gedongtengen, Kota Yogyakarta kembali menuai sorotan. Beberapa pengendara dikabarkan sempat terjatuh hingga mengakibatkan bodi motor rontok.
Berdasarkan pantauan SuaraJogja.id, ada lima titik pita penggaduh yang membentang di sepanjang jalan dua Kemantren yakni Gedongtengen dan Ngampilan, Kota Jogja. Masing-masing titik terpasang lima gundukan.
Tidak seperti di beberapa tempat lain memang, pita penggaduh di kawasan Jalan Letjen Suprapto berukuran lebih tinggi bahkan dari pemasangan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Para pengguna jalan yang melintas mau tidak mau harus mengerem agak dalam dan memperlambat lajunya. Namun gundukan yang cukup tinggi kadang membuat keseimbangan pengendara motor terganggu.
Saat mencoba melintas, tim SuaraJogja.id pun merasakan sendiri goncangan tersebut. Jika nekat memacu kendaraan dengan kecepatan di atas 15 km/jam maka bukan tidak mungkin baut-baut kendaraan yang sudah kendur itu akan lepas dan rontok.
Warga Tanggapi Positif
Walau terasa mengganggu, namun sejumlah pengendara memberi tanggapan berbeda. Contohnya Pratama (29) seorang warga Jlagran, Pringgokusuman, Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Pemuda yang tinggal tak jauh dari Jalan Letjend Suprapto itu, melihat pemasangan pita penggaduh itu sebagai hal yang membantu.
Apalagi jika dia tidak salah ingat memang ada beberapa kejadian kecelakaan di jalan tersebut. Walaupun sepengetahuannya, alkohol menjadi salah satu faktor dalam peristiwa itu.
"Niatnya sih bagus. Soalnya kalau tidak salah sebelum ada ini (polisi tidur) ada dua atau berapa kecelakaan. Walaupun kalau tidak salah ada pengaruh alkohol juga," kata Pratama.
Baca Juga: Dipasang Demi Keselamatan, Rumble Strip di Jalan Letjen Suprapto Jogja justru Diprotes
Sebelum pemasangan, Pratama telah menduga bahwa pita penggaduh itu bakal ditaruh di beberapa titik sebelum ada persimpangan. Benar saja, pemasangan itu dilakukan di titik-titik sebelum pertigaan.
"Kemarin pas bikin tebakanku pasti akan dipasang di titik yang ada jalan bercabang, ternyata benar, pas yang ada jalan kalau mau belok ke arah barat," ungkapnya.
Tanggapan yang positif itu bukan tanpa alasan. Selain mencegah kembali terjadinya kecelakaan lalu lintas, dia menilai hadirnya pita penggaduh itu memudahkan masyarakat sekitar lokasi untuk beraktivitas.
Sebelum ada pita penggaduh yang terpasang di Jalan Letjen Suprapto itu, kata Pratama, dia dan beberapa warga lain sangat sulit untuk sekadar menyeberang. Kondisi itu mulai teratasi usai pita penggaduh dipasang.
"Positifnya adalah yang mau nyebrang dari dalem kampung sekarang lebih gampang, baik motor atau orang. Kalau sebelumnya yo nganti Lebaran wae angel le nunggu selo (sampai Labaran aja susah mau nunggu lengang)," ungkapnya.
"Negatifnya ya motorku yang shocknya mati jadi badan kayak dikocok," imbuhnya sambil terkekeh.
Terlepas dari pro kontra yang ada di masyarakat, secara pribadi dia menyambut baik pemasangan pita penggaduh itu. Menurutnya ada lebih banyak segi positif dibandingkan dengan negatifnya.
Kendati begitu, dia tak lupa memberi saran kepada para pemangku kepentingan. Terlebih dengan penambahan penerangan jalan tepat di area pemasangan pita penggaduh.
"Keseluruhan kalau menurutku yang rumahnya di daerah situ, lebih banyak positifnya. Tapi kalau boleh saran ya lebih baik lagi juga ditambah penerangan jalan khususnya pas di tempat pemasangan pita penggaduh itu. Jadi buat pengguna jalan yang nggak tahu, enggak kaget dan apalagi sampai jatuh," sarannya.
