SuaraJogja.id - Lampu studio bioskop meredup secara perlahan. Bangku-bangku tampak telah dipenuhi penonton. Riuh suara seketika berubah hening. Mereka pun seakan lenyap ditelan kegelapan dan menciptakan suasana terisolasi yang hanya menyisakan layar berpendar di hadapannya.
Tak berapa lama, layar bioskop berubah menjadi merah darah. Teriakan histeris terdengar diantara bangku penonton seiring adegan mencekam yang muncul. Degup jantung terasa makin cepat ketika sosok menyeramkan tetiba muncul dan terus menerus menebar teror.
Rasa takut yang tercipta lewat trigger tumpahan darah hingga penampakan makhluk yang menakutkan sepertinya jadi klimaks para penonton yang malam itu antusias menyaksikkan salah satu film horor yang sedang tayang di layar sinema Jogja.
Dalam beberapa tahun belakangan, film genre horor memang kerap menghiasi layar bioskop tanah air. Pada tahun 2024 ini saja setidaknya sudah ada sekitar 45 lebih film horor yang tayang di bioskop. Baik itu horor komedi hingga horor religi, kisah fiksi maupun yang diklaim diangkat dari kisah nyata.
Baca Juga: Dukung Partisipasi Masyarakat, Layanan Rekam KTP Kota Jogja Tetap Buka saat Pilkada 2024
Antusiasme masyarakat menonton film horor juga tak kaleng-kaleng, melihat dari laman filmindonesia.or.id, setidaknya ada tujuh film horor Indonesia yang masuk dalam daftar 15 film peringkat teratas dengan perolehan jumlah penonton tertinggi pada periode tahun 2007 - 2024.
Film produksi MD Pictures “KKN di Desa Penari” (2022) karya Awi Suryadi, masih berada di urutan teratas dengan capaian 10.061.033 penonton. Film yang sempat mengambil beberapa lokasi syuting di Jogja itu masih dinobatkan sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa.
Diikuti oleh horor komedi dari Agak Laen dengan 9.125.188 penonton. Lalu ada Pengabdi Setan 2: Communion dengan 6.390.970 penonton, Vina: Sebelum 7 Hari dengan 5.815.945 penonton, Sewu Dino 4.891.469 penonton, Kang Mak: from Pee Mak 4.860.565 penonton dan Pengabdi Setan sebanyak 4.206.103 penonton.
Seolah tak ada habisnya, hingga pertengahan Oktober 2024 ini saja beberapa judul film horor masih terpampang di bioskop. Sebut saja, Tebusan Dosa, Perewangan, Kuasa Gelap, Kemah Terlarang Kesurupan Massal, hingga Sumala.
Saat mencoba menonton salah satu film itu pun, studio bioskop separuh kursi yang disediakan telah terisi. Kondisi ini membuktikan bahwa film horor tidak pernah kehabisan penikmatnya.
Baca Juga: Jogja Uji Coba Program Makan Siang Gratis, Mahasiswa Perhotelan Siap Diterjunkan ke Sekolah
Seorang penikmat film, Sanny mengaku memang cukup sering menonton film. Walaupun tak selalu horor Indonesia, ada pula film Hollywood hingga Korea yang menjadi menu tontonan hampir tiap pekan.
"Tidak selalu film horor sih, lebih ke semua film. Kadang kalau emang tertarik film horor Indonesia ya ditonton, apalagi biasanya sering ada promo," kata Sanny ditemui di salah satu bioskop di Jogja.
Sanny bilang tak ada dana alokasi khusus untuk menonton film apalagi horor Indonesia. Namun jika menilik catatan di salah satu aplikasi bioskop di Indonesia, sejauh ini transaksi sudah mencapai Rp1,5 juta.
Jumlah itu belum ditambah ketika dia berada di bioksop lain yang tak tercatat pengeluarannya. Di Jogja sendiri ada tiga jaringan bioksop populer yang tersedia.
