SuaraJogja.id - Pilkada serentak pada 27 November mendatang disambut baik penyelenggaraannya. Hal ini sebagai efisiensi biaya dan penyelarasan pembangunan yang lebih baik.
Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona menilai bahwa penataan pemilihan serentak menjadikan masa jabatan Presiden dan DPR di tingkat nasional hampir serentak dengan jabatan para kepala daerah. Dampaknya perencanaan pembangunan akan lebih terhubung.
"Beda kalau misalkan masa pemilihan Kepala Daerah itu beda-beda. Nanti Presidennya sudah 3 tahun, ada Gubernur baru tentu perlu adaptasi lagi dengan program pemerintah pusat. Belum nanti kalau sudah 4 tahun ada yang baru. Jadi itu akan mengganggu stabilitas pembangunan," kata Yance, dalam keterangannya, Selasa (12/11/2024).
"Jadi sekarang sebenarnya model yang ideal yang sudah dilakukan untuk membuat pemilihan nasional dan pemilihan di daerah itu jaraknya tidak begitu lama, di tahun yang sama," imbuhnya.
Kendati demikian, pelaksanaan Pilkada 2024 bukan tanpa ancaman. Setidaknya Yance menyebut ada 12 isu kerawanan yang patut untuk diwaspadai dalam Pilkada kali ini.
Salah satu bentuk kerawanan paling tinggi yang biasa dihadapi di Pilkada adalah soal netralitas ASN dan penyelenggara Pilkada, serta tidak lupa dengan maraknya praktik politik uang.
Peneliti Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Pandekha) FH UGM itu menilai praktik politik uang adalah awal mula dari korupsi. Sebab ketika mulai masuk pilkada sudah berinvestasi dengan jumlah uang cukup besar bisa dipastikan bagi yang terpilih akan berpikir agar uangnya yang dikeluarkan itu akan kembali.
"Proses transaksional yang terjadi kemudian dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia. Awal-awal kita nggak akan membayangkan seperti ini, tapi itulah yang terjadi kemudian dan banyak kepala daerah yang terjerat korupsi," ucapnya.
Selain itu, Yance turut menyoroti terkait potensi mengembalikan proses Pilkada kepada lembaga legislatif. Meskipun memang pilkada serentak saat ini dianggap hasil kemajuan dari demokrasi pasca reformasi 1998.
Baca Juga: Bawaslu Bantul Usut 6 Dugaan Pelanggaran Pilkada, Baliho Bupati dan Dukuh Tak Netral Disorot
Namun Yance bilang tidak menutup kemungkinan pilkada selanjutnya rakyat tidak lagi secara langsung memilih calon pemimpinnya. Melainkan dikembalikan ke lembaga legislatif.
Pasalnya, aturan konstitusi memang secara tersurat menyatakan tidak harus memilih langsung. Hal itu tertuang dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar yang menyebut gubernur, bupati, wali kota dipilih secara demokratis.
"Proses demokratis saat ini ditafsirkan sebagai pemilihan langsung. Padahal bisa aja nggak langsung dan yang nggak langsung pun juga tetap bisa demokratis. Artinya dipilih lagi oleh para anggota dewan misalkan, itu juga bisa terjadi," ujar dia.
Berita Terkait
Terpopuler
Pilihan
-
7 Rekomendasi HP Murah RAM Besar Terbaru Agustus 2025, Spek Gahar Cuma Rp 2 Jutaan!
-
Berkaca Kasus Nikita Mirzani, Bolehkah Data Transaksi Nasabah Dibuka?
-
Emas Antam Makin Terperosok, Harganya Kini Rp 1,8 Juta per Gram
-
Profil Riccardo Calafiori, Bek Arsenal yang Bikin Manchester United Tak Berkutik di Old Trafford
-
Breaking News! Main Buruk di Laga Debut, Kevin Diks Cedera Lagi
Terkini
-
Remisi Kemerdekaan: 144 Napi Gunungkidul Dapat Angin Segar, 7 Langsung Bebas!
-
ITF Niten Digenjot, Mampukah Selamatkan Bantul dari Darurat Sampah?
-
Gagasan Sekolah Rakyat Prabowo Dikritik, Akademisi: Berisiko Ciptakan Kasta Pendidikan Baru
-
Peringatan 80 Tahun Indonesia Merdeka, Wajah Penindasan Muncul jadi Ancaman Bangsa
-
Wasiat Api Pangeran Diponegoro di Nadi Keturunannya: Refleksi 200 Tahun Perang Jawa