Senada, warga lain, Agus turut menyambut baik pemasangan pita penggaduh di Jalan Letjen Suprapto. Dia mengakui memang sebelum pemasangan ini ada kecelakaan hingga menyebabkan korban jiwa.
"Pengendara sekarang sudah tidak kayak kemarin-kemarin, wah itu buat trek-trekan. Sempat kan ada korban anak kecil empat tahun gitu. Seminggu bisa ada dua kali kecelakaan, sebelum ada tulisan hingga dipasang penebalan pita penggaduh," ucap Agus.
Agus yang berprofesi sebagai pedagang angkringan di Ngampilan itu mengaku kerap mendapati pengendara kebut-kebutan di Jalan Letjen Suprapto khususnya pada saat dini hari.
"Kalau ngebut itu (sebelum ada pita penggaduh) ya setiap saat apalagi saat subuh itu, saya buka (angkringan) jam 03.30 pagi, tukang sayur itu kalau dari utara banter (kencang) semua. Jalan sepi lurus, itu kan kesempatan untuk trek-trekan," ungkapnya.
Ia mengungkapkan ketika Jalan Letjen Suprapto itu masih dilintasi dua arah, memang tetap ada kasus kecelakaan. Namun ketika kemudian diubah menjadi satu arah, kondisinya semakin mengkhawatirkan.
"Kalau dari utara itu pasti kencang soalnya satu arah. Dua arah pun sebenarnya ada korban tapi ketambahan satu arah sekarang ya tambah kencang. Terutama dari gang-gang arah barat, ini kan gang kampung, kalau mau keluar kan bahaya," cetusnya.
Dia tak memungkiri kalau pemasangan pita penggaduh yang cukup tinggi dan banyak itu menuai pro kontra pengguna jalan. Namun, dari kacamata Agus sebagai warga sekitar dampak positif itu cukup dirasakan.
"Ya warga sendiri juga merasakan kalau lewat situ ya gronjal tapi ya gimana lagi untuk keselamatan. Intinya sih kembali lagi kesadaran pengendara. Kalau orang biasanya ngebut suruh pelan susah memang," ucapnya.
"Tapi ini (pita penggaduh) cukup positif. Sekarang mau nyebrang enak. Kalau enggak digituin ya pada nggak berhati-hati. Kalau mau naik motor selamat ya pelan-pelan, kalau enggak mau telat ya berangkat awal, gitu aja sih, saling menjaga lah," tambahnya.
Minta Dikurangi
Andin seorang pengguna jalan yang kebetulan ditemui saat berhenti di Jalan Letjen Suprapto mengaku kurang setuju dengan kehadiran pita penggaduh sebanyak itu.
"Ya bagus sih biar nggak pada ngebut tapi kalau menurutku kebanyakan dan tinggi sih, perasaan biasanya nggak segitu," ungkapnya heran.
Menurut dia, spesifikasi pita penggaduh yang berada di Jalan Letjen Suprapto itu berbeda dari beberapa yang dia temui di ruas jalan lain. Selain tidak setinggi itu, jumlahnya pun tak tergolong banyak.
Jika dikurangi satu atau dua gundukan dalam satu titik pun, Andin merasa tidak akan mengurangi kegunaannya. Justru diyakini bakal menambah kenyamanan berkendara.
"Coba dikurangi satu atau dua strip aja mungkin, jadi gak langsung berderet lima gitu apalagi ada beberapa titik, mana tinggi-tinggi lagi," ucapnya.
"Tapi gimana juga tetep balik lagi ke pengendara sih, kalau bisa ya nggak usah ngebutlah. Kasihan yang lain yang mau beraktivitas," imbuhnya.
Analisis Ahli Soal Ketebalan hingga Sarannya
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM Arif Wismadi membeberkan bahwa pita penggaduh merupakan salah satu intrumen untuk melakukan traffic calming atau membuat pengguna jalan lebih kalem. Dalam hal ini tidak ngebut sesuka hati saat berada di jalan raya.
Di sisi lain, sudah ada beberapa aturan yang bisa menjadi acuan untuk pemasangan pita penggaduh itu. Sehingga bisa diterapkan secara efektif dan tidak mengganggu kenyamanan dalam berkendara bahkan merusak kendaraan.
