Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 04 Juni 2025 | 16:34 WIB
Salah satu aktivis membentangkan penolakan tambang nikel yang rencananya akan dilakukan di sekitar Raja Ampat, Papua. (Instagram)

Tujuan mereka adalah untuk menyuarakan dampak negatif dari ekspansi pertambangan nikel dan proses hilirisasi yang dinilai merusak lingkungan serta kehidupan masyarakat lokal.

Iqbal menegaskan bahwa aksi ini ditujukan untuk mengirim pesan kuat kepada pemerintah, pelaku industri nikel, dan publik bahwa eksploitasi tambang nikel telah menciptakan penderitaan bagi masyarakat di berbagai wilayah terdampak.

Tambang Nikel Dinilai Merusak Lingkungan dan Memperparah Krisis Iklim

Dalam pernyataannya, Greenpeace menyoroti bahwa aktivitas industri nikel tidak hanya menggunduli hutan, tetapi juga mencemari sungai, laut, dan udara.

Baca Juga: Dalam Tiga Tahun Bantul Dihantui Teror Penembakan, Korbannya Aktivis hingga Remaja

Proses produksi nikel masih mengandalkan PLTU captive yang memperparah krisis iklim.

"Ketika pemerintah dan para pengusaha tambang membahas perluasan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan lingkungan justru menjadi korban utama," kata Iqbal.

Ia menambahkan bahwa industrialisasi nikel yang meningkat seiring naiknya permintaan mobil listrik telah merusak ekosistem alam di banyak wilayah seperti Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini, tambang nikel juga mulai mengancam kawasan Raja Ampat, Papua—wilayah yang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia.

Greenpeace: Tambang Nikel Ancam Pulau-Pulau Kecil di Raja Ampat

Greenpeace mencatat bahwa aktivitas pertambangan telah ditemukan di sejumlah pulau kecil di Raja Ampat seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Baca Juga: Kegiatan Aktivis Mahasiswa Jadi SKS, Plt Direktur Belmawa: Itu Sudah Ada Dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka

Padahal, menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang.

Analisis Greenpeace menyebutkan bahwa aktivitas tambang di tiga pulau tersebut telah menyebabkan pembukaan lahan seluas lebih dari 500 hektare, merusak vegetasi asli, dan memicu sedimentasi di pesisir yang mengancam terumbu karang serta ekosistem laut.

Selain tiga pulau tersebut, dua pulau kecil lainnya—Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun—juga terancam.

Letaknya hanya sekitar 30 kilometer dari kawasan Piaynemo, yang menjadi ikon pariwisata Raja Ampat dan terpampang di pecahan uang Rp100.000.

Raja Ampat Terancam: Dari Surga Biodiversitas Jadi Wilayah Rawan Konflik

Iqbal menjelaskan bahwa Raja Ampat dikenal luas sebagai 'surga terakhir di Bumi' karena kekayaan hayati yang luar biasa, baik di darat maupun di laut.

Load More