Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 30 Oktober 2024 | 11:10 WIB
Konferensi pers ACT Alliance di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Selasa (29/10/2024). [Suarajogja.id/Hiskia]

SuaraJogja.id - ACT Alliance menyelenggarakan konferensi dunia di Yogyakarta. Isu soal kerusakan iklim di tengah polarisasi politik menjadi krisis yang harus diperhatikan dan ditanggapi secara nyata.

Para pemimpin dan tokoh agama, pembicara internasional dan Indonesia memberikan sejumlah pandangannya terkait keadaan darurat kemanusiaan saat ini.Salah satunya Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid.

Upaya mengatasi krisis iklim itu menjadi yang selalu ditekankan oleh putri sulung mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu. Pertemuan besar ini sebagai langkah awal untuk mendorong penanganan itu makin baik.

"Ini sebenarnya pertemuan besar dari ACT Alliance, itu organisasinya banyak di seluruh dunia, mereka sedang menyusun langkah ke depan," kata Alissa ditemui di Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Selasa (29/10/2023) kemarin.

Baca Juga: Alissa Wahid Desak Aturan Miras Dipertegas Usai Penusukan Santri di Jogja

Langkah penanganan ke depan yang diupayakan itu adalah mendorong pemerintah dunia-dunia untuk bergerak bersama. Tidak mencampuradukkan persoalan krisis iklim dengan politik.

"Nah langkah ke depannya itu salah satunya adalah bagaimana organisasi ini akan mendorong dunia terutama pemerintah negara-negara itu untuk mengatasi krisis iklim karena negara-negara ini memperlakukan krisis iklim itu secara politis enggak kerja beneran, termasuk Indonesia," tandasnya.

Rudelmar Bueno de Faria selaku Sekjen dari ACT Alliance, menuturkan krisis kemanusiaan yang terus meningkat tak dapat diabaikan. Dari meningkatnya pengungsian akibat bencana alam yang semakin sering dan parah hingga ketidakamanan pangan dan air yang diperburuk oleh kekeringan berkepanjangan.

Namun sayangnya keadaan darurat ini, justru menjadi hal yang biasa bagi dunia sekarang. Di tengah krisis ini terdapat tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak.

"Ini bukan hanya masalah lingkungan yang jauh dari kita, ini adalah masalah kemanusiaan," ujar Bueno de Faria.

Baca Juga: Penusukan di Prawirotaman Diduga Berasal dari Miras, Santri Desak Peredarannya Dikendalikan

Berbagai bencana alam mulai dari banjir, kekeringan hingga kebakaran hutan terus terjadi. Degradasi ekosistem memiliki dampak langsung dan menghancurkan pada kehidupan dan mata pencaharian orang-orang.

Terutama di wilayah yang sudah menghadapi kemiskinan dan konflik. Namun demikian, respons global terhadap keadaan darurat kemanusiaan ini masih belum memadai, padahal kebutuhan akan tindakan mendesak semakin besar.

"Krisis iklim, yang seharusnya menyatukan kita dalam tujuan bersama, justru menjadi medan pertempuran politik. Perbedaan pandangan mengenai kebijakan iklim, kepentingan nasional, dan model ekonomi telah memperlambat kemajuan," tandasnya.

"Polarisasi politik merusak kepercayaan pada ilmu pengetahuan, mengganggu kerja sama, dan melemahkan solidaritas global saat kita sangat membutuhkannya," imbuhnya.

Jika dibiarkan terus menerus polarisasi ini juga berdampak pada sumber daya yang tersedia. Pendanaan global untuk respons kemanusiaan berada di bawah tekanan besar.

Disampaikan Bueno, organisasi masyarakat sipil, termasuk aktor-aktor berbasis agama, harus mengisi kekosongan ini, sering kali dengan sumber daya yang terbatas. Hal itu yang coba dilakukan oleh ACT Alliance.

Masyarakat sipil tidak bisa melakukannya sendirian. Menghadapi semakin banyak krisis, ada kebutuhan mendesak akan pembaruan kerja sama global.

"Pemerintah dan lembaga internasional harus mengutamakan aksi iklim dan pendanaan kemanusiaan, dengan menyadari bahwa kegagalan untuk melakukannya akan mengakibatkan penderitaan dan ketidakstabilan yang lebih besar," tegasnya.

Load More