Tujuan mereka adalah untuk menyuarakan dampak negatif dari ekspansi pertambangan nikel dan proses hilirisasi yang dinilai merusak lingkungan serta kehidupan masyarakat lokal.
Iqbal menegaskan bahwa aksi ini ditujukan untuk mengirim pesan kuat kepada pemerintah, pelaku industri nikel, dan publik bahwa eksploitasi tambang nikel telah menciptakan penderitaan bagi masyarakat di berbagai wilayah terdampak.
Tambang Nikel Dinilai Merusak Lingkungan dan Memperparah Krisis Iklim
Dalam pernyataannya, Greenpeace menyoroti bahwa aktivitas industri nikel tidak hanya menggunduli hutan, tetapi juga mencemari sungai, laut, dan udara.
Proses produksi nikel masih mengandalkan PLTU captive yang memperparah krisis iklim.
"Ketika pemerintah dan para pengusaha tambang membahas perluasan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan lingkungan justru menjadi korban utama," kata Iqbal.
Ia menambahkan bahwa industrialisasi nikel yang meningkat seiring naiknya permintaan mobil listrik telah merusak ekosistem alam di banyak wilayah seperti Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini, tambang nikel juga mulai mengancam kawasan Raja Ampat, Papua—wilayah yang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia.
Greenpeace: Tambang Nikel Ancam Pulau-Pulau Kecil di Raja Ampat
Greenpeace mencatat bahwa aktivitas pertambangan telah ditemukan di sejumlah pulau kecil di Raja Ampat seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Baca Juga: Dalam Tiga Tahun Bantul Dihantui Teror Penembakan, Korbannya Aktivis hingga Remaja
Padahal, menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang.
Analisis Greenpeace menyebutkan bahwa aktivitas tambang di tiga pulau tersebut telah menyebabkan pembukaan lahan seluas lebih dari 500 hektare, merusak vegetasi asli, dan memicu sedimentasi di pesisir yang mengancam terumbu karang serta ekosistem laut.
Selain tiga pulau tersebut, dua pulau kecil lainnya—Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun—juga terancam.
Letaknya hanya sekitar 30 kilometer dari kawasan Piaynemo, yang menjadi ikon pariwisata Raja Ampat dan terpampang di pecahan uang Rp100.000.
Raja Ampat Terancam: Dari Surga Biodiversitas Jadi Wilayah Rawan Konflik
Iqbal menjelaskan bahwa Raja Ampat dikenal luas sebagai 'surga terakhir di Bumi' karena kekayaan hayati yang luar biasa, baik di darat maupun di laut.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
Terkini
-
Kecelakaan Lalu Lintas Masih Tinggi, Kasus Narkoba Naik, Ini Kondisi Keamanan Sleman 2025
-
BRI 130 Tahun: Dari Pandangan Visioner Raden Bei Aria Wirjaatmadja, ke Holding Ultra Mikro
-
2 Juta Wisatawan Diprediksi Banjiri Kota Yogyakarta, Kridosono Disiapkan Jadi Opsi Parkir Darurat
-
Wali Kota Jogja Ungkap Rahasia Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga, Mas JOS Jadi Solusi
-
Menjaga Api Kerakyatan di Tengah Pengetatan Fiskal, Alumni UGM Konsolidasi untuk Indonesia Emas