Standar itu tertuang dalam PM 82 Tahun 2018 Pasal 32, antara lain yang menyebutkan bahwa ketebalan maksimal pita penggaduh adalah 40 (empat puluh) milimeter.
Kemudian jarak pemasangan antar strip paling dekat 500 (lima ratus) milimeter dan paling jauh 5.000 (lima ribu) milimeter. Ditambah dengan kelandaian sisi tepi strip paling besar 15 (lima belas) persen.
"Efek tidak nyaman umumnya karena ketebalan diambil maksimal, jarak antar strip diambil terjauh, dan kelandaian sisi tepi strip diabaikan," ujar Arif.
Pada kasus di Jalan Letjen Suprapto, Arif menilai kontraktor atau pengawas terlalu berfokus pada kesesuaian ketebalan angka maksimal. Terlebih tidak ada gambaran spesifik yang menyebut polisi tidur itu harus dibuat kurang dari angka maksimal yakni 4 cm.
"Sehingga pelaksana dan pengawas memilih aman mengambil angka maksimal, sayangnya mengabaikan kelandaian strip sehingga membuat tidak nyaman," ungkapnya.
"Mesti bisa dicatat bahwa meminimalkan efek getar juga sering menjadikan marka atau pita penggetar diabaikan oleh pengguna jalan yang suka ngebut," imbuhnya.
Jika penyesuaian tidak atau belum bisa dilakukan, Arif mengatakan bisa disiasati dengan hal lain. Salah satunya dengan peningkatan visibilitas di sekitar lokasi.
"Mungkin bisa dilakukan apakah dengan rambu agar pengguna jalan lebih awas dan menjalankan kendaraan lebih pelan seperti yang diharapkan," cetusnya.
Terkait apakah kemudian pita penggaduh itu perlu dievaluasi atau bahkan diganti lagi, disampaikan Arif, pedoman tentang spesifikasi sudah ada. Mengubah ukuran lebih landai pun berpotensi atau bisa dilakukan.
"Sebenarnya kalau spesifikasi di lokasi tersebut ada yang dapat dijadikan pedoman kontraktor dengan tidak mengambil ketebalan maksimal, bisa saja lebih tipis. Kalau kelandaiannya dikurangi efeknya lebih nyaman," tandasnya.
Mengurangi tingkat ketebalan menjadi salah satu opsi yang bisa diambil. Namun akan berdampak pada efek traffic calming yang akan muncul.
"Jadi kalau mau diperbaiki caranya dikurangi ketebalan dan ditambah kelandaian. Jika terlalu tipis juga efek traffic calming-nya nggak efektif. Jika tidak mungkin diubah karena aspek administratif untuk pemenuhan spesifikasi, bisa ditambahkan rambu yang sesuai," terangnya.
Dari segi intensitas penerapan pun, Arif mengingatkan harus disesuaikan dengan kelas jalan. Namun di sisi lain, masyarakat perlu ingat tentang tujuan pemasangan pita penggaduh itu.
"Intensitas penerapan juga mesti melihat kelas jalan. Jika terlalu banyak bisa menurunkan kelas pelayanan jalan. Tapi pengguna jalan mesti ingat bahwa tujuan penerapannya saat ini adalah untuk keselamatan mereka," tuturnya.
Kasus Kecelakaan dan Fatalitas Tinggi
Sekretaris Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Yogyakarta, Golkari Made Yulianto mengakui penebalan rumble strips di Jalan Letjen Suprapto itu salah satunya sebagai respons atas tingginya kasus kecelakaan di sana.
Tidak hanya saat mulai diterapkan satu arah pada tahun 2020 silam saja, kasus kecelakaan dengan fatalitas tinggi itu bahkan sudah tercatat sejak masih berlaku dua arah.
Salah satu ruas di Kota Jogja yang berfungsi untuk menunjang kawasan Malioboro itu memang ramai dilintasi kendaraan. Berdasarkan data yang dicatat oleh Dishub Kota Jogja, ada peningkatan volume kendaraan ketika akhirnya diterapkan satu arah.
Golkari menuturkan pada saat masih dua arah, volume kendaraan yang melintas di Jalan Letjen Suprapto mencapai 1.595 kendaraan per jam. Jumlah itu meningkat menjadi 1.750 kendaraan per jam ketika diubah menjadi satu arah saja.
