Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 03 April 2025 | 16:48 WIB
Suasana hotel pada H+3 Lebaran di Kota Yogyakarta, Kamis (3/4/2025). [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, okupansi hotel di Yogyakarta selama libur Lebaran 2025 turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu akibat kebijakan efisiensi anggaran yang digulirkan pemerintah.

Tak main-main, penurunan okupansi berbagai hotel turun lebih dari 20 persen.

Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DIY mencatat, okupansi hotel di Yogyakarta pada 1-2 April rata-rata hanya 60 persen.

Meski untuk Kota Yogyakarta dan Sleman kondisinya lebih baik yakni reservasi bisa mencapai 70 persen pada hari yang sama.

Baca Juga: Libur Lebaran di Gembira Loka, Target 10 Ribu Pengunjung Sehari, Ini Tips Amannya

"Sedangkan reservasi untuk tanggal 3 sampai 5 [April 2025] hanya 50 persen," ujar Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono saat dikonfirmasi, Kamis (3/4/2025).

Menurut Deddy, dengan adanya penurunan okupansi hotel, maka target 80 persen okupansi selama libur Lebaran dikhawatirkan tidak akan tercapai. Apalagi tren okupansi pada libur Lebaran ini hanya 4 hari pada 2-4 April 2025.

Padahal pada Lebaran tahun lalu, tren peningkatan okupansi hotel terjadi 5 sampai 6 hari. Kebanyakan tamu berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.

"Tahun ini lama tinggal juga tidak beranjak naik, hanya dua hari," tandasnya.

Menyikapi kondisi yang semakin memprihatinkan ini, lanjut Deddy, PHRI akan mengumpulkan data-data okupansi yang lebih valid pasca lebaran nanti.

Baca Juga: Exit Tol Tamanmartani Tidak Lagi untuk Arus Balik, Pengaturan Dikembalikan Seperti Mudik

Dari data tersebut akan dirapatkan untuk langkah-langkah selanjutnya karena biaya operasional hotel dihitung per 30 hari setiap bulannya.

Sebab meski PHRI sudah meminta adanya relaksasi pajak ke pemerintah pusat maupun daerah agar sektor perhotelan tidak semakin terpuruk pasca efisiensi anggaran, tuntutan tersebut tak juga mendapatkan tanggapan dari pengambil kebijakan.

"Belum ada tanggapan dan perhatian sama sekali dari pemerintah [terkait tuntutan relaksasi pajak]," jelasnya.

Deddy berharap, pemerintah bisa lebih melonggarkan kebijakan di tengah efisiensi anggaran.

Pemerintah mestinya melonggarkan kran kunjungan kerja dan MICE hingga 50 persen agar sektor pariwisata dan hotel di Yogyakarta maupun di wilayah lain tidak semakin pailit dan pada akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawannya.

Deddy juga berharap pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan Inpres nomor 1/2025 tentang efisiensi anggaran.

Begitu pula Pemprov Jabar, Banten dan DKI Jakarta yang diharapkan bisa mengkaji ulang larangan study tour sekolah.

"Tidak seperti saat ini 0 persen untuk MICE dan kunjungan kerja," tandasnya.

Secara terpisah, Marketing Communication Manager Royal Malioboro by Aston, Leno Christiannaldo mengungkapkan, memang secara umum terjadi penurunan okupansi hotel hingga 20 persen di Yogyakarta.

Namun pihaknya bersyukur, H+1 hingga H+3 Lebaran, okupansi hotel yang terletak di kawasan Malioboro tersebut bisa mencapai 100 persen.

"Kalau di tempatku tiga hari ini full [okupansinya]. Besok minggu [akhir libur lebaran] sudah turun lagi," jelasnya.

Leno berharap ada kelonggaran dari pemerintah seperti dulu untuk wisatawan dan korporat untuk perjalanan dinas. Sebab kebanyakan industri perhotelan datang dari pemerintah selain swasta.

"Apalagi Yogyakarta yang sektor ekonominya salah satunya adalah pariwisata dan bisnis. Dan hotel-hotel di jogja adalah faktor pendukung juga untuk penggerak perekonomian tersebut," imbuhnya.

Seperti diketahui, efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah masih terus memberikan dampak.

Saat ini, tingkat reservasi hotel di DIY mengalami penurunan drastis dibandingkan Lebaran tahun lalu.

Okupansi hanya mencapai 5– 20 persen menjelang Lebaran pada periode 26 Maret hingga 1 April 2025. Jumlah ini turun dari okupansi Januari 2025 lalu mencapai sekitar 70 persen dan Februari 2025 sebanyak 40 persen.

Padahal saat ini terdapat 439 hotel di DIY, dengan sekitar 120–130 hotel tergabung dalam PHRI DIY.

Dampak krisis minimnya okupansi dirasakan tidak hanya oleh hotel berbintang, tetapi juga penginapan non-bintang dan homestay.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More