"Kalau khusus horor Indonesia sendiri biasanya sih bareng-bareng atau ada yang ngajakin nobar gitu. Kan suka ada promo tuh buy one get one paling, nah itu dimanfaatin, lumayan," ungkapnya.
"Ikut merasakan sensasi apalagi kalau nonton ramean di bioskop itu seru sih. Ada yang sampai teriak-teriak takut, tutup muka, mukulin temennya karena kaget, pengalaman horor apalagi kalau beneran nakutin dan filmnya bagus pasti menyenangkan," tambahnya.
Sementara itu Dika, seorang rekannya juga merupakan penikmat film. Ia mengaku menggemari nonton film horor, tidak terbatas horor buatan sineas Indonesia tapi juga dari berbagai negara.
Horor penuh darah dengan suasana mencekam adalah genre film favoritnya. Namun ketika berbicara film horor Indonesia, dia cenderung pemilih.
"Pilih-pilih sih kalau horor Indo, kalau emang cukup menjanjikan dari trailer atau sutradara dan para pemainnya, pasti dicoba sih, walaupun ya bukan jaminan oke juga dari kualitas," ucap Dika.
Menurutnya film horor memiliki kesan tersendiri, genre itu menyentuh beberapa emosi paling mendasar tiap orang yakni ketakutan dan ketegangan.
"Horor sering kali menantang persepsi kita tentang realitas, membuat kita mempertanyakan apa yang mungkin atau apa yang mengintai di tempat yang tidak diketahui, ngomonginnya aja udah seru kan," ungkapnya.
Ditambah lagi, jika memang didukung dengan eksekusi yang mumpuni dan baik tentu mampu menciptakan suasana yang meresahkan, hingga visual yang mengganggu.
"Dari situ ada pengalaman yang intens dan mendebarkan. Ini tuh genre yang menyenangkan, ada banyak kejutannya, dan saya menganggap ketidakpastian itu mengasyikkan, kalau memang bagus, mau horor terus juga gapapa sih," tandasnya.
Jogja Langganan Film Horor
Disamping menjadi pangsa pasar para penikmat film, Jogja nyatanya juga jadi jujugan para sineas untuk memproduksi film. Diantara sekian banyak produksi film yang ada di Jogja, dalam beberapa waktu terakhir didominasi produksi film horor.
Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Kreatif (Ekraf) Dinas Pariwisata DIY Iwan Pramana menyebut berdasar produksi film yang masuk atau setidaknya termonitor oleh Dispar DIY, saat ini memang masih didominasi produksi film horor. Hal ini diketahui dari sejumlah tim produksi yang meminta semacam rekomendasi perizinan pada lokasi-lokasi tertentu di Jogja.
Dia mengaku belum ada angka pasti terkait dengan itu, namun dari dua film saja yang akan diproduksi akhir tahun ini di Jogja, salah satunya horor.
"Kalau ini kemarin saya lihat horor ya (yang mendominasi syuting di Jogja). Mungkin lagi tren ya film-film Indonesia dan tetap mengambil suasana-suasana pedesaan, dan mungkin Jogja jadi representatif yang baik untuk itu," kata Iwan.
Plunyon Ketiban Berkah
Jadi langganan tempat produksi film terutama film horor, sepertinya jadi berkah tersendiri bagi dunia pariwisata Jogja.
Hal itu setidaknya bisa dilihat dari destinasi wisata alam Plunyon, Kali Kuning yang terletak di kawasan lereng Merapi, Sleman.
Lokasi yang pernah jadi salah satu set produksi film KKN di Desa Penari itu, belakangan kembali ngehits.
Berdasarkan catatan dari Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) terkait pengunjung Obyek Wisata Alam (OWA) Plunyon, setelah adanya pemutaran Film KKN di Desa Penari terjadi peningkatan signifikan.