"Intinya ada kenaikan volume kendaraan. Ada perubahan kapasitas jalan juga. Pada saat dua arah, kapasitas 2.842 kendaraan. Sementara saat satu sarah menjadi 3.176 kendaraan," ungkap Golkari.
Selain itu, Golkari menyebut volume capacity (VC) rasio atau perbandingan volume arus lalu lintas yang melintas dengan kapasitas jalan di Jalan Letjen Suprapto ikut berubah.
"Ketika masih dua arah itu VC rasio mencapai 0,7 sehingga cukup tinggi. Maka sering terjadi antrean yang cukup panjang pada simpang baik itu di Ngabean atau Jlagran sisi utara," ucapnya.
"Kemudian saat ditetapkan satu arah, VC rasio turun walaupun volume kendaraan meningkat. Sehingga pada saat satu arah VC rasio menjadi 0,5 yang ternyata kemudian, karena VC rasio turun artinya kapasitas jalan meningkat itu yang menyebabkan seolah-olah Jalan Suprapto menjadi lengang," tambahnya.
Belum lagi dengan kondisi jalan yang halus, lebar dan hanya lurus. Kondisi itu yang kemudian memicu orang atau pengendara untuk berkecepatan tinggi.
"Ini yang menjadi masalah. Ini yang memicu terjadi banyak laka di sana dengan tingkat fatalitas yang cukup tinggi. Sehingga kemarin diambil kebijakan agar untuk mengurangi kecepatan," tandasnya.
Kendati tak merinci kasus khusus yang terjadi di Jalan Letjend Suprapto, dari catatan Dishub Kota Yogyakarta, sejak lima tahun terakhir jumlah kejadian kecelakaan di kota gudeg memang cukup tinggi.
Pada tahun 2019, jumlah kejadian kecelakaan mencapai 565 kasus. Dengan jumlah korban mencapai 620 orang, dengan rincian korban meninggal 20, luka berat 0, dan luka ringan 600.
Lalu pada tahun 2020, jumlah kejadian ada 497 kasus dengan total korban mencapai 779 dengan rincian, meninggal 21, luka berat 0, dan luka ringan 758.
Tahun 2021, jumlah kejadian 465 kasus mencatat total korban hingga 721 orang dengan rincian korban meninggal 36, luka berat 4 dan luka ringan 681.
Tahun 2022, jumlah kejadian 640 kasus. Total korban naik drastis mencapai 961 orang. Dengan korban meninggal 34, luka berat 0, dan luka ringan 927.
Kemudian tahun lalu pada 2023 jumlah kejadian mencapai angka tertinggi yakni 827 kasus. Jumlah korban mencapai total 1.017 dengan rincian korban meninggal 19, luka berat 5, dan luka ringan 993.
"Sebenarnya sudah kita pasang banyak rambu ya di sana ya. Ada batasan kecepatan maksimal hanya 30 km per jam. Sudah kita pasangi rumble strip setiap zebra cross yang ada," ujarnya.
"Termasuk juga sudah kita pasang zebra cross di 10 titik untuk memudahkan masyarakat menyebrang jalan. Tapi fakta yang ada tetap terjadi tingkat laka cukup tinggi dan fatalitas juga tinggi," tambahnya.
Sementara itu, Kasat Lantas Polresta Jogja, Kompol Maryanto ketika dimintai data kecelakaan lalu lintas di Jalan Letjend Suprapto pun belum memberikan secara detail angka tersebut. Pihaknya masih akan menunggu evaluasi dari pemasangan pita penggaduh itu hingga genap sebulan.
"Sebaiknya seyogyanya kalau kita evaluasi itu minimal berjalan sebulan nanti kami siapkan data-datanya. Jadi biar kelihatan data-datanya, minimal sebulan," ungkap Maryanto.
Rambu Batas Kecepatan Maksimal Tak Dilirik
Ditegaskan Golkari, batas kecepatan maksimal di Jalan Letjen Suprapto itu hanya 30 km/jam. Aturan itu berlaku sejak sebelum ada penebalan rumble strips atau sesudahnya.
