Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 04 Juni 2025 | 16:34 WIB
Salah satu aktivis membentangkan penolakan tambang nikel yang rencananya akan dilakukan di sekitar Raja Ampat, Papua. (Instagram)

Perairannya menjadi rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia serta lebih dari 2.500 jenis ikan, sementara daratannya memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung.

Wilayah ini juga telah diakui sebagai global geopark oleh UNESCO. Namun, aktivitas tambang mengancam semua itu.

"Tambang nikel telah mengubah kehidupan kami. Laut yang dulu menjadi sumber penghidupan kini terancam rusak, dan harmoni sosial mulai terganggu," ungkap Ronisel Mambrasar, salah satu pemuda Papua dari Manyaifun yang terlibat dalam aksi tersebut.

Greenpeace Desak Pemerintah Hentikan Industrialisasi Nikel yang Merusak

Baca Juga: Dalam Tiga Tahun Bantul Dihantui Teror Penembakan, Korbannya Aktivis hingga Remaja

Greenpeace Indonesia menyerukan agar pemerintah segera mengevaluasi ulang kebijakan hilirisasi dan industrialisasi nikel yang selama ini dianggap membawa keuntungan, namun ternyata berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan dan hak masyarakat lokal.

Kebijakan hilirisasi yang digagas sejak masa pemerintahan Presiden Jokowi dan kini dilanjutkan oleh rezim Prabowo-Gibran, menurut Greenpeace, telah menjadi ironi: alih-alih mendorong transisi energi yang adil, justru merusak lingkungan dan menindas komunitas adat.

"Bumi ini sudah cukup menderita akibat krisis iklim. Jangan sampai ambisi industri nikel memperparah kondisi ini," kata Iqbal.

Artikel yang tayang di Jogja.suara.com sudah lebih dulu terbit di Suara.com dengan judul: Tidak Ada Unsur Pidana, Aktivis Greenpeace yang Berorasi Save Raja Ampat Telah Dibebaskan

Baca Juga: Kegiatan Aktivis Mahasiswa Jadi SKS, Plt Direktur Belmawa: Itu Sudah Ada Dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka

Load More