KKN di Desa Penari diketahui sempat melakukan syuting pada akhir tahun 2019 lalu di sejumlah lokasi di Jogja, salah satunya, Plunyon. Sedangkan filmnya sendiri tayang perdana di bioskop pada 30 April 2022 silam, setelah ditunda lebih kurang dua tahun dari rencana awal pada 29 Maret 2020 akibat pandemi Covid-19.
Dari data yang ada, kunjungan di Plunyon sejak Januari-April 2022 atau sebelum penayangan film KKN di Desa Penari tidak pernah mencapai lebih dari 2.500 kunjungan per bulan. Tertinggi hanya pada Januari yakni mencapai 2.211 kunjungan.
Namun setelah film tersebut tayang, lonjakan kunjungan yang sangat signifikan sangat terasa. Pasalnya pada Mei tercatat kunjungan menembus angka 9.598 dan di bulan Juni tak jauh berbeda yakni mencapai 9.589 kunjungan.
Sejak KKN di Desa Penari tayang dan memecahkan rekor demi rekor penonton terbanyak, kunjungan ke Plunyon hampir tak pernah sepi. Dari Juli hingga akhir tahun, kunjungan terendah masih berada di angka 3.708 yaitu pada September sedangkan Desember kembali menyentuh 5.870 kunjungan.
Kesuksesan KKN di Desa Penari, dilanjutkan melalui proyek spin-off salah satu karakternya yakni Badarawuhi di Desa Penari. Tak berbeda dengan film pertamanya, Badarawuhi di Desa Penari juga sempat mengambil lokasi syuting di Plunyon, Kali Kuning.
Film spin off yang baru tayang perdana di bioskop pada 11 April 2024 lalu itu pun mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat dengan torehan hingga lebih dari 4 juta penonton. Plunyon pun kembali mendapat dampak positif usai penayangan film tersebut.
Kunjungan sejak Januari 2024 di Plunyon memang sudah cukup tinggi yakni mencapai 6.669 lalu Februari menurun dengan 5.818 kunjungan, begitu pula dengan Maret dan April yakni 4.118 dan 4.730 kunjungan. Namun setelah film Badarawuhi tayang, tepatnya pada Mei, kunjungan langsung meroket hingga menembus 13.954 kunjungan.
Momentum itu bahkan tetap terjaga hingga data terakhir bulan September 2024 kemarin dengan 7.684 kunjungan. Bukan tak mungkin kunjungan hingga akhir tahun ini juga masih akan tinggi.
"Jadi sejak awal itu (Plunyon) dibuka naik terus sampai 2019, kemudian 2019-2022 awal itu turun karena ada covid. Kemudian 2022 itu naik ditambah ada penayangan film KKN di Desa Penari itu. Kemudian 2023 naik-turun dikit, 2024 naik lagi, itu pun baru sampai September, kalau sampai Desember juga mungkin akan lebih banyak," kata Kepala Seksi Wilayah I Magelang-Sleman Balai TNGM, Sutris Haryanta.
"Analisis memang belum mendalam, tapi mungkin itu (penayangan film) menjadi salah satu faktor naiknya jumlah pengunjung, ya terdampak," imbuhnya.
Disampaikan Sutris, ada pula dampak langsung yang menjadi pemasukan untuk negara dari syuting film di kawasan taman nasional tersebut. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementrian Kehutanan.
Berdasarkan aturan tersebut pengambilan gambar di darat, perairan dan dari udara dalam bentuk film dan foto komersial dikenakan tarif setidaknya Rp20 juta untuk warga negara asing dan Rp10 juta untuk warga negara Indonesia. PP itu kini direvisi dengan PP Nomor 36 tahun 2024.
"Untuk shooting KKN di Desa Penari dan Badarawuhi masih berdasar pada PP 12 tahun 2014. Itu penerimaan negara langsung disetor ke kas negara di bawah kementerian keuangan, menjadi devisa dalam negeri, pemasukan penerimaan negara bukan pajak," terangnya.
