SuaraJogja.id - Seni cetak grafis ternyata tak hanya sebuah karya seni. Seni ini ternyata jadi media propaganda politik sejak jaman kolonial Belanda .
Sayangnya, dokumentasi seni cetak grafis sejak jaman penjajahan Belanda hingga Orde Baru(orba) di negara ini sangat minim. Tak banyak dokumen sejarah seni cetak grafis yang ditemukan saat ini.
"Padahal seni grafis sebagai alat propaganda juga sebagai medium gagasan. Ini relevan di masa lalu, relevan pula di masa kini. Namun saat ini tak ada 10 persen seni grafis sejak belanda yang terdokumentasi sebagai arsip sejarah," papar kurator pameran, Febrian Adinata Hasibuan dikutip Senin (9/12/2024).
Menurut Febrian, lembaga resmi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) maupun Perpustakaan Nasional (perpusnas) pun tidak memiliki banyak arsip seni cetak grafis. Kondisi ini mencerminkan lemahnya tradisi pengarsipan kita sebagai bangsa.
Koleksi seni cetak grafis justru lebih banyak ditemukan dari koleksi pribadi. Selain itu dari institusi luar negeri seperti Belanda.
Dicontohkan Febrian, tim kuratorial berhasil menemukan arsip yang sebelumnya dianggap hilang, yakni Album poster revolusi karya Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dari tahun 1948. Album ini sempat dinyatakan lenyap akibat Agresi Militer Belanda II.
Arsip tersebut menjadi saksi bisu perjuangan para seniman era kemerdekaan yang mencetak hingga seribu poster sehari bersama masyarakat. PTPI juga memainkan peran penting dalam pembentukan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang menjadi cikal bakal ISI Yogyakarta.
"Penemuan arsip ini sangat istimewa. Album tersebut ditemukan dalam koleksi pribadi dan direpro dengan sangat hati-hati karena kondisi kertasnya yang rapuh," jelasnya.
Karenanya Festival Seni Cetak Grafis Trilogia 2024, lanjut Febrian coba dihadirkan. Melalui ratusan arsip dan karya yang ditampilkan, festival ini mengajak semua orang untuk memahami sejarah, memperkuat tradisi pengarsipan.
Sejumlah arsip seni cetak grafis menunjukkan betapa seni bisa jadi propaganda politik yang efektif. Sebut saja poster-poster yang dibuat pada masa kemerdekaan menjadi media untuk menyemangati perjuangan merebut bangsa ini dari tangan penjajahan Belanda dan Jepang.
Sejumlah arsip kuno ditampilkan dari sekitar Tahun 1853 atau pertengahan abad 19. Arsip-arsip jaman perjuangan kemerdekaan juga bisa dinikmati pengunjung.
Selain itu mengapresiasi seni grafis sebagai bagian dari identitas budaya yang terus hidup. Sebab seni cetak grafis adalah cermin, baik bagi masa lalu kita maupun masa depan yang ingin kita bangun.
"Kami berharap pameran ini tidak hanya memberikan pengalaman visual, tetapi juga menjadi bahan refleksi kritis. Festival ini tidak hanya soal seni, tetapi juga pengarsipan memori kolektif bangsa yang selama ini sering kali terabaikan," terang dia.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- Perbandingan Konsumsi BBM Mitsubishi Destinator vs Innova Zenix, Irit Mana?
- FC Volendam Rilis Skuad Utama, Ada 3 Pemain Keturunan Indonesia
- Nggak Perlu Jutaan! Ini 6 Sepatu Jalan Kaki Brand Lokal Terbaik di Bawah 500 Ribu
- Tukang Jahit Rumahan di Pekalongan Syok "Ditagih" Pajak Rp2,8 Miliar
- 5 SUV 7 Penumpang Alternatif Destinator, Harga Lebih Murah, Pajak Ringan!
Pilihan
-
9 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Memori Besar Terupdate Agustus 2025
-
9 Rekomendasi HP RAM 12 GB Memori 512 GB Termurah Agustus 2025
-
Harga Emas Antam Rontok, Hari Ini Jadi Rp 1.924.000 per Gram
-
Rahasia Dean Henderson Tundukkan Algojo Liverpool: Botol Minum Jadi Kunci
-
Bos Danantara Sebut Pasar Modal Motor Ekonomi, Prabowo Anggap Mirip Judi
Terkini
-
Potret Siswa Al Azhar Jogja Viral, Netizen: 'Sekolah Sambil Healing, Biayanya DP Rumah KPR'
-
CSR Sleman: Solusi Kemiskinan dan Stunting? Wabup Ajak Perusahaan Lain Bergabung
-
Bendera One Piece Bikin Heboh, Deddy Corbuzier Beri Lampu Hijau dengan Syarat Ini
-
TPR Parangtritis Dipindah! Kabar Baik untuk Wisatawan & Warga Gunungkidul
-
Drama di Lift Hotel Jogja, Atlet Bulu Tangkis Muda Terjebak, Damkarmat Turun Tangan