Di sebuah hutan lebat yang jauh dari peradaban manusia, hiduplah seekor burung hantu tua. Suatu hari, seekor elang muda mendatangi burung hantu dengan sebuah pertanyaan yang membuatnya gelisah.
“Burung Hantu Tua,” ujar elang muda, “aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah pemimpin hebat di langit. Namun, burung-burung lain mengejekku karena aku menggunakan cara terbang ala burung asing dari hutan jauh. Mereka berkata aku harus tetap terbang seperti nenek moyangku, walaupun gaya itu tidak membuatku lebih cepat atau lebih kuat. Apa yang harus aku lakukan?”
Burung hantu mengamati elang itu dengan mata tajamnya, lalu bertanya, “Mengapa kau ingin menjadi hebat di langit, wahai elang muda?”
“Agar semua hewan tahu bahwa aku berasal dari hutan ini, bahwa aku adalah yang terbaik!” jawab elang.
Burung hantu tersenyum kecil. “Jika kau ingin semua hewan mengenal hutan ini, maka terbanglah setinggi dan sejauh yang kau bisa. Tidak masalah dari mana caramu belajar, apakah itu dari burung di hutan kita atau dari hutan jauh. Yang penting, ketika kau melayang di atas awan dan semua mata menatapmu, mereka tahu kau membawa nama hutan kita. Itu adalah kebanggaan sejati, bukan menolak cara asing hanya karena mereka bukan dari sini.”
Elang muda terdiam. Ia mulai mengerti bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang menolak pengaruh luar, melainkan bagaimana menggunakan pengaruh itu untuk menonjolkan jati diri.
Cerita ini menggambarkan dilema yang sering terjadi dalam konsep nasionalisme. Seperti elang muda, kita sering terjebak dalam kebanggaan sempit yang menghambat kita untuk berkembang di panggung global. Namun, burung hantu bijak menunjukkan bahwa nasionalisme sejati adalah tentang menjadi gagah di hadapan dunia, tanpa kehilangan identitas. Dari sinilah diskusi kita dimulai: bagaimana nasionalisme bisa menjadi kekuatan strategis, bukan kelemahan.
Nasionalisme: Antara Kebanggaan dan Strategi Global Nasionalisme sering dipandang sebagai kebanggaan terhadap budaya dan identitas lokal, tetapi tanpa strategi yang matang, semangat ini dapat berubah menjadi penghalang dalam menghadapi realitas global. Dalam era modern, di mana interaksi budaya semakin tak terelakkan, nasionalisme harus dilihat bukan sebagai hambatan, tetapi sebagai alat untuk memperkuat posisi lokal di panggung internasional. Ada perbedaan mendasar antara nasionalisme Tertutup yang kaku dan sempit, dengan nasionalisme terbuka yang cerdas dan strategis.
Ambil contoh kolaborasi antara Garuda Indonesia dan Pokémon. Kritik terhadap penggunaan karakter Pokémon sebagai bagian dari promosi Garuda mencerminkan kelemahan logika.
Beberapa pihak menyebut bahwa penggunaan ikon global seperti Pokémon mengabaikan budaya lokal. Namun, anggapan ini adalah bentuk nasionalisme yang sempit. Livery Pikachu mengenakan batik, misalnya, adalah upaya untuk memadukan budaya lokal dengan elemen internasional yang dikenal luas. Ini bukanlah bentuk menyerah pada budaya asing, melainkan
langkah strategis untuk memperkenalkan budaya Indonesia melalui simbol yang sudah diterima secara global.
Namun, kritik seperti ini sering kali berbasis pada pola pikir argumentum ad populum—yakni mengandalkan sentimen nasionalisme sempit yang mengasumsikan bahwa semua yang lokal lebih baik, hanya karena diterima oleh mayoritas pendukung lokal. Misalnya, ada narasi bahwa
"produk asing tidak mencerminkan Indonesia," seolah-olah keberhasilan lokal hanya bisa dicapai dengan menutup diri dari dunia luar. Ini adalah ilusi kolektif yang sering kali tidak relevan dalam konteks persaingan global. Dalam kenyataannya, pasar internasional tidak
mengenal produk lokal kita tanpa jembatan global yang relevan.
Nasionalisme tertutup ini mirip dengan sebuah restoran lokal yang memaksa hanya menyajikan makanan tradisional tanpa inovasi atau kemasan menarik, sambil terus berteriak, "Ini makanan lokal, makan saja karena ini milik kita!" Padahal, tanpa branding yang menarik, pasar global tidak akan melirik. Sama halnya, tanpa kolaborasi global, budaya Indonesia mungkin tetap kaya, tetapi hanya menjadi kebanggaan internal yang kurang dikenal di luar negeri.
Sebaliknya, nasionalisme terbuka adalah tentang strategi. Misalnya, bayangkan jika Indonesia berhasil meyakinkan Ubisoft untuk membuat Assassin’s Creed: Nusantara.
Assassin’s Creed adalah seri gim terkenal buatan Ubisoft yang dikenal karena menggabungkan sejarah dunia nyata dengan fiksi dalam petualangan epik. Setiap gim membawa pemain ke lokasi bersejarah, seperti Mesir, Italia Renaisans, atau Jepang feodal, sambil menyelami intrik dan konflik antara dua faksi utama, Assassin dan Templar.
Membayangkan seri ini mengangkat sejarah Indonesia, seperti era Majapahit atau Perang Diponegoro, bukan hanya akan memperkenalkan budaya Indonesia secara mendalam kepada dunia, tetapi juga membuat sejarah lokal menjadi menarik
bagi generasi muda global.
- 1
- 2
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Mobil Bekas untuk Keluarga di Bawah Rp50 Juta: Kabin Luas, Cocok untuk Perjalanan Jauh
- 5 Mobil Eropa Bekas yang Murah dan Tahun Muda, Mulai dari Rp60 Jutaan
- 5 Rekomendasi Mobil SUV Bekas Bermesin Gahar tapi Murah: Harga Rp60 Jutaan Beda Tipis dengan XMAX
- Pemain Keturunan Medan Rp 3,4 Miliar Mirip Elkan Baggott Tiba H-4 Timnas Indonesia vs Jepang
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Anti Hujan Terbaik 2025: Irit, Stylist, Gemas!
Pilihan
-
5 HP Murah dengan Desain Mirip iPhone Juni 2025, Bukan iPhone HDC!
-
Pemain Keturunan Rp 112,98 Miliar Potensi Comeback Gantikan Teman Duet Bek Klub Serie B Lawan Jepang
-
5 Mobil Keluarga Rp70 Jutaan Juni 2025: Kabin Longgar Mesin Bandel, Irit Bahan Bakar
-
Eksklusif dari Jepang: Mulai Memerah, Ini Kondisi Osaka Jelang Laga Timnas Indonesia
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan dengan NFC Terbaru Juni 2025
Terkini
-
Kisah Jemaah Haji 2025 Terlantar di Arafah hingga Makanan Tak Layak, DPR RI Bentuk Pansus
-
PN Sleman Tolak Intervensi Kasus Ijazah Jokowi: Langkah Mediasi Jadi Penentu
-
Diduga Sakit Hati Dagangan Tak Laku, Bocah di Sleman Nekat Gores Mobil dengan Cutter
-
Sleman Banjir Wisatawan, Mei 2025 Catat Rekor Kunjungan, Ini 3 Destinasi Favoritnya
-
Geger! Penyadapan KPK Tanpa Izin Dewas? Ini Kata Ahli Hukum Pidana