SuaraJogja.id - Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi menyoroti respons pemerintah atas gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda Indonesia baru-baru ini. Menurutnya upaya pemerintah dalam menghadapi krisis PHK ini masih kurang memadai dan tidak konsisten.
Tadjuddin menyebut bahwa pemerintah masih lambat dalam merespons gelombang PHK, terutama di sektor tekstil. Kondisi ini menyebabkan munculnya kondisi ketidakpastian dan kecemasan.
Efek dominonya pun akan negatif ketika dibiarkan begitu saja. Jika tidak ditangani dengan cepat, maka pengangguran, kemiskinan, dan bahkan kriminalitas dapat meningkat.
"Meskipun ada pernyataan dari wakil menteri bahwa akan ada upaya untuk mencegah PHK, kenyataannya justru banyak pekerja yang sudah di-PHK tanpa tindakan nyata dari pemerintah," ujar Tadjuddin, Selasa (4/3/2025).
Baca Juga: Viral Keluhan PKL di Trotoar UGM, Satpol PP Sleman: Tunggu Keputusan UGM
Dia menilai jika pemerintah tidak segera memberikan bantuan sosial, kesejahteraan para pekerja yang terdampak PHK akan menurun drastis. Bantuan sosial ini bisa berupa program jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan hari tua, serta bantuan sosial perlu segera direalisasikan untuk mencegah kemerosotan kesejahteraan.
"Pemerintah harus menciptakan peluang kerja dengan melakukan investasi besar-besaran di sektor padat karya, seperti industri tekstil dan garmen. Dengan begitu, akan ada lebih banyak lapangan pekerjaan yang tersedia," ungkap dia.
Dalam kesempatan ini, Tadjuddin turut menyinggung penyebab terjadinya PHK di PT Sritex. Salah satunya terkait terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, yang menghapus persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, termasuk tekstil.
"Akibat peraturan tersebut, impor tekstil ke Indonesia meningkat drastis, dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024. Hal ini menyebabkan produk tekstil lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah," ungkapnya.
Banjirnya produk tekstil impor dengan harga rendah ini bukan hanya merugikan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), tetapi juga berdampak pada pabrik-pabrik besar.
Beberapa pabrik tekstil terkemuka, seperti PT Sritex, terpaksa menutup operasional mereka dan melakukan PHK massal terhadap ribuan karyawan karena penurunan permintaan pasar yang signifikan. Kondisi ini juga diperburuk oleh menurunnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah, yang masih belum pulih sepenuhnya sejak pandemi.
- 1
- 2
Berita Terkait
-
Aturan Pemerintah Ini Bikin Pekerja di Industri Tembakau Terancam PHK
-
Masa Depan Mass Effect Terancam, BioWare PHK Banyak Developer Senior
-
Meta PHK Karyawan Lagi, Kali Ini Sasar Unit Bisnis Dunia Virtual
-
ConocoPhillips Mulai PHK Karyawan Imbas Harga Minyak Turun
-
Intel PHK 20 Persen Karyawan buntut Kalah Saing dari Nvidia
Terpopuler
- Selamat Tinggal Jordi Amat
- Sosok Pengacara Paula Verhoeven, Adabnya di Podcast Jadi Perbincangan
- Mobil Bekas Eropa Murah di Bawah Rp50 Juta, Ini Rekomendasinya Lengkap dengan Spesifikasi dan Pajak
- Daftar Kode Redeem FF Token SG2 Terbaru, Lengkap Sepanjang April 2025
- 12 Potret Rumah Mewah Luna Maya: Usung Modern Tropis, Pakai Listrik 33 Ribu Watt
Pilihan
-
Lulu Hypermarket BSD Milik Muslim Kaya Bangkrut, Punya Harta Rp 93 Triliun
-
Investor Batalkan Proyek Baterai EV Indonesia, Investasi Lebih dari Rp300 T Lenyap
-
Lulu Hypermarket BSD Tutup 30 April 2025, Sisa Barang Diskon 90 Persen
-
Glowing Seketika, Ini 5 Cara Memutihkan Wajah dalam 5 Menit
-
20 Fakta Liverpool Juara Liga Inggris: Arne Slot Meneer Pertama
Terkini
-
Buruan, Ini Link DANA Kaget Terbaru untuk Warga Jogja Jangan Sampai Kehabisan
-
Drama TKP ABA Jogja, Sewa Habis, Pedagang dan Jukir Ngotot Tolak Relokasi
-
SMA Kembali ke Jurusan, Guru dan Siswa Panik Tanpa Juknis
-
AS 'Gertak' Soal QRIS, Dosen UGM: Jangan Sampai Indonesia Jadi "Yes Man"
-
Juru Parkir Jogja Siap dengan QRIS, Ini Lokasi Pilot Projectnya