Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 21 November 2024 | 15:54 WIB
Sekretaris Departemen FEB UGM, Boyke Rudy Purnomo menyampaikan tentang Literasi Keuangan di Yogyakarta, Kamis (21/11/2024). [kontributor/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Utang yang belum terbayar pada financial technology (fintech) lending atau pinjaman online (pinjol) perseorangan di Indonesia makin menumpuk. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total outstanding pinjaman perseorangan pada pinjol naik 14 persen atau mencapai Rp 61,52 Triliun hingga akhir Juni 2024. Dari jumlah tersebut, generasi Z dan milenial mendominasi penundaan pembayaran hutang.

Guru Besar (gubes) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy di sela Sosialisasi Literasi Keuangan di Yogyakarta, Kamis (21/11/2024) mengungkapkan, gaya hidup Gen Z yang dipengaruhi FOMO (Fear of Missing Out) dan kebiasaan hangout, menjadi faktor utama mereka terjerat pinjol. 

"Gen Z sering kali tidak menyadari gaya hidup membutuhkan biaya besar yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Akibatnya, mereka terjerumus dalam pinjaman online yang menawarkan solusi instan tetapi berbahaya,” paparnya.

Menurut Budi, fenomena ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan generasi muda telah menjadi persoalan yang berlangsung lama tanpa penanganan serius. 

Baca Juga: Unsur Perundungan Ditemukan di 30 SMA/SMK, DIY Bakal Terapkan Literasi Digital Komunikasi Hati

Jika kebiasaan FOMO ini tak diubah maka semakin banyak generasi muda yang terjebak pinjol ilegal. Buntutnya mereka akan depresi dan akhirnya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. 

"Gen Z perlu membiasakan diri untuk hidup realistis," tandasnya.

Budi menambahkan, industri keuangan di bawah pengawasan OJK, bersama lembaga pendidikan seperti universitas pun harus terus melakukan edukasi untuk memberikan wawasan kepada masyarakat. Edukasi dan pengawasan dinilai efektif dalam mengatasi pinjol di kalangan Gen Z dan masyarakat marginal,

"Saya pikir edukasi menjadi kunci. Mereka perlu memahami bahwa keinginan itu banyak, tetapi kebutuhanlah yang harus diprioritaskan. Artinya, kendalikan keinginan, jangan terjebak FOMO, dan hindari kegiatan yang membutuhkan biaya besar jika tidak sesuai kemampuan," ungkapnya.

Sosialisasi literasi keuangan, ditambahkan Chief Customer Management Officer Home Credit, Cahyadi Poernomo memang sangat diperlukan saat ini. Sebab saat ini masih banyak generasi muda dan masyarakat  yang belum pernah tahu tentang dasar manajemen keuangan. Padahal dimungkinkan sekitar 10 persen pelanggan di lembaga keuangan tersebut merupakan mahasiswa.

Baca Juga: Pentingnya Kolaborasi dan Perubahan Gaya Hidup untuk Mencegah Bahaya Penyakit Fatty Liver

"Karenanya sosialisasi literasi keuangan kepada generasi muda melalui kegiatan offline diperlukan agar generasi muda dengan pengetahuan, keterampilan dan keyakinan baru mengenai layanan keuangan yang dapat diimplementasikan di masa depan," paparnya.

Sementara Sekretaris Departemen FEB UGM, Boyke Rudy Purnomo mengungkapkan masalah keuangan bukan hanya berimbas pada aspek material  tetapi juga memperburuk kondisi mental generasi muda. Penelitian terbaru UGM menunjukkan hampir 60 persen masalah yang dihadapi mahasiswa saat ini adalah masalah keuangan selain masalah keluarga.

“Generasi Z dan Alpha cenderung lebih sensitif dan mudah tertekan. Ketika mereka menghadapi tekanan finansial atau kebutuhan gaya hidup, mereka memilih jalan pintas seperti pinjol. Ini menunjukkan bahwa langkah edukasi yang terlambat telah menimbulkan dampak buruk yang meluas,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti perubahan pola pengeluaran generasi muda yang lebih banyak dihabiskan untuk nongkrong di kafe. Selain itu mereka lebih memilih akses internet dibandingkan memenuhi kebutuhan dasar. 

"Polanya sudah bergeser jauh, tetapi pengelolaan keuangan yang baik belum menjadi fokus utama sejak dini," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More