SuaraJogja.id - Sebanyak 217 responden turut aktif dalam riset kolaboratif Universitas Multimedia Nasional (UMN) dan Serikat Sindikasi. Riset yang dilaksanakan sejak September 2024 ini, menyoroti tantangan yang dihadapi pekerja media dan kreatif dalam menghadapi kecerdasan buatan (AI).
Diskusi yang dihelat di Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta, Sabtu (8/2/2025), tersebut mengangkat tajuk “Studi Persepsi dan Adopsi Teknologi Kecerdasan Buatan di Kalangan Pekerja Media dan Kreatif Indonesia”. Turut hadir pula berbagai pelaku kreatif mulai dari kurator, jurnalis, illustrator, hingga pelaku event dan NGO.
Ketua tim peneliti sekaligus dosen UMN, Yearry Panji Setianto, mengatakan pelaku kreatif dan pekerja media dipilih sebagai fokus riset mengingat dampak signifikan yang sangat dirasakan atas kehadiran kecerdasan buatan.
“Kami mulai dari diskusi terkait kerja-kerja media, jurnalisme, dan sejenisnya. Ini memang isu yang lekat dengan kami juga. Pengamatan di lapangan, para pelaku kreatif cukup urgent untuk dibahas,” ujar Yearry.
Baca Juga: Sindikat Curanmor Spesialis Honda Beat di Jogja Dibekuk, Pengirim STNK untuk Dipalsukan Diburu
Menurut Yearry, perspektif pelaku kreatif dalam menilai dampak AI menjadi prioritas. Kata Yearry, para peneliti tidak memposisikan sebagai orang yang tahu soal dampak teknologi AI, melainkan menjadi wadah atas cerita yang disampaikan para pekerja kreatif dan media.
“Riset ini melibatkan diskusi langsung, artinya kami tidak memposisikan sebagai orang yang tahu soal dampak teknologi AI. Sebaliknya, kami justru memberikan wadah dan menggunakan angle mereka sebagai orang pertama yang bercerita melalui pengalaman selaku pelaku kreatif,” kata Yearry.
Temuan riset mengungkap, bahwa 58 persen responden merasa pekerjaannya berisiko tergantikan oleh AI dengan tingkat ketergantungan terhadap AI dalam aktivitas profesional.
Banyak pekerja telah mengadopsi AI untuk tugas-tugas rutin seperti transkrip wawancara, pembuatan pitch deck, dan desain grafis otomatis. Namun, ada kekhawatiran signifikan mengenai hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi.
Tantangan Regulasi dan Etika: Perlukah AI Diatur?
Riset ini juga mengungkap, meskipun AI semakin diterima, ada kekhawatiran terkait kurangnya transparansi dan regulasi. Empat isu utama yang menjadi perhatian pekerja kreatif meliputi keterbukaan penggunaan AI, perlindungan data pribadi, kejelasan orisinalitas karya berbasis AI, serta keadilan dalam pembagian upah.
Baca Juga: Coretan Vandalisme 'Adili Jokowi' Bermunculan di Jogja, Ini Kata Polisi
“Sayangnya, seperti riset lain di indonesia, saya mendapati bahwa teman-teman masih ragu untuk bercerita atau curigaan ‘ini risetnya buat apa?’, sehingga hal-hal semacam itu menjadikan eksplorasi kami untuk mendalami sebuah bidang dengan berbagai jenisnya kurang maksimal,” pungkas Yearry.
Salah satu peserta, Nurrul Nelwan dari Forum Film Dokumenter mengatakan kehadiran AI membuatnya dilema antara efisiensi dan budgeting.
“Sampai saat ini aku menggunakan AI dalam beberapa proses kreatif, seperti pitching film ke luar negeri. Dalam proses itu, tentu sumber dayanya cukup terbatas dan belum bisa membiayai orang untuk membuatkan poster. Sebenarnya, ini memudahkan aku karena terbantu dengan AI, tapi satu sisi sangat dilematis karena rasanya ada ruang kerja meminggirkan orang lain yang tadinya harus bekerja,” ujar Nurrul.
Nurrul juga menyampaikan, permasalahan utama bukan hanya AI, melainkan ekosistem kerja yang belum memberikan kesejahteraan bagi pekerja kreatif.
"Upah rendah sudah menjadi masalah lama, dan AI justru memperburuk situasi," tambah dia.
Menariknya, sebagian besar pekerja kreatif tidak menolak AI secara total, tetapi menginginkan sistem yang lebih adil. Banyak yang berharap AI tetap dijadikan alat bantu tanpa menghilangkan peran manusia dalam proses kreatif.
“Aku merasa AI ini bisa mempersonalisasikan aku sebagai kreator, tapi aku merasa AI belum bisa menggantikan peranku sebagai pekerja film karena secara proses kreatif itu dari aku,” ujar Nurrul.
Yearry dan tim peneliti menegaskan bahwa tantangan utama bukan sekadar teknologi, tetapi kondisi sistem kerja yang belum berpihak pada pekerja kreatif.
"Jika sistem kerja dan regulasi tetap stagnan, AI hanya akan mempercepat eksploitasi tenaga kerja kreatif atas nama efisiensi dan inovasi," tutur Yearry.
Berita Terkait
-
Rentan Diretas, AI DeepSeek Dinilai Berisiko dalam Keamanan Siber
-
AI Bisa Tiru 100 Suara Hank Azaria! Pengisi Suara The Simpsons Ungkap Ketakutannya
-
Vandalisme 'Adili Jokowi' Bermunculan di Jogja, Polisi Buru Pelaku
-
Apakah Aplikasi Hailuo AI Kungfu Aman? Jangan FOMO Ikutan Viral di TikTok, Cek Dulu!
-
ISC Tambah Daya Jadi 6MW, Data Center Tier IV di Jakarta Siap Dukung Ekosistem AI
Terpopuler
- Sambil Menangis, Ivan Gunawan Ungkap Peran Desy Ratnasari buat Kariernya: Teteh Satu-satunya Artis..
- Diduga Bakal Mangkrak, Kunto Aji Sentil Momen Jokowi Pamer Investor IKN: Pak Kok Saya Gak Diajak..
- Simon Tahamata: Giovanni van Bronckhorst Berminat
- Jejak Hitam Razman Arif Nasution: Dipecat Kongres Advokat Indonesia, Gelar Pengacara Diragukan
- Sosok Soeharto Djojonegoro, Anak Bos OT Group Suami Caroline Riady yang Pulang Kerja Dijemput Helikopter
Pilihan
Terkini
-
Tiba-tiba Oleng di Jalan Selomartani Kalasan, Mobil Tabrak Tiga Pemotor
-
Sampel Siomay di Dua Lokasi Keracunan Massal Sleman Diperiksa, Dinkes Pastikan Berasal dari Produsen yang Sama
-
Update Keracunan di Lumbungrejo Tempel Sleman, Jumlah Korban 160 Warga dan 39 Diopname
-
Dampak AI Terhadap Pekerja Kreatif: Adaptasi atau Penghapusan Peran?
-
Menelusur Jasa Menikahkan Secara Siri di Gunungkidul, Cukup Bayar Seikhlasnya