Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 04 Desember 2024 | 15:22 WIB
Potret kericuhan antara Mahasiswa Papua dengan aparat kepolisian di Kota Jogja beberapa waktu lalu. [Kontributor Suarajogja.id/Julianto]

SuaraJogja.id - Akademisi ikut bersuara terkait ricuhnya demonstrasi mahasiswa Papua yang ada di Jogja. Aksi demo merupakan sesuatu yang wajar di era demokrasi, hanya saja jangan keluar dari jalur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengamat politik asal UMY, Zuly Qodir mengatakan sebagian kecil warga Papua yang mengatasnamakan pejuang demokrasi dan HAM beranggapan bahwa negara dalam hal ini pemerintah pusat memperlakukan Papua itu secara tidak adil. Karena merasa selalu diperlakukan tidak adil, maka mereka selalu membuat semacam tindakan-tindakan negatif dan yang paling ekstrim adalah menuntut Papua Merdeka.

"Tetapi perlu diketahui kelompok masyarakat yang menuntut Papua Merdeka itu tidak lebih banyak dari warga Papua yang jumlahnya mencapai 2 juta orang," ujar dia, Rabu (4/12/2024).

Dia menilai ada peran-peran dunia internasional yang membackup tentang gerakan dari para aktivis baik aktivis HAM ataupun aktivitas demokrasi. Peran internasional itulah yang kemudian membuat mereka semakin bersemangat melakukan aksinya.

Baca Juga: Demo Free West Papua di Jogja Berakhir Ricuh, Sultan HB X Sampaikan Hal Penting Ini

Padahal menurut Zuly, apa yang telah dilakukan negara terhadap warga Papua jauh lebih baik jika dibandingkan dengan era presiden-presiden sebelumnya. Sehingga ekspresi dari gerakan-gerakan demokrasi dan HAM untuk menuntut Papua Merdeka sudah tidak realistis lagi.

"Tetapi kita tahu merdeka apakah akan sesuai dengan harapan?, kita lihat bagaimana yang terjadi dengan Timor Leste yang sekarang sudah menjadi negara yang lepas dari Indonesia. Apakah warga negaranya sudah sebaik dari apa yang mereka inginkan?, yaitu lepas dari Indonesia semacam itu," kata Zuly mencontohkan.

Maka dari itu, Zuly juga kembali mengingatkan sikap dari aktivis yang kerap menarasikan pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap orang Papua yang menginginkan merdeka. Zuly juga mempertanyakan ada berapa ratus ribu warga Papua yang ingin merdeka.

Sejauh dirinya berkecimpung di dunia pendidikan, tak jarang ia membuka dialog dengan mahasiswa Papua yang mendapatkan beasiswa. Dari dua ribu lebih orang yang ada di Jogja, mayoritas ingin kembali ke daerah tinggalnya untuk kembali membangun Papua.

"Saya tanya itu ke temen-temen aktivis di Jogja, mereka tidak dapat menjawab. Paling hanya 20 orang saja. kalau begitu bagaimana coba?" tutur dia.

Baca Juga: Soroti Aksi Mahasiswa Papua di Jogja Berujung Ricuh, Gus Hilmy: Masyarakat Jengah

Zuly tak mau berspekulasi banyak nasib Papua ke depan, meski begitu jika Papua benar-benar merdeka, apakah warganya benar-benar mendapatkan kesejahteraan yang dicita-citakan?. Seperti mendapat keadilan politik, keadilan agama dan semacamnya.

Skeptisnya Zuly terhadap mahasiswa Papua saat melihat nasib Timor Leste saat ini. Ia tidak terlalu yakin, bahkan sebagian aktivis dan Mahasiswa Papua perlu belajar dari Timor Leste, di mana kini banyak warga Timor Leste yang pindah kewarganegaraan menjadi WNI.

Oleh karena itu, demonstrasi adalah sesuatu yang wajar karena merupakan bagian dari menyalurkan pendapat. Tetapi melakukan demonstrasi dengan cara kekerasan itu tidak perlu terjadi

"Seperti kata Gus Dur, silahkan berdemonstrasi, silahkan Anda mengibarkan bendera tetapi menuntut Papua merdeka merupakan bagian yang tidak bisa kami tolelir," kata dia.

Ketika orang mengatakan terjadi pelanggaran HAM terhadap warga Papua, terjadi penembakan terhadap warga Papua maka perlu dipertanyakan kembali. Karena ada warga non Papua dan aparat keamanan yang juga menjadi korban kekerasan.

"Lalu apakah itu juga bukan pelanggaran HAM?" kata Zuly.

Agar tidak terulang lagi demonstrasi yang anarkis, maka pemerintah harus menempuh multitrack. Dia menilai ada dialog di tempat yang netral, jikapun di luar negeri maka harus di negara yang netral bukan di Australia ataupun Belanda yang punya kedekatan dengan Papua yang selama ini bertindak anarkis.

"Perlu dilakukan dialog dengan menghadirkan mediator pihak ketiga agar dialog bisa berjalan dengan baik," tambahnya.

Kontributor : Julianto

Load More