Selain dampak kunjungan wisata dan pemasukan negara bukan pajak, kata Sutris, produksi film tersebut juga memberikan dampak langsung kepada masyarakat sekitar. Sehingga perekonomian lokal pun tidak luput dari cipratan cuan film itu.
"Kalau ada masyarakat sekitar yang terlibat dalam kegiatan itu misalkan menyiapkan tempat menjadi guide dan itu bisa bermanfaat. Parkir juga bisa, itu di luar taman nasional, kemudian alat-alat, properti yang mungkin bisa dibantu oleh masyarakat sekitar. Ya memberikan dampak ekonomi warga lokal dan negara," tandasnya.
Memerah Ketakutan, Memanen Cuan
Film horor terus membuktikan diri sebagai salah satu genre yang tidak hanya populer tetapi juga menguntungkan secara ekonomi. Menurut peneliti dan produser film Hikmat Darmawan, genre ini memiliki potensi besar dalam mendukung pertumbuhan industri film Indonesia sekaligus memberikan dampak ekonomi pada masyarakat lokal.
Hikmat menyoroti bahwa meskipun genre horor sering dipandang sebelah mata akibat stereotipe masyarakat yang 'horor melulu' tapi kenyataannya horor menjadi salah satu tulang punggung industri film di Indonesia.
"Horor sejak lama menjadi bagian yang valid dari industri maupun estetika visual kita," kata Hikmat.
Biaya produksi yang fleksibel dan pangsa pasar yang solid menjadikan horor akan terus dilirik banyak rumah produksi. Film horor Indonesia pun, kata Hikmat tidak hanya dinikmati di dalam negeri tetapi juga didistribusikan secara internasional.
"Jadi ada hal yang otentik dari film horor Indonesia yang juga ternyata punya nilai ekonomi di pasar internasional, lalu yang masuk ajang penghargaan. Artinya memang menguntungkan, itu lah kenapa PH-PH besar mengeksploitasi genre ini to," ungkapnya.
Selain itu, film horor memiliki daya tarik utama dari segi biaya produksi yang relatif rendah. Apalagi ketika dibandingkan dengan genre lain seperti film superhero yang memerlukan teknologi CGI canggih nan mahal.
"Lalu bisa murah bikinnya. Misalnya film superhero dengan CGI akan tinggi (biaya produksi), belum lagi head to head dengan film superhero hollywood, resiko investment tidak seimbang dengan pasar sudah terbentuk atau enggak," tandasnya.
"Sementara horor lebih solid secara pasar dan biaya lebih murah. Nyaris semua skala PH dari yang rumahan sampai yang big studio itu bisa bikin horor dengan kelas masing-masing," imbuhnya.
Memang tidak seluruh film horor dihasilkan dengan budget yang kecil tapi setidaknya biaya itu lebih fleksibel ketika dibandingkan dengan proyek lain. Hikmat menuturkan pada produksi skala kecil dengan anggaran di bawah Rp3 miliar saja setidaknya sudah bisa mencapai break-even point dengan 150-200 ribu penonton.
Sedangkan untuk produksi besar dengan biaya sekitar Rp11-12 miliar, target penonton 1 juta cukup untuk menghasilkan keuntungan bersih hingga Rp4-6 miliar.
Diketahui setiap perusahaan film atau rumah produksi rata-rata akan menerima keuntungan sebesar 50 persen dipotong pajak. Misalnya dengan asumsi rumah produksi menerima Rp18 ribu dari setiap tiket film yang terjual.
Sehingga tinggal dikalikan saja angka itu dengan jumlah penonton film tersebut. Penghasilan tersebut memang masih akan dikurangi dengan biaya produksi dan biaya promosi baru memperoleh angka keuntungan bersih.
Namun ambil contoh biaya produksi sebesar KKN di Desa Penari yang mencapai Rp15 miliar. Meskipun belum termasuk dengan biaya marketing yang biasanya setara dengan biaya produksi, film Indonesia terlaris dengan 10 juta lebih penonton itu diprediksi masih untung besar.
"Standar industri sekarang tuh Rp11-12 miliar tapi itu enggak terlalu harus, di bawah itu dengan low budget orang masih bisa bikin film dan filmnya diterima," ucapnya.
Penyokong Ekonomi Kreatif
Dengan fleksibilitas produksi dan dampak ekonominya yang luas, film horor semakin menunjukkan perannya sebagai salah satu pilar ekonomi kreatif Indonesia. Dari penyerapan tenaga kerja lokal hingga pengembangan destinasi wisata, genre ini membuktikan bahwa ia bukan sekadar hiburan, melainkan juga investasi yang berdampak besar.
"Makanya sebetulnya bisnis ekraf dan di Indonesia itu ekraf-nya bidang film salah satu yang potensial marketnya gede juga, itu adalah bisnis yang bisa jadi penggerak tambahan buat Indonesia. Film horor memang banyak produksinya dan scara ekonomi kontribusinya oke," tuturnya.
Tak hanya sebatas dalam satu genre saja, Hikmat bilang, semua genre film memiliki peluang yang sama dalam menumbuhkan perekonomian kreatif di Indonesia.
"To be fair apapun bentuk filmnya tetap saja kalau dia memang tumbuh ya akan menghidupkan atau berdampak juga pada ekonomi lokal. Bagaimana pun produksi film pasti punya dampak lokal, makanan, tempat penginapan, orang juga jalan-jalan, pendapatan daerah, misal dengan sewa tempat," pungkasnya.
Berita Terkait
-
Siapa Suami Ira Swara? Dulu Arsitek Kini Jadi Tukang Ojek karena Kesulitan Ekonomi
-
Bangga! Menpar Widiyanti Umumkan 2 Desa Indonesia Ini Jadi Desa Wisata Terbaik Dunia
-
Arjuna Apartment Dukung Ngayogjazz, Sinergikan Budaya Lokal dan Modernitas
-
Program Edukatif Ajak Anak-anak Menonton Film Lokal, Ini Deretan Manfaatnya
-
Mahasiswa Bisnis Perjalanan Wisata UGM Gelar Olimpiade Pariwisata #13 Tingkat Nasional
Terpopuler
- Mees Hilgers: Saya Hampir Tak Melihat Apa Pun Lagi di Sana
- Saran Pelatih Belanda Bisa Ditiru STY Soal Pencoretan Eliano Reijnders: Jangan Dengarkan...
- Coach Justin Semprot Shin Tae-yong: Lu Suruh Thom Haye...
- Jurgen Klopp Tiba di Indonesia, Shin Tae-yong Out Jadi Kenyataan?
- Ditemui Ahmad Sahroni, Begini Penampakan Lesu Ivan Sugianto di Polrestabes Surabaya
Pilihan
-
Link Live Streaming Timnas Indonesia vs Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia Malam Ini
-
Hanya 7 Merek Mobil Listrik China yang Akan Bertahan Hidup
-
Prabowo Mau Bangun Kampung Haji Indonesia di Mekkah
-
LIVE REPORT Kondisi SUGBK Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
-
Bandara IKN Siap Sambut Penerbangan Komersial, Proyeksi 2026
Terkini
-
Cegah Kebutaan Akibat Diabetes, Peneliti UGM Ciptakan Kamera Fundus Berbasis Smartphone
-
Tingkatkan Reproduksi, Fapet UGM Kembangkan Embrio Berkualitas pada Hewan Ternak Melalui Metode IVF
-
Ada 7 Perusahaan BUMN 'Sakit', Dosen UGM Usulkan Restrukturisasi
-
Kerap Jadi Lokasi Syuting Film, DIY Bisa Raup Pendapatan hingga Rp30 Miliar
-
Pemerhati Film: Tren Film Horor Masih Akan Eksis hingga 10 Tahun ke Depan