"Ada ruas jalan tertentu yang sampai 40 km/jam, juga ada yang 30 km/jam. Jalan Letjen Suprapto adalah jalan yang kita pasangi rambu dengan kecepatan maksimal 30 km/jam. Sejak awal seperti itu," tegasnya.
Namun, pada kenyataannya, Golkari bilang data kasus kecelakaan tak bisa berbohong. Apalagi tingkat fatalitas yang juga memprihatinkan.
Menurutnya rambu batas kecepatan maksimal itu hanya menjadi angin lalu saja. Bahkan dia menduga rambu yang dipasang itu tak pernah dilirik pengguna jalan.
"Pada kenyataannya kalau melihat dari tingkat fatalitas kecelakaan yang ada, saya berkeyakinan kecepatan kendaraan di sana lebih dari 50 km/jam, apalagi sampai ada yang MD (meninggal dunia), pasti lebih dari 50 atau bahkan 60 atau bahkan 70 km/jam, pasti tinggi. Padahal batas kecepatan maksimal harusnya itu cuma 30 km/jam," ujarnya.
Akses di Jalan Letjen Suprapto, kata Golkari tidak bisa dikesampingkan. Apalagi ruas tersebut merupakan jalur penyangga kawasan sumbu filosofi Malioboro.
"Saya pikir Jalan Letjen Suprapto menjadi sangat penting karena dia menjadi salah satu jalan alternatif bagi masyarakat khususnya yang dari arah utara untuk melintas ke selatan," terangnya.
"Kita tahu jalan yang dari arah timur mau ke selatan satu-satunya ya Suprapto pada saat dilakukan penutupan pada pukul 18.00-21.00 WIB. Sehingga tumpuannya ada di Jalan Suprapto," sambungnya.
Jika dilihat dari kondisi jalan secara keseluruhan saat ini Jalan Letjen Suprapto sudah sangat memadahi untuk dilewati. Baik dilihat secara lebar jalan, kondisi jalan, hingga kelengkapan rambu dan marka jalan.
Namun kondisi jalan yang baik itu tak bisa lantas dimanfaatkan sesuka hati. Apalagi dengan cara mengemudi atau berkendara secara kebut-kebutan.
"Kami berharap, kalau jalannya lebar mulus kemudian tidak terlalu ramai, jangan kemudian dianggap bahwa itu bisa kemudian pengguna jalan dengan kecepatan tinggi, tetap harus mengikuti dan menaati aturan rambu marka yang sudah dipasang," tandasnya.
Antisipasi Kecelakaan
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Yogyakarta, Agus Arif Nugroho saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu menuturkan bahwa, pemasangan rumble strip atau pita penggaduh ini berfungsi untuk mengantisipasi kecelakaan lalu lintas.
Selain itu, latar belakang pemasangan pita penggaduh itu sebagai upaya peningkatan kelancaran lalu lintas. Memang, kata Agus, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kelancaran, misalnya dengan menambah kapasitas jalan atau berbagai hal lain.
Namun khusus untuk Jalan Letjen Suprapto penambahan kapasitas jalan rasanya sudah cukup maksimal. Terlebih dengan pemberlakuan satu arah.
Sehingga pita penggaduh itu yang menjadi upaya lain. Antisipasi kecelakaan menjadi hal yang sepaket dengan peningkatan kelancaran lalu lintas tersebut.
"Tapi memang pasti yang namanya sebuah cara itu ada dampak salah satunya itu. Memang kondisi waktu malam atau waktu-waktu tertentu yang bukan peak hour itu memang banyak pengendara kendaraan bermotor itu yang juga mungkin mengendarai kecepatan dengan kecepatan tinggi," ungkap Agus.
"Jadi salah satu upayanya ya win-win solutionnya, ya jalannya lancar, jalan berkeselamatan ya upaya secara fisik dilakukan pembatasan kecepatan," sambungnya.
Di sisi lain, Agus tak menampik pemasangan rambu lalu lintas misal batas maksimal kecepatan pun kerap diabaikan para pengendara.
"Tidak hanya bicara di jalan itu (Letjen Suprapto), banyak tempat kita juga lakukan upaya untuk endingnya dari pelayanan publik itu di perhubungan itu kan keselamatan itu saja. Jadi memang upaya kita adalah bicara keselamatan," tegasnya.
Terkait spesifikasi pita penggaduh atau polisi tidur yang dirasakan sejumlah masyarakat lebih tinggi dari yang lain, Agus bilang hal itu memang digunakan untuk mengurangi kecepatan. Walaupun pada dasarnya rumble strip sebenarnya bukan alat pengurang kecepatan.
"Itu (rumble strip) kan sebenarnya untuk memberi tahu kepada pengguna jalan bahwa di depan akan ada objek tertentu. Nah kebetulan salah satu manfaatnya agar orang mengurangi kecepatannya," ungkapnya.
Kajian teknis pun telah dilakukan oleh Dishub Kota Jogja untuk pemasangan pita penggaduh. Secara ukuran, diungkap Agus, pita penggaduh di Jalan Letjen Suprapto itu memiliki tinggi 3 centimeter.
"Secara teknis, rambu yang dipasang masih di bawah standar teknis yang seharusnya. Jadi memang kalau ada yang bilang tingginya 15 cm, itu tidak benar, hanya 3 cm," paparnya.
Pita penggaduh itu mau tak mau membuat pengendara menahan laju kendaraannya lebih cepat. Sebab jika tetap nekat memaksa tancap gas saat melintas, bukan tak mungkin bodi motor yang ditunggangi bisa rontok.
"Awalnya mungkin terasa tapi saat melintas dengan kecepatan 15 km per jam, tidak akan terasa. Kecepatan maksimal di jalan kota ini adalah 30 km per jam. Maka, jika melewati titik tersebut dengan kecepatan 15 km per jam, ya tidak ada masalah," pungkasnya.
Berita Terkait
-
Karier Hokky Krisdianto, Pembalap Legendaris Meninggal Dunia Kecelakaan
-
Harga Nyawa di Balik Denda Rp4 Triliun Harley-Davidson
-
Melawan Sunyi, Membangun Diri: Inklusivitas Tuna Rungu dan Wicara ADECO DIY
-
3 Tim Mahal dari Liga 2: Skuat Bernilai Miliaran Rupiah!
-
Fakta Baru Kecelakaan Tol Cipularang, Ada Jejak Rem Sebelum KM 92
Terpopuler
- Pernampakan Mobil Mewah Milik Ahmad Luthfi yang Dikendarai Vanessa Nabila, Pajaknya Tak Dibayar?
- Jabatan Prestisius Rolly Ade Charles, Diduga Ikut Ivan Sugianto Paksa Anak SMA Menggonggong
- Pengalaman Mengejutkan Suporter Jepang Awayday ke SUGBK: Indonesia Negara yang...
- Ditemui Ahmad Sahroni, Begini Penampakan Lesu Ivan Sugianto di Polrestabes Surabaya
- Pesan Terakhir Nurina Mulkiwati Istri Ahmad Luthfi, Kini Suami Diisukan Punya Simpanan Selebgram
Pilihan
-
Tax Amnesty Bergulir Lagi, Para Pengemplang Pajak Bakal Diampuni Prabowo
-
Rupiah Lagi-lagi Perkasa Imbas Yield Obligasi AS Anjlok
-
Harga Emas Antam Naik Drastis, Hampir Tembus Rp 1,5 Juta/Gram
-
Tepok Jidat! Arab Saudi Kuat Banget, Timnas Indonesia Bisa Menang Nggak?
-
5 HP Redmi Sejutaan dengan Baterai Lega dan HyperOS, Murah Tapi Kencang!
Terkini
-
TPST Piyungan Overload, Menteri LHK Desak DIY Olah Sampah Sisa Makanan Jadi Cuan
-
Waspada Penjual Minyak Goreng Keliling, Pedagang di Bantul Rugi Jutaan Rupiah
-
Ternyata Ini Alasan Kenapa Ketika Hujan Tiba Muncul Perasaan Sedih hingga Galau
-
DLH: Selain Atasi Sampah, Keberadaan TPST di Bantul Mampu Serap Tenaga Kerja hingga Ratusan Orang
-
Kecewa Masih Lihat Tumpukan Sampah di Depo Mandala Krida, Menteri Lingkungan Hidup Bakal Panggil Pemkot Jogja