Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 22 April 2025 | 11:39 WIB
Refleksi Film Jumbo. [Instagram]

SuaraJogja.id - Film animasi 'Jumbo' mendapat apresiasi luar biasa di masyarakat. Salah satu film yang tayang pada momen Lebaran lalu itu telah sukses meraih enam juta penonton. 

Kisahnya film ini pun sederhana tentang mengangkat realita hubungan keluarga dan anak yang dikemas dalam kisah unik perjalanan Don dan kawan-kawan. 

Wulan Nur Jatmika, pakar psikologi anak Universitas Gadjah Mada memberikan ulasan film Jumbo dari sisi psikologi serta pesan bagi orang tua untuk mendampingi tumbuh kembang anak.

Dia bilang bahwa film Jumbo memuat pesan berlapis yang bisa ditangkap berbeda oleh penonton di segala usia. Terdapat moral tentang persahabatan, cara menjadi teman yang baik, saling tolong-menolong, dan cerita petualangan seru yang menghibur untuk anak-anak. 

Baca Juga: "Umpak Buka", Refleksi Makna Mendalam di Balik Festival Kebudayaan Yogyakarta

Tak hanya dinikmati bagi anak-anak saja. Kalangan penonton dewasa pun ikut larut dalam kisahnya, ada perasaan nostalgia melalui alur cerita yang menyentuh sampai dinamika psikologis setiap karakternya. 

"Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi para seniman yang telah bekerja keras mewujudkan film ini dengan kualitas animasi, alur cerita, serta perkembangan karakter yang baik, diperkaya dengan banyak hikmah yang bisa dijadikan bahan refleksi," kata Wulan, Selasa (22/4/2025).

Lebih jauh, Wulan menyebut sejumlah realita sosial dalam film Jumbo mencerminkan pengaruh keluarga dan lingkungan pada kondisi psikologis anak. Salah satunya adalah Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum anak menginjak usia 18 tahun dan berpotensi menimbulkan trauma. 

Kejadian seperti kehilangan peran orang tua, diabaikan, menyaksikan atau mengalami kekerasan, dan disfungsi sosial keluarga dapat memberikan pengalaman traumatis bagi anak. 

Refleksi ACEs dapat ditemukan pada latar belakang beberapa karakter film Jumbo. Misalnya, Don yang kehilangan orang tua, Atta yang tumbuh tanpa orang tua dan dalam kondisi kemiskinan, serta Maesaroh dan Nurman yang dikisahkan hidup bersama kakek tanpa peran orang tua secara emosional. 

Baca Juga: HUT RI ke-79: Haedar Nashir Ajak Elite Bangsa Introspeksi Diri

"Kondisi ini mencerminkan realita sosial Indonesia, di mana anak-anak dengan ACEs bisa dengan mudah ditemukan di sekitar kita," ungkapnya.

Kemudian, Wulan turut menyoroti isu perundungan anak-anak yang diceritakan dalam hubungan antara Don dan Atta. Menurutnya, perundungan masih menjadi masalah nyata yang kompleks pada lingkungan anak-anak.

Baik pelaku maupun korban perundungan berpotensi mengalami masalah kesehatan mental di kemudian hari.

"Anak yang menjadi pelaku perundungan biasanya juga bukan tanpa sebab, banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari pola asuh negatif, pengalaman masa lalu sebagai korban, hingga lingkungan sosial yang tidak sehat," ucapnya. 

Uniknya dalam kisah Jumbo, salah satu karakternya, Don sebagai korban perundungan menerima dukungan emosional yang baik, sehingga tetap ceria dan percaya diri. 

Kasus ini menunjukkan bahwa pencegahan perundungan tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu ada upaya untuk meminimalisir faktor-faktor resiko seperti pola asuh negatif, lingkungan yang penuh tekanan, atau ketidaksetaraan sosial.

Sebagai upaya preventif, diperlukan juga penguatan faktor protektif, yakni kedekatan yang baik dengan orang tua atau pengasuh, dukungan sosial, lingkungan sekolah yang aman, dan sistem dukungan di masyarakat.

Wulan mengatakan melalui film Jumbo, penonton dihadapkan pada realitas terhadap peran keluarga dan lingkungan bagi pengembangan karakter anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk membekali anak bukan hanya dengan apa yang mereka inginkan, tapi yang benar-benar mereka butuhkan. 

"Orang tua perlu menyadari bahwa setiap hal yang dilakukan dalam proses pengasuhan, terutama di usia 0-5 tahun, bisa berdampak besar dan jangka panjang bagi masa depan anak," terangnya. 

Ditambahkan Wulan, anak-anak membutuhkan bekal cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa syarat, nilai-nilai kehidupan, dan panduan moral yang baik. 

Di sinilah kehadiran orang tua diperlukan untuk memberi arahan. Agar anak mampu mengenal dan mengatur emosi diri, serta mendapatkan ilmu dan wawasan yang luas. 

"Dengan bekal-bekal itu, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, sehat, mandiri, dan siap menghadapi tantangan hidup," pungkasnya